Minggu, 17 Juli 2011

ANTOLOGI PUISI BANJARNEGARA 1

TETES
Antologi Puisi Banjarnegara 1
Komite Sastra Teater Dewan Kesenian Banjarnegara

Pengarah : Otong Tjundaroso
Penyunting : Drajat Nurangkoso
Koordinator Antologi : Hari Kampleng
Tata Letak : Nano
Desain Sampul : Sanggar Pintu Kosong
Ilustrasi : Drajat Nurangkoso

Cetakan : Pertama, Desember 2010
Penerbit :Dewan Kesenian Banjarnegara




Daftar isi
Sambutan Ketua Dewan Kesenian Banjarnegara
Pengantar Komite Sastra Teater Dewan Kesenian Banjarnegara
Prolog “ Banjarnegara dalam peta kepenyairan di exs. Karesidenan Banyumas “

SAMBUTAN
KETUA DEWAN KESENIAN BANJARNEGARA
Salam Budaya
Ekspresi jiwa dapat diungkapkan melalui media apa saja. Ekspresi jiwa pada dasarnya merupakan hasil pengolahan emosi dan pengendapan, hasil pengamatan dan cinta terhadap sesama dan alam dunia, hasil perenungan dari laku “ning”. Puji syukur pada Tuhan Maha Indah sumber dari segala seni dan pencerahan hidup yang masih terus memberikan percikan sinar terang-Nya dan memberikan pijaran ekspresi hidup pada para penulis Banjarnegara.
Perkembangan seni di Banjarnegara dari tahun ke tahun ada peningkatan yang menggembirakan, berbagai kejuaraan dalam ajang festifal seni tingkat Propinsi telah mengharumkan nama Banjarnegara, sebut saja misalnya seni tari, seni pedalangan, dan seni sastra. Memang sepertinya pembinaan dalam bidang seni budaya masih kurang mendapat perhatian akan tetapi bukan berarti masyarakat seni Banjarnegara menjadi ikut dalam kebekuan. Dengan semangat memberi asupan jiwa, para penggiat seni terus berekspresi sesuai pilhan media penyampaian serta ketrampilan yang dimilikinya.
Dibidang seni sastra diakui memang geliat kehidupan seni sastra di Banjarnegara dapat dikatakan tertinggal dengan daerah lain. Mengingat hal tersebut Dewan Kesenian sebagai lembaga yang bertugas dalam penggalian, pelestarian dan pengembang kesenian berupaya mengumpulkan para penggiat seni sastra Banjarnegara, kemudian karya mereka dibukukan dalam buku kumpulan puisi Banjarnegara 1. Dengan menerbitkan buku antologi puisi ini dimaksudkan sebagai kumpulan dokumen literatur serta memberi ruang untuk penyampaian hasil ekspresi mereka. Dewan Kesenian memandang perlu mendorong tumbuhnya penggiat seni sastra agar seni ini dapat memberi warna indah dalam kehidupan.
Pada kesempatan ini saya memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada tim pembuat buku antologi Banjarnegara 1 atas kerja keras, usaha dan dedikasinya pada pengembangan dan pembinaan seni sastra di Banjarnegara, kepada penggiat sastra, semoga penerbitan buku ini menjadi tonggak acuan bagi pengembangan kwalitas kepenyairan dan mendorong semangat mencipta. Jangan takut berkreasi, tak ada salah benar dalam berseni, andai ada salah pun kesalahan dapat diperbaiki, kekurangan dapat ditambahkan….maju terus seni Banjarnegara
KETUA UMUM
DEWAN KESENIAN BANJARNEGARA
OTONG TJUNDAROSO

PENGANTAR
KOMITE SASTRA TEATER DEWAN KESENIAN BANJARNEGARA

Salam Budaya,
“ Tetes embun…”
“ Tetes keringat…”
“ Tetes air mata…”
“ Tetes…,”
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Indah dan Mencintai Keindahan, atas segala Rahmat dan Karunia-Nya yang senantiasa dilimpahkan kepada kami, walaupun kami harus tertatih-tatih ditengah hiruk pikuk dan tembok keangkuhan, namun kami harus memijit sendiri kesakitan itu untuk menggapai impian, akhirnya kami bisa menyelesaikan penerbitan Antologi Puisi Banjarnegara 1 “ Tetes “ dengan baik. Tidak lupa beribu terima kasih kami ucapkan kepada Ketua Dewan Kesenian Banjarnegara, jiwa-jiwa yang mengisi antologi ini , serta seluruh masyarakat Banjarnegara. “ Anda semua, adalah sumur yang tak pernah kering bagi kami…“.
Puisi merupakan salah satu fenomena kreatif dalam kehidupan bermasyarakat – maka bila daya kreasi tersebut telah lelap, terhentilah perjalanan puisi tersebut. Stagnasi berarti kemunduran. Dan kemunduran adalah kehancuran dan kematian. Untuk itu kami mencoba untuk menghidupkan atau lebih tepatnya membangunkan lewat antologi puisi ini sehingga puisi masih bisa bernafas dan hidup. Seharusnya perantara terbaik – bahkan boleh dikatakan satu-satunya jalan untuk menghidupkan puisi adalah di hati, di bibir, dan diantara jemari…
Sebagai penikmat, pekerja, dan pengemban amanat dalam berkesenian menurut hemat kami adalah : pertama, niat baik para pejabat, birokrasi , dan Pemerintah Daerah Kabupaten Banjarnegara yang menangani bidang kesenian. Sekali lagi niat baik..!! Kedua, ketegaran jiwa para pengemban amanat dalam mengelola, mengembangkan, dan membina kesenian, dan ketiga, dukungan dan apresiasi masyarakat Banjarnegara. Tanpa itu semua, kami bukanlah apa – apa…
Mewujudkan mimpi...,itulah yang selama ini kami coba lakukan. Dengan demikian, lebih tepat jika Antologi Puisi Banjarnegara 1 “ Tetes “ ini adalah hasil pemikiran banyak orang yang dengan rela, melalui tulisan mereka, menyumbangkan pikirannya. Tetapi yang lebih penting adalah bahwa dari proses campur aduk tersebut, tercipta sebuah tulisan yang nyambung serta menunjukkan sebuah proses langkah demi langkah demi kehidupan puisi itu sendiri.
Dengan segala harap di hati dan segala damba di jiwa,,… sebagai akhir kata marilah kita mencoba bergandengan tangan, mencoba mengorek celah – celah yang sekiranya mampu kita kuak dan membuang jauh segala sesuatu yang tidak sesuai dengan nurani kita sebagai manusia untuk meraih mimpi bersama.. Akhirnya, “ Tak ada gading yang tak retak….”
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


PROLOG
BANJARNEGARA DALAM PETA KEPENYAIRAN
DI EXS. KARESIDENAN BANYUMAS

Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu daerah yang termasuk dalam kebudayaan Jawa sub kultur Banyumasan bersama Cilacap, Purbalingga, Banyumas dan juga Kebumen. Kultur Banyumasan tidak hanya ditandai oleh dialek bahasa komunikasi sehari-hari yang “medok” masyarakatnya yang “cablaka” atau “blaka suta” apa adanya, egaliter dan mempunyai tali ikatan kebudayaan yang kuat diantara ke lima kabupaten tersebut. Aktifitas seni dalam masyarakat “Mbanyumasan” merupakan pengikat rasa persaudaraan. Ke lima kabupaten dalam kebudayaan Banyumas Raya (exs. Karesidenan Banyumas ditambah Kab. Kebumen) memiliki kesenian yang hampir sama. Sebut saja misalnya kuda kepang, wayang kulit, rudad, simoi, sintren, lengger, calung, genjringan. Kesenian tersebut terus berkembang dan menjadi salah satu entitas eksistensi kebudayaan “Mbanyumasan”.
Dalam peta kepenyairan di exs karesidenan Banyumas walaupun tanpa penelitian ilmiah secara empiris dapat dikatakan sangat sepi dari aktifitas kepenyairan. Hal ini menurut Haryono Sukiran, kurator puisi dan pegiat teater yang dikatakanya dalam diskusi puisi di Taman Budaya Solo , dimungkinkan oleh karena sedikitnya penggerak di dunia sastra, tidak tumbuhnya kelompok-kelompok kajian sastra serta pudarnya simpul-simpul kebersamaan dalam diskusi dan pembelajaran sastra.
Dalam tulisannya Haryono Sukiran menguraikan bahwa dalam sejarah peta kepenyairan “Banyumas” pernah muncul nama-nama penyair “ Banyumas” seperti Ahita Teguh Susilo, Badrudin Emce, Bambang Set, Dharmadi, Nanang Nur, Wanta Tirta, Edy Romadhon, Haryono Sukiran, Kurniawan Junedi, Yon Montaris, Lukman Suyanto, Mas`ut. Dari sederetan nama tersebut tidak satupun penyair yang berasal dari Banjarnegara.
Menjadi perenungan dan pertanyaan mengapa Banjarnegara tidak berada dalam kebun kesusasteraan “mBanyumas” apakah Banjarnegara tidak melahirkan penyair? Padahal menurut Haryono Sukiran pada tahun 1980 sampai 1995 keakraban dan kebersamaan komunitas penyair di exs. Karesidenan Banyumas sangat harmonis, terjaga dengan indah. Dengan fakta tersebut dapat disimpulkan juga bahwa pada kurun tahun 1980 sampai 1995 di Banjarnegara tidak ada kelompok studi sastra yang ikut mewarnai pelangi kehidupan sastra di exs. Karesidenan Banyumas.
Dalam kurun berikutnya exs. Karesidenan Banyumas melahirkan Restu Kurniawan, Arif Hidayat, Yosi M Giri, Ismi Ekowati, Dwi Setyaningsih, Teguh Trianton, Andoyo Suliantoro, Abimanyu HS, dan Drajat Nurangkoso. Dalam kurun ini Banjarnegara mulai menampak dipeta kepenyairan Banyumas. Pada tahun 2004 terbit sebuah buku kumpulan puisi karya anak Banjarnegara. Buku antologi “perjalanan sunyi”. Selanjutnya pada tahun 2008 penulis Banjarnegara mendapat predikat karya terpilih dalam lomba menulis naskah drama berbahasa Jawa tingkat Jawa Tengah, pada tahun berikutnya penghargaan karya terpilih lomba menulis skenario film remaja tingkat Jawa Tengah dan karya puisinya masuk dalam antologi puisi pendapa 6 taman budaya Jawa Tengah. Akan tetapi hal itu semua belum dapat menampakjelaskan Banjarnegara dalam peta kepenyairan di exs. Karesidenan Banyumas.
Salah satu faktor yang menyebabkan Banjarnegara berada di pinggir dalam taman kepenyairan Banyumas adalah tidak tumbuhnya komunitas studi sastra, kurangnya pembinaan dan pengembangan kesusasteraan maupun kelompok penulis lainnya. Tidak adanya pamong budaya mungkin menjadi salah satu penyebab tidak tumbuh dan berkembangnya seni yang menggunakan bahasa sebagai media penyampaiannya ini. Penentu kebijakan bidang seni budaya perlu membuat suatu pemetaan untuk pengembangan dan pembinaan kesenian secara menyeluruh, mendorong iklim berkarya, membuat ajang pengukuran lewat festifal dan yang terpenting adalah mengakui keberadaan para penggiat seni.
Sebenarnya Banjarnegara mempunyai potensi dibidang kepenyairan akan tetapi minimnya pembinaan dan lemahnya kemauan untuk saling belajar menjadikan perkembangan kepenyairan di Banjarnegara menjadi nyaris tidak terdengar. Ajang kreatif dibidang penulisan puisi dalam lomba cipta dan baca puisi sangat jarang diadakan. Para penulis Banjarnegara terkesan berkutat dalam lingkaran beku sehingga karya mereka tidak terlihat dalam peta kepenyairan di exs. Karesidenan Banyumas. Penyair Banjarnegara masih asik bergumam untuk dirinya sendiri, karya mereka tidak terpublikasikan dikarenakan keengganan atau mungkin malah karena rasa minder.
Seni adalah milik Sang Maha Seni, semestinya bagi siapa yang dikaruniai bakat dan kemampuan berolah seni tidak hanya dikonsumsi untuk kebutuhan dirinya, karya seni yang diciptakan perlu dikomunikasikan dengan khalayak untuk terjadinya transfer of felling. Adanya pemindahan perasaan keindahan yang ia dapatkan dari Tuhan. Salah satu media penginformasian karya puisi yaitu dengan menerbitkan buku kumpulan puisi. Dengan penerbitan ini akan terjadi suatu dialog artistik di medan diskusi dan pengadilan sastra selanjutnya bagi penulis akan menjadi masukan lalu dibawa kedalam pencarian kedewasaan karya mereka yang lebih berbobot sehingga Banjarnegara akan dapat terlihat jelas dalam peta kepenyairan di exs. Karesidenan Banyumas, dan karya penyair Banjarnegara dapat menjadi entitas Banjarnegara dalam kepenyairan Banyumas dan Nasional.
Mari berkarya….semoga akan terbit antologi-antologi lainnya…

TIM PENYUSUN





Citra Gloriana
Tentang Kehidupan, Cita-cita, … dan Cinta !

Apa lagi yang kupunya sekarang selain sepi,
Apa lagi yang kupunya sekarang selain rindu,
Hatiku menangis tanpa air mata,
Semakin kurasa semakin sesak,
Rasa yang entah sudah seberapa lama kian menumpuk,

Ingin rasanya kutemuimu meski hanya sebatas ruang hampa,
Ingin rasanya kutemanimu meski hanya dengan sebuah nyanyian,
Ingin rasanya kupeluk dirimu meski mungkin kau tak merasa,

Apa daya tanganku tak sampai,
Ketika hidup menawarkan seribu mimpi dan cita-cita,
Mustahil dengan mudah kumelepasnya,
Hingga pada akhirnya harus kukorbankan perasaan,
Keinginan tak terbendung,
Serta perasaan teramat mencinta kepada kau seorang,

Dan kini…
Meski hanya bisikku yang kau dengar,
Kuingin kau tau,
Tanpamu aku begitu rapuh dan lemah,
Tanpamu pandangku nanar dan kabur,
Tunggulah aku,
Pada akhirnya nanti,
Kuingin bersamamu lagi,
Bersandar dibahumu,
Menangis dipelukmu,
Dan terlelap dipangkuanmu,
Disaat makna cita-cita dan kehidupan,
Kelak telah kudapat dan kubawa padamu
***




















Ikhwan Listiyanto
Moral yang Fana


Tuhan aku malu kepadaMu
Bergoreskan darah yang kotor ditubuhku
Tuhan berikan aku secengkraman tombak dihidupku
Agar moral hidup tak seperti bunglon

Seraya kabut menutup moralku
Menuntut putih menjadi hitam
Fana sudah moralku ini
Tuhan berikan aku jalan kebenaran

Nikmati hidup tanpa kesucian hati
Menimba sesal di kemu selam
Menimba dosa yang tak terbinasakan
Sungguh ku khilaf

Hanya ampun dan maaf Mu
Yang membuatku tenang
***





Sigit Darinto
Lintas Malam
Tiga Bendera dan Elang
Nilam Sari

Lintas Malam

Bulan nampak pucat
Senyumnya hanya sebersit
Selimut tebal mega mendung
Membekap riangnya

Sudah ku paksa
Mata membuka
Hingga perih menyelinap
Bulan tetap berkabut

Oh sang pemilik malam
Gerangan apa kehendakmu
Waktu seakan jadi melambat
Penuh samar bayang

Jangan biarkan aku meradang
Membabi buta menebas gelap
Menepis segala gundah
Menelan sejuta getir

Haruskah peluh dan keluhku habis
Sedang kaki pun penuh gores
Membela kata hatiku
Yang rindu rekahnya sang fajar
***






















Tiga Bendera dan Elang

Merah putih biru
Tiga lembar berkibar
Ditiup sang angin
Kadang sampai kencang

Melintas lima sekawan
Bak saudara sekandung
Mata tajam bagai pedang
Begitulah elang terbilang

Silau tiga warna
Membuat elang menukik
Menghuncam dan menerjang
Bagai meteor jatuh

Tiga bendera lima elang
Berebut tiang bertengger
Angin menghempas mengibas
Mendepak yang lengah

Kini tiang bermahkota elang
Tiga bertemu tiga
Tapi dua terbang
Itulah nasib si pecundang
***
Mama Nesha
Sempurna Karnamu
Air Mata dan Topeng
Janin

Sempurna Karnamu

Bagimu mungkin aku tak sempurna
Bagiku kusempurna karna memilikimu
Lihatlah aku apa adanya
Trima aku apa adanya
Niscaya kau akan merasa sempurna
***














Air Mata dan Topeng

Air mataku menetes…
Tetes air mata yang bisa meresahkan
Tetes air mata yang tak diharap kehadirannya
Tetes air mata yang terbuang percuma
Tetes air mata yang ingin bersuara
Menyuarakan isi hati

Suara yang ingin kusembunyikan
Suara yang ingin kusimpan
Suara yang tak ingin terdengar

Jadi kuharus pakai topeng lagi…
Topeng kenyamanan
Topeng “ baik-baik saja”
Topeng keikhlasan
Topeng yang memberatkan…
***








Janin

Air mataku menetes lagi
Karna egoku dan egomu
Lelah jiwa dan ragaku
Lelah dengan semua yang datang silih berganti

Kuharus jaga rasaku
Kuharus bisa mengendalikan ini
Sebab kutak mau CINTA ikut terluka
Didalam darah, nafas dan setiap gerakannya ada jiwaku
CINTA maafkan bunda jika kau merasa tidak nyaman…

CINTA yang butuh sekian lama tuk memperolehnya
CINTA yang amat disayang oleh kami bertiga
CINTA yang semakin menmbah kesempurnaan cinta itu sendiri
CINTA bunda sayang kamu.
***









Yulia Putri Kartika P.
“ Derita Dalam Bahagia “

Dalam kelam malam
Kuselimuti diri dengan taburan para bintang
Coba ku hiasi hari sepi ini
Dengan sinaran para dewi malam

Tertutup embun lukaku silam
Membawa pikirku pada semua kenangan
Nan elok tuk diurai
Nan sakit tuk dirasa

Perpisahan yang membawa
Mara dan suka
Sungguh aku tak lagi berdaya
Jika saat itu diriku tlah terjatuh, mati

Ku tersenyum, tapi ku menangis
Ku tertawa, tapi ku menjerit
Saat senyum terkembang
Air mata terurai gambang

Tawa dan senyumku, palsu
Tiada pernah menjadi nyata
Ini kan, cerita-cerita arungan nafasku ?
Deritaku dalam bahagiaku
Ira Damayanti
Setitik Rasa Tertinggal

Awan muram menyelimuti biru hatiku
Terpatri setitik rasa dalam hati
Resah menggeliat

Tawamu adalah simpul kecil
Tersemat dalam tatanan waktu yang hanya
Sebatas lukisan abstrak
Pun dawa-dawai emas yang pernah
Mengaitkan jemari yang mungil kita dalam
Satu sapa lugu
Telah menjelma menjadi benang-benang kusut

Mengapa lidah kita saling kelu saat
Dawai-dawai itu mulai terulur ?
Adakah tanya terbersit di relung hatimu
Tentang setitik rasa yang tertinggal
Ketika keegoan saling mengukuhkan hati ?
***



Bila Waktu Itu di Penghujung Subuh

Suci bening itu
Membasuhku kala gaung-Mu menggema
Membuka kelopak mataku,
Meruntuhkan sendi-sendi tulangku
Dan kala cakrawala itu masih pekat dalam
Hitamnya

Tertunduk aku dalam kiblat
Tersungkur jasad ini di atas sajadah-Mu
Tertumpah bulir-bulir bening seiring alunan al-ashr
Aku terisak…

Bila waktu itu mengulurkan tangannya
Ingin ku raih dengan jemari berbalut nirmala
Bila senja itu tak sempat ku sapa
Ingin selalu aku dalam putih
Dan bila waktu itu detik ini
Ingin terus aku bersujud dalam kubah-Mu
Menanti tapak panjang langkahku
***





Detik yang Entah

Cabik, sembilu tajam merobek dinding serambi
Lengking itu begitu peka
Menyusup sisi jiwa
Lidah masih kelu
Kala pijar berkilat menyambar mematahkan
Bilah hati

Nanar ku sorot jalan
Tapak tak lagi tegar menopang jasad
Terombang tak tentu arah
Aku terpaku dalam waktu yang terus mengalir
***













Titis Risni
Sahabat…Jangan Kau Pergi

Mentari beranjak membebaskan spectrum continue berwarna merah
Dikala awan cirrus ia tersenyum begitu manis
Namun dikala awan nimbus ia menghitam
Dikala hujan turun ia tak terlihat
Namun terkadang ia bertahan ditengah dinginnya hujan sore
Ia tersenyum dengan pelangi di matanya
Ingin selalu melihatnya tersenyum
Namun perubahan delta mengharuskannya bersembunyi
Aku ingin tetap disini…
Menanti senyuman yang kuharap bisa kembali
Sahabat…
Kumohon jangan pernah kau pergi
Walau awan dan delta akan terus berganti
***








AKU HANYA INGIN BERLARI

Setitik embun menitik di ujung daun
Tak lagi rasa sejuk tapi sedih dan takut
Bak duri stomata dibalik daun sutra
Rasa takut tak dapat tertelan
Andai tetap berdiri manis seolah tanpa apa
Aku berlari bukan untuk pergi
Tapi hindari kesiaan
Ikut jelma senandung aliran hati
Yang mengelus lembut
Tiada mungkin ku acuhkan getarnya
Jumat yang damai maaf aku berlari
Namun tetaplah hati dalam percaya
Teki tiada akan melahirkan mawar
Sungguh biarlah aku berlari
Dan tetaplah hati dalam percaya
***









David Hendriyanto
Terbunuh Hidup Ku

Ucapan yang kau lontarkan pada ku
Telah mengasatkan jiwa prihatin
Sangkakala yang kau bunyikan
Membuat ku terenyuh pesakitan
Doa yang ku ajukan
Kau abaikan tak bersedih sekali pun
Sejenak sedikit ku usap
Kening ku yang mulai pudar dan melebar

Seribu rambut yang sedikit agak ber uban
Seolah mulai mengelupas dari pori kepala
Sanggupkah aku merangkul kembali kehidupan ?
Kehidupa ku telah terbunuh oleh penguasa
Robeknya imajinasi ini, seakan membuat jera
Untuk slalu berkedip, tersenyum
Dan bersenang di hari tua yang membenci ku
Aku,
Si pesakitan materi yang tak bersenjata
Untuk menyambut kesaksian palsu
***


Sejuta Wajah Kesatria

Tak kan mundur selangkah pun
Dengan membawa segenggam bilah tajam
Di medan pembantaian yang penuh air mata pedih
Sungguh mata tlah letih
Segenap tubuh perih,
Namun,
Tekad jiwa bergemuruh
Meraung mencengkeram mematahkan
Walau sengatan matahari membakar hati ini
Kutu-kutu di dada, ku biarkan menari
Di atas derita yang selaras terinjak
Dan ketika suara senapan tak bernada
Membisingkan teling jiwa roh kehidupan
Mungkin tak bisa lagi ku dengar bebunyian
Trompet damai sedikit merdu
Untuk membombongkan hati ini
Dapatkah aku membebaskan singgasana
Yang terlilit jerat-rantai neraka ?
Dengan tekat yang mengeras
Mulutku mulai bergerak menyusun doa
Berharap damai yang pernah hilang
Kembali tersenyum di Negeri ini
***


Guh jail
Episoda Kala bendu
Banjarnegara pada untain bait puisi dan stanzanya
Bicara tentang hidup kubutuh pengakuan…
Karena feodalisme adalah instrument kekuasaan
Hingga muncul raja-raja kecil yang berkerumun
Bagai laron mencicipi khuldi peradaban
Mendekatlah temanku yang lapar……….
/Ku tak ingin kau yang jujur merasa dahaga
Hanya orang bodoh yang akan lelah dan tertinggal sedih
Lihatlah langit di pucuk bebukitan
Nampak mulai mengendap halimun…
Tanganku terkepal di atas hamparan zaman yang berlari cepat
Mulutku bisu…………/otakku buntu……..
Orang-orang tak berdaya jatuh bangun
Kehilangan rasa keadilan dan berlahan menuju antrian mati
Sebuah adegan yang menahan alis mataku tidak tidur
Mungkin inilah kalabendu….
Melahirkan barisan kurawa bersepatu kulit rusa
Menciptakan desentralisasi kekuasaan
Ditengah hamparan ladang dan padang rumput Tuhan
Kegelisahan menahan potensi amarahku
Menuturkan kepentinganku di hadapan surga…….lalu’
Hening sejenak bagai prahara yang lambat dan…
Kubertahan di batas garis penantian.
***

Guh jail
Panggung

Suatu pagi yang mendung di hotel banjarnegara in
Seorang wartawan tak putus-putusnya menatap artis ibu kota
Ia hampir tak berkedip..
Berusaha mencari sosok mahajutawan yang glamour..
Yang selalu menyita perhatiannya di layar TV
Tokoh fantasi yang tidak sama dengan tokoh pribadi
Orang sering khilaf’ bahwa..
Antara sandiwara dengan kehidupan nyata selalu terbentang jarak
Boleh saja Tamara Blezinky tampil anggun
Agak naif’ kaya raya dan mengenakan busana gemerlap
Namun begitu turun panggung……ia akan berubah menjadi istri Parto
Kesenian yang berhasil seni pop ataupun seni serius
Kadang menghibur kadang membius kita ke dunia mimpi
Di elu-elukan disambut gegap gempita
Dan merampas hati nurani kita
Gandrung mungkin sebuah penyakit
Gandrung juga mampu berikan kenikmatan
Gandrung hanya pantas dimiliki oleh orang-orang bodoh
Mereka tenggelam dalam arus emosi
Mereka memuja pada sesuatu yang nonsense
Mereka mengagumi kulit bukan isi
Akhirnya…………
Mereka tersungkur,menjadi budak fatamorgana
Akan tetapi….
Apakah mungkin kita hidup tanpa kebodohan??
Dunia berputar tanpa hiburan??
Tanpa kebodohan,lelucon tidak akan pernah tampilkan komedi besar
Ucap parto tatkala afirmasi pada tukul
Selalu merupakan pujian terhadap kebodohan manusia
Itulah sebabnya…..
Gepeng selalu tampil di panggung sebagai kacung yang bodoh
***



















Pada Sebuah Malamku

Jemu pun pernah datang menjelang
Aku tahu, kau memang tak ada
Mengapit mimpiku dengan bayang-bayang
Lewat kisi-kisi jendela, dilangit purnama
Sang rembulan yang tanpa bersolek, cantik nian
Bias dalam murungku, kerap kali membuat takut
Jiwaku lelah, tak dapat lagi diajak bicara tentang hidup
Hanya ujung pena yang masih bernyawa
Dengan perasaan dan kesenangan
Merelakan waktu menepis impian
Tuk sementara
Biarkan ku sendiri menatap bulan
Merajut kembali hidupku, menyelesaikan cerita kita
Dan….
Melanjutkan coretan yang masih panjang…
Hingga keluh kesahku mengendap
***








Putrangga Sektiyasa
Tentang Cinta

Dalam hal cinta,
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan sama!
Tak sedikit perempuan di dunia yang menganggap, bahwa semua laki-laki sama.
“ Hanya menyakitkan hati “
Namun,
Tanpa perempuan sadari, laki-laki juga pernah di perlakukan hal yang sama pada perempuan.
Yang jadi perbedaan di sini adalah…
Mereka menjalani hidup dan dunia yang berbeda.
Dan kita harus bisa hargain itu.
Aku mengenalmu lewat hati, bukan lewat mata.
Aku menyayangimu dari perasaan, bukan dari fikiran.
Agar kamu mengerti bahwa aku sangat menyayangimu, dari jiwa bukan dari kata-kata.
Ku ingin tulis namamu di atas langit
Namun awan datang membawanya pergi
Ku ingin tulis namanu di atas pasir
Namun ombak datang menghapusnya
Hingga membuatku tak mengerti harus dimanakah ku ukir namamu.
Ternyata aku tersadar,
Kan ku tulis namamu di hatiku
Di sinilah, namamu untuk selamanya
Dan akan selalu menjagamu
Kasih,
Namamu akanku pendam dalam hatiku. Dia tak dapat ku lukis lagi dalam kenyataan hidup.
Meskipun kesetiaannya menjadi sebuah petaka, dan sakit bagai cakar seekor srigala yang mengamuk dan mencabik-cabik hati ini.
Betapa lantangnya jeritan srigala di balik pohon cemara, dan cahaya sang bulan mengintip dari selah-selah dedaunan.
Namanya akan selalu ku sebut di setiap doaku.
Aku ingin kelak melihatnya meminang seorang bayi, dan tersenyum terang, bagai matahari yang selalu menjaga bumi, hingga bumi menutup matanya menjadi malam.
Sebelum kusandarkan raga dan tubuh yang rapuh ini, dalam timbunan tanah yang gelap dan mencekam. Bagai malam tanpa cahaya sang bulan dan bintang-bintang. Dan menghapus semua air mata dan kesedihanku ini.
Entah mengapa, dalam keyakinanku selalu berkata.
“ Di dunia ini, mungkin ia milik orang lain. Namun pada kehidupan selanjutnya, aku yakin ia milikku “
Aku yakin. Karena dengan keyakinanku itulah, aku dapat merasakan kebahagiaan.
Ketika sang surya kembali dalam peraduannya,
Sang bulan mulai bertahta dengan sinarnya, seakan sunyi malam memeburkan segalanya.
Ketika aku hanya bisa mengingatmu,
Ketika aku hanya bisa mengenang baying-bayangmu,
Ketika aku hanya bisa melihatmu dalam anganku,
Seakan kerinduan mulai menghantam lubuk hatiku.
Ketika ku jatih dan tersakiti,
Ku ingin kau datang dan menompangku.
Ketika ku menangis tersedu,
Ku ingin kau datang dan menghiburku.
Ketika mengingat semua tentangmu,
Seakan menjadi suatu pilihan terindah dalam hidupku.
Ketika kau memilihku untuk menjadi suatu bagian terpenting dalam hidupmu,
Seakan menjadi keputusan penting dalam hidupku.
**
Erwan Puji Rahayu
Awan Kematian

Sakit tubuh ini
Tergores api magma
Perih…perih dan perih…
Ribuan langkah kaki tanpa arah
Berlarian, berhamburan
Jeritan suara tangis tak berdosa
Membuat malam pekat sontak menjadi riuh
Debu pekat menghujam bumi
Dimana ada kehidupan
Tetes air mata kehilangan, mengiringi
Taburan bunga kamboja
Diatas pusar kematian
***









Murka Tuhan

Wahai Tuhan…
Kau goncangkan bumi ini
Dimana kaum-Mu berpijak
Seolah-olah penuh dosa
Ku tanya dalam hati
Dosakah aku…?
Kau beri peringatan ataukah cobaan…
Hingga ku tersadar berada di tenda penuh perawatan
Ribuan ajal kematian
Menjemput setiap kehidupan
***














Harie K
Merpatiku

Bangun
Bangunlah merpatiku
Sampaikan sajak cinta untuknya
Terbang
Terbanglah merpatiku
Sampaikan rasa rinduku padanya
Disini aku setia
Menunggu dirinya selalu
Meski sang waktu mempersuntingku
***














Rindu Dibatas Senja

Dalam teduh
Dan tetesan gerimis senja
Seorang diri aku termenung
Diantara rumput ilalang

Ingin kuhempaskan
Beban ketidak berdayaan
Untuk menggapai sebuah impian

Ada getar jika ku memandangmu
Ada keteduhan jika ku menatapmu
Ada rindu jika tak bersapa denganmu

Di batas angin
Kutitipkan kerinduan untuk hadir di hatimu
Kala senja tenggelam
Masih adakah impian…
(Salam rindu untuk Teater Kidung)
***






Pena

Coretan pena diatas kertas
Terpandang begitu menyejukkan…
Perlahan,
Jari-jariku bergerak
Menuliskan ayat budaya
Sebuah karya kecil
Dari selembar kertas putih
Dari coretan pena
Dari jemari yang menari…
Kuberikan untukmu
***














Korek Api
Dalam rimba belantara
Nan luas dan gelap
Akhirnya,
Kutemukan juga
Sebuah korek api
Dalam rembun ilalang
Dibalik sebuah batu besar

Aku senang
Karna lilin-ku tak jadi padam
Aku gembira
Karna lilin-ku tak jadi kesepian
Aku bahagia
Kana lilin-ku sudah kutemukan teman

Aku mulai melangkah
Menapaki jalan
Melewati bukit
Menuruni lembah
Menyusuri sungai
Agar ku cepat sampai
Ke gerbang samudera

Aku ingin menikmati,
Indahnya panorama alam
Merdunya kicau burung
Terbitnya mentari pagi
Karna mereka begitu indah…
Lahir

Lima desember dua ribu tiga
Tangis itu pecah
Dari dalam ruang steril
Getarkan hati
Dalam gelisah menanti
Dalam debar menunggu
Suka, cinta, dan harapan
Berkecamuk dalam dada kerdil-ku

Doa segera kupanjatkan
Pada Dia Atas Kuasa-Nya
Dan titipan
Yang tak ternilai harga
Terima kasih Tuhan…
(Buah hati-ku, cucu pertama Ayah-Ibu-ku)
***









Bangun

Matahari-ku
Ayolah…
Bangkit dari peraduanmu
Kehidupan pagi sudah menanti
Tidakkah,
Kau dengar kicau burung nan merdu
Tidakkah,
Kau mendengar nyanyian ayam jantan
Tidakkah,
Kau rasakan sejuknya embun pagi
Ayolah, matahari-ku….
Sudah kubuatkan danau untukmu…
***












Sepeda Mini


Lima desember dua ribu tujuh :
“ Nak, Aku belikan kau sepeda mini baru “
Dengan tetesan keringat
Di usiamu yang ke-empat

Nah, sekarang kukenalkan dulu satu persatu :
Ini sadel nak.., tempat yang akan kau duduki
Aku harap
Kau selalu berada pada tempat semestinya
Yang ini pedal namanya, tempat kaki berpijak
Harapku, kayuhlah dengan semangat
Setiap kehidupan
Itu roda nak, berputar dan menggelinding bila kau kayuh
Seperti roda hidup yang selalu berputar
Pahami nak, bahwa kehidupan selalu berputar
Terkadang diatas, kadang dibawah
Yang kau pegang, itu stang namanya
Kaulah pengemudinya
Yang akan membawamu sendiri ke suatu tujuan
Arahkan dengan benar nak,
Agar kau tak terperosok dan jatuh
Carilah jalan yang lurus dan benar
Meski terkadang berbelok-belok

“ Kring..kriiing..(tak sengaja kau bunyikan suara)
Oh.., itu bel nak,
Beri tanda kalo kau lewat
Bunyikan nak, bila jalan-Mu terhalang
Beri sapaan dan senyuman setiap kau lewat

Nak, pelajaran hari ini aku rasa cukup
Sekarang, kau boleh coba menaiki
Sepeda mini ini…
(hadiah untuk matahari-ku)
***
















Buku Harian

Delapan tahun silam
Kau kudapatkan
Dari seorang gadis (kala itu)
Gadis yang mengharap
Karna kuberi harapan
Gadis yang mencintaiku
Tapi tak bisa kucintai
Walau
Kucoba mencintainya

Pada muka abu-abumu
Tersorot Ma”rifah
Dalam warna keemasan
Terukir kata dalam tubuhmu :

Bulan bersinar, terlihat indah
Iringi bergantinya hari
Berharaplah pada bulan…ikuti arah angin
Hidup seperti mimpi…mimpi kita
Hidup itu indah…seindah terbang diangkasa
Hidup yang belum pernah kau alami
Hidup akan berarti…
Jika kita mampu mengisinya
Jagalah hidupmu…
Jagalah harimu…
Dapatkah kau rasakan kebahagiaan ?
Dialah hari…yang memberimu cahaya
Jangan pernah meminta banyak
Berusahalah terima apa adanya
Kau akan menjadi lain…
Lihatlah…
Kau tak perlu menutup matamu
Karena semua ada di depanmu
Segala yang kau inginkan kan datang
Hidup adalah kata tentang segala asa kita

Katakan pada gadis itu,
Wahai buku harianku
Kalau kau masih setia
Menemaniku…
***











Maha Indah

Lampu yang bersinar pada setiap sudut kota
Tak membuatku berpijar...
Pohon rindang yang berjejer rapi disepanjang jalan
Tak membuatku teduh..
Lalu lalang kendaraan yang berjubel
Membuatku pusing
Tak ada kata damai untukku..
Hiruk pikuk, celotehan, dan jeritan manusia
Tak membuatku tenang
Malah penat semakin menghampiriku..
Lukisan plastik, kertas, yang bertebaran
Yang digoreskan dalam kanvas kehidupan
Membuatku pening, muak..
Keindahan belum kudapatkan
Lalu..
Lalu apa ?
Yang membuatku
Teduh
Tenang
Damai dan Indah !
Dialah
Yang Maha Indah
Dan Mencintai Keindahan..
***

Sepi

Beberapa tahun lampau, rumah itu kutinggalkan
Demi bekal dan pengharapan meraih impian kehidupan
Sunyi, senyap, sepi.., seperti tak ada kehidupan
Kini, sepulang-ku dari kota impian
Rumah itu masih tetap seperti yang dulu : sepi

Kemana, orang tua kita itu
Orang tua yang menjadi pemimpin rumah kita
Orang tua yang dengan bijak menuntun kita
Orang tua yang dengan tulus tanpa syarat mengasihi kita
Orang tua yang mampu menghibur ketika sedang berduka
Kemana….

Kemana, anak-anak yang bernama keindahan
Anak-anak yang bernama kebebasan berekspresi
Anak-anak yang bernama semangat kebersamaan
Anak-anak yang bernama keceriaan
Anak-anak yang bernama kejujuran
Kemana….

Kemarilah..
Kita tancapkan tonggak-tonggak sejarah pada rumah kita
Agar anak-anak kita tidak kehilangan sejarah
Kita tempelkan lukisan di setiap dinding rumah
Agar anak-anak merasakan keindahan yang bermakna
Kita beri warna pada tembok rumah kita
Agar anak-anak mampu mewarnai dunia
Kita terangi setiap sudut dengan cahaya
Agar anak-anak kita tidak merasakan kegelapan
Ayolah, mumpung kita masih diberi waktu…
( Membangunkan orang yang tidak tidur…??!!)
***




















Tikus

Bangsat !! : ucapku
Tikus-tikus itu ternyata masih berkeliaran
Keluar dari kubangan lumpur yang menjijikkan
Mengais pada setiap jengkal kehidupan
Tanpa malu…
Bahkan menari-nari riang tanpa sungkan
Tertawa bersama kemunafikan
Menangis dalam kepalsuan iblis
Membuat tanda seru (!) menjadi tanda tanya (?)
Mau lari kemana, hai tikus busuk…?
***














Piala

Gong telah ditabuh
Sirene meraung-raung
Peluit tlah dibunyikan
Pertanda, pertandingan akan dimulai…!
Terpampang jelas pada pintu masuk :
“ Selamat Datang Peserta Lomba Terpanas”
Siaaapp…graakk…!!
Peserta lomba mulai pasang strategi
Mulai teknik biasa, sampe teknik tingkat tinggi
Dari tradisional sampe modern tlah dicoba
Sikut kiri sikut kanan, itu biasa..
Hanya untuk mendapatkan sebuah piala :
“ Piala Di Atas Kursi”
***











Pewaris Tahta

Wahai calon pewaris tahta Banjarnegara
Hari ini,
Kami ingin engkau mendengarkan kami…
Jangan sebaliknya,
Kami yang selalu mendengarkan engkau
Di setiap pembicaraanmu, tempatmu, dan langkahmu…
Wahai calon pewaris tahta banjarnegara
Berikan kami suara-suara realis, ketimbang suara-suara sumbang, slogan-slogan palsu, ataupun pepesan kosong…
Agar kami bisa mengajarkan kejujuran pada anak-anak kami
Berikan kami sikap ksatria
Agar kami bisa menumbuhkan ketangguhan pada anak-anak kami
Berikan kami jiwa yang luhur dan berbudi
Agar kami bisa mengajarkan kehidupan bermakna pada anak-anak kami…
***










Endang Budiastuti
Bisikan Dini

‘ Bangun “ sayang
Ah mimpiku jadi terusik
Bangunlah Aku menunggumu
Sesaat ku terjaga
Kusentuh air membasuh debu
Hamba datang kekasihku
Kau sambut aku dengan senyum
Jemari-Mu mesra membelai jiwaku
Jiwa yang berdosa
Hamba berdesah lembut
Terima kasih
Setiap malam Kau bisikan kata cinta
Cinta ikhlas-Mu padaku
Begitu indah
Begitu damai…
Begitu riang melayang
Sewaktu berada di dekat-Mu
Hilang segala duka
Hilang segala luka
Oh semoga sahajaku
Dapat membalas cinta kasih-Mu
***

Ajron Achmari
Inginku
Andai bisa…
Kuingin ikuti laju matahari
Dan kutemukan Diri-Mu di balik bengis sinarnya
Kan kubiarkan senyum-Mu mengembang
Membakar semua tentangku
Hingga luruh tak berbekas
Menjadi debu-debu
Yang bertebar di bawah Telapak-Mu
***










As Shomad 1

Adakah
Yang bisa kuhadirkan
Selain rintih kidung di malam sunyi ?
Adakah juga
Yang bisa kuberikan
Selain air mata diatas sajadah using ?
Ampuni aku !
Hingga kini bari itu
Yang bisa kupersembahkan
Meski ku yakin
Kau tak pernah butuh itu
***













As Shomad 2

Mengapa harus dengan berjalan
Kau jemput hadirku
Kala cintaku masih tetap merangkak
Mengapa rindu-Mu telah berlari
Kala langkah cintaku
Tak juga kunjung bergerak
Wahai Engkau
Mengapa tak pernah berhenti
Menunggu hadirku
Dengan Sucinya Cinta milik-Mu
Dengan Agungnya kasih di dada-Mu
Sedang aku tahu
Kau tak pernah butuhkan apa-apa dariku
***











Tidurlah Matahariku

Aku rela
Matahariku tenggelam
Meski…
Aku masih ingin
Rasakan hangat sinarnya
Kutahu ia telah
Bergelut dengan awan
Di lautan langit yang diarunginya
Biarlah
Ia tidur dengan tenang
Di sepanjang malam miliknya
Dengan iringan doa
Yang selalu menjaganya
Hingga kelak ia terjaga
(selamat jalan, Yung. Kami ikhlas melepasmu…)
***









Yogi Nur Prasetyo
Di sini dan Selamanya
(Buat Rhie…)

Dingin…
…dan ini terlalu dingin jika kau tahu
Aku ingin ada dirimu di sini
Menatap lekat dua bola mataku
Aku ingin ada dirimu di sini
Mendekapku erat
Hangatkan malamku yang terlalu dingin tanpa dekapmu
…melewati waktu
…ku berjuang agar dimgin ini tak mengalahkanku
Aku ingin ada dirimu di sini
Menggenggam tanganku kuat
Aku ingin ada dirimu di sini
Kuatkanku yang lemah tanpa hadirmu
…bertahan seperti hati yang terbuang mencari raganya
Aku ingin ada dirimu di sini
Membuat senyumku yang tak tercipta tanpa senyum darimu
Aku ingin ada dirimu
Disini dan selamanya
***


Dwi Ari Yani
Waktu

Tak perlu dipercepat
Apa yang harus datang terlambat
Tak usah menolak
Apa yang harus terjadi sekarang
Masa muda tak pantas disiakan
Jangan buat dirimu kan menyesal
Demi kesenangan sesaat
Hanya karena egomu yang sesat
Bukankah seharusnya
Hidup ini harus berubah
Masa depan kan menanti
Ada kebahagiaan
Yang lebih indah
Ada hikmah di balik semua perjuangan
Ada senyum setelah tangisan
Sudah saatnya
Kita berubah
Untuk masa depan yang kan lebih cerah
Bukan saatnya kita menyerah
***




Ani Setiana
Sejujurnya

Jangan ucapkan cinta kepadaku
Engkau sama sekali tak mengenali dengan utuh
Biarkan aku tetap dalam kebekuanku
Dalam sekujur rautan para rahasia
Aku takut engkau akan menggelepar
Jika aku tak sanggup memberimu air
Aku takut engkau akan menjerit,
Meronta
Memakiku
Dan meludahiku
Dengan sirip-siripmu yang tajam
Berhentilah !
Sejujurnya aku tak pernah mencari harapan apapun
Dan sejujurnya
Aku adalah cinta yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata
Dan seketikaakan menjadi sebilah pisau
Jika engkau tak dapat mengeja namaku dengan sempurna
Sejujurnya
***



…………………….

Ku akui apa yang telah kusesali
Dan kadang merasuk dalam penipuan diri
Kini aku menjalani…
Segala penampakan naluri dan ilusi
Aku nggak mau tertidur lagi…
Aku terbangun dalam mimpi-mimpi
Dan kini aku terjaga
Tersudut aku menepis harapan
Dalam pencarian mengarak baying
Kegelapan telah berlalu dan…
Waktu membius detak otakku
Kelopak mata enggan terbuka
Terlintas rasa yang terpendam
Tak kuasa untuk mengatakannya
Seakan aku bertanya…
Dan suara hati berbisik
Kini aku tertatih-tatih
Gerak angin dan khayalku terjerat
Jiwaku terkoyak tercabik-cabik
Selalu menggema menakjubkan kepedihan…
***




Dian Ragil Handayani
Rindu Yang Berujung Beku

Mentari hamparkan senyumnya di wajah alam
Kehangatannya member nyawa kehidupan
Meretas asa membangun jiwa
Khayalku menerawang
Menembus cakrawala
Anganku membayang
Engkau begitu dekat
Namun tak sanggup ku gapai
Saat gelap selimutkan wajahnya pada malam
Ku tertahan,
Pada rindu di ujung malam
Yaa Rabb…
Ada damai kurasa
Saat indah wajahnya terbayang dipelupuk mata
Ada rindu tergores
Kala bayangnya mulai memudar
Ada hangat yang membekas
Saat hadirnya cerahkan hariku
Yaa rabb…
Hendak keman malaikat ku kepakkan sayapnya?
Nestapa yang kucoba ingkari
Hadirkan luka
Menahan jiwa pada rindu di ujung malam
***
Mitsaaqon Ghaliidzon
(Perjanjian Suci Nan Agung)

Saat pagi menjelang semburat mentari hangatkan jiwa dan raga ini
Menggapai cinta yang hakiki
Menata hati menuju Ridho Illahi
Sesungging senyum bertahta pada wajah yang bercahaya
Lantunan doa malaikat di naungan sayapnya
Iringi dua insan menuju istana peraduan
Saat sang pangeran berucap penuh makna
Sebuah perjanjian yang suci mitsaaqon ghaliidzon
“Qobiltu nikahaha…watazwijaha linafsii bimahril madzkuuri haalan”
Lantunan indah Al-Ma’rij mengalun syahdu
Hadirkan haru yang membiru
Membungkus kesunyian yang membeku
Ciptakan tawa dan airmata
Sambutnya indahnya mahligai kehidupan
Menuju cinta sejati yang penuh arti
***








Wiwit Susanti
Astaghfirullah…

Ya Rabb kami…
Jauh sudah langkah kami…
Menghitung senja dan merangkai cita…
Memburu mimpi dan mengais rizki…
Membingkai angan dan menggantung asa…
Menuai suka dan menabur luka…
Ya Rabb…
Masih adakah cinta-Mu untukku?
Masih adakah cahaya kasih-Mu di persimpangan jalanku?
Masih indahkah pengampunan dari-Mu?
Dan masih bersinarkah lilin-lilin rahmat-Mu?
Atau semakin redupkah disisa umurku?
Astaghfirullah…
Astaghfirullah…
Astaghfirullah…
Ya Rabb…
Jika diri terlalu lalai dan berbuat hina,
Lidah tak henti-hentinya menusuk jiwa,
Dan hati slalu mendua
Masih adakah sedikit waktu untukku?
Waktu untukku kembali pada-Mu?
Memohon ampunan dan bertaubat di ujung senja-Mu?
Beristighfar dan menguntai rindu hanya untuk-Mu…
***
Lia hestiana
Ibu

Betapa tulus cinta yang telah kau semaikan di hati anak-anakmu ini
Tak pernah kau keluhkan pengorbananmu untuk kami
Tak sedikitpun kau tampilkan raut kepayahan di wajahmu
Ibu…
Pengorbananmu…
Kepayahanmu…
Keletihanmu…
Kasih tulusmu…
Tak mampu ku balas walau seisi langit dan bumi ini sebagai jaminan
Ibu…
Kau adalah tangan Tuhan
Ingin sekali kubisikkan betapa aku sangat mencintaimu
Namun ego ini terlalu menguasaiku
Ku hanya mampu mengucapnya lewat asa tuk buatnya bangga padaku
Menjadi yang terbaik untuknya
Ya ALLAH…
Satu pintaku, jagalah selalu
Agar mentari kasih sayangnya tak pernah redup menyinari hari-hariku
***




Abdul Qodir
Menetes Jua

Dia yang dulu pendiam
Dia yang begitu menakjubkan
Dia yang begitu mempesona
Tiba-tiba dia marah
Dan terus bergerak-bergerak
Apa yang terjadi?
Seolah digelitiki oleh tangan-tangan kotor
Gelisah, gundah
T’lah lama dia menahan diri
Dan kini dia mulai menangis
Tangisan yang menimbulkan banyak tangisan
Tangisan dengan air mata yang panas
Meleleh dan merah
Disertakan luapan asap dari ubun-ubun
Kini dia berubah mengerikan
Membumi hanguskan sekelilingnya
Seakan menganggap dia penguasa
Membunuh tanpa pandang bulu
Siapakah yang membuatnya berubah?
Tangan kotor siapakah ini?
Tolonglah kami
Terdampar oleh ulah kalian
***

Sri Handayani
Biarlah tetap ku Simpan

Waktu semakin berlalu
Kaupun semakin jauh dariku
Haruskah langkah kakiku terhenti disini
Bila bayangan ilisimu terus mengejarku
Haruskah aku terpaku disini
Bila semua telah berlalu
Haruskah aku mengharapkannya tuk kembali
Bila semua bukan lagi milikku
Haruskah aku tetap menunggunya
Semua kini tinggal kenangan
Biarlah kini kujalani semuanya sendiri
Tapi ijinkanlah
Aku membawa sisa-sisa kepingan cinta kita
Biarlah aku terus menjaganya
Walau kita takkan lagi menyatu seperti dulu
Walau nanti ku akan temukan cinta yang lain
Selamanya di hati ini
Selalu ada tempat istimewa untuk cinta kita
***




Ely Sukasih
Kuasa Illahi

Kau semburkan…keagungan-Mu
Engkau tunjukkan kehebatan-Mu
Tiada yang mampu menandingi-Mu
Menggelegar suara gemuruh dari sisi-Mu
Semburan lava pijar menghanguskan manusia
Jatuh…jatuh bergelimpangan tak bersuara
Begitu dasyat gemuruh itu…
Hingga meluluhlantakan semua kehidupan…
Berdiri kekar penuh kharisma…
Membawa mandat dari kuasa
Ingatkah manusia akan semua itu?
Mengapa…mengapa…bumi jadi seperti ini
Azabkah… …atau Allah sedang menguji kami?
Mengapa manusia yang menjaga…merapi…merapi…
Bukankah ada Allah sang raja yang merajai?
Adakah yang kuat selain Allah?
Pikirkanlah wahai manusia…
Sudah sebelas hari muntahkan isi…
Sudah belasan orang meninggalkan bumi
Berapa yang telah kau bawa tuk kesana
Siapkah menghadap Illahi Rabbi
***


Endra Setya Wati
Meraih mimpi

Menatap hari esok dengan keyakinan
Meraih impian seindah bunga sakura
Tebarkan semerbak wangi kebahagiaan
Tinggalkan hari kemarin yang telah
Menjadi kenangan
Jadikan pelajaran untuk perjuangan
Seiring musim berganti
Sejalan waktu berputar
Satukan hati takkan tergoyahkan
Walau badai menerjang
***













DWI CHAPSOH MARLIANA
WAKTU BELAJAR

Bila waktu sedang melebar
Kesempatan luas untuk belajar
Waktu terus berputar
Semangat jadi berkobar

Waktu bagaikan pedang
Bila engkau mengenal waktu dengan baik
Pedangpun tak akan melukaimu
Bila kau disiplin waktu

Dari perjalanan waktu
Merindukan belajar
Usapan ramah riak-riakmu
Kecipaknya mengipaskan

Masihkah doa itu dipanjatkan bagai kidung tembang kehancuran
Menolak goda rencana dan rayuan
Dengan rahmat-Mu tak tergoyahkan



HAPSARI
PENYESALAN

Ku dengar lonceng berbunyi
Kawanku segera berlari
Dengan langkah pasti mereka
Siap tuk belajar dan menggali ilmu sebanyak mungkin

Bahagia….
Betapa bahagia mereka
Sedang aku hanya diam membisu
Melihat mereka dari balik pagar
Ingin rasanya aku kembali kesana

Tapi kegagalan masa lalu
Membuat niatku tuk kembali kesana hilang begitu saja
Menyesal…aku sangat menyesal
Tlah ku sia-siakan kesempatan
Kini tak ada lagi kesempatan ke dua untukku
Dan aku hanya diam membatu

SITI MARIAM
BAYANG DI CERMIN

Cermin lonjong tak berbingkai
Pantulkan wajah yang taka sing
Saling tatap…saling senyum mengejek
Kata mereka kau manis
Matamu bangunan arsitek
Mengerjap, alunan lampu disco
Di tepian senja hatimu
Ku tatap lekat wajahmu
Ada jerit halus di matamu
Ku tangkap juga sosok kecewa
Wajahmu pun penuh misteri
Bicaralah kebijakan
Senyumlah dalam binary indahmu
Untukku untuk semua
Tuk bangunkan tidur hampamu

UMI MARDEWI
PUISI KECIL UNTUK KAKANDA

Kandaku…kau lusuh sekali
Rasa dan hatiku berbisik itu
Walau aku tak disisimu
Dapat kurasa jelas keadaanmu
Jelas ku dengar lengkingan jerit hatimu
Yang rindu kedamaian

Kanda…
Basuhlah jiwa dan ragamu dengan air Illahi
Cepatlah kanda, sebelum kau tenggelam dalam pekat hitamnya problema
Kuatkan perisai iman di hatimu
Bentengilah dengan takwamu
Bangun kembali rumah damaimu untuk rasamu

Kanda….
Dosa itulah yang membuatmu lusuh
Dosa itulah yang telah memadamkan cahaya indah wajahmu
Kanda…berhentilah
Jangan lagi dekati dosa, walau hanya bayangnya

ARDIANA W SAPUTRA
TENTANG
Nuraga, nurani, asa…
Tak bermakna tak berarti
Tak berupa tak berpeci
Tak berpedoman tak bertujuan
Bagai malam yang kelam tanpa sinar rembulan
Namun ketika
Sentuhan ilmu pengetahuan
Maulai membasuh dahaga mereka
Mulai mengubah kekotoran mereka
Bagai sinar purnama malam
Mulai menerangi kelam

Memang
Rona langit masih kelam
Tapi tak lagi sehitam arang

Itu cukup
Sebagai kemenangan ilmu pengetahuan
Kemenangan adalah perubahan
Menuju cahaya terang

Tak perlu menanti matahari bersarang di peraduan
Tak perlu menanti tetesan embun jatuh di rerumputan
Tuk menuai ilmu pengetahuan
Dalam jantung yang berdebar Dalam langkah yang berderap
IBU KOTA KU TITIP SAUDARAKU
RANGGA PRAYOGA ADI

Hari ini kau berangkat saudaraku
Menyongsong masa depan di tanahmu
Hujan yang laksana tercurah dari langit
Dan senja yang menghitam
Angin yang rebut sendiri
Halilintar yang menggelegar
Ikut melepas kepergianmu

Wahai ibu kota
Tlah ku dengar kekejamanmu
Tlah ku lihat elok wajahmu
Di balik raut cantikmu
Tersimpan beribu janji semu

Selamat jalan saudaraku
Semoga ibu kota menyembutmu
Dengan ramah senyumannya

TUHU NANDA PANGESTU
INGIN

Ku dengar sudah
Lewat mulut-mulut waktu
Telingaku terbuka
Dengar kabarmu
Terbersit terngiang
Kata indah penuh asa
Ingin ku jumpa denganmu
Ingin ku menari di altarmu
Ingin.

NURSIDIN
PERJALANAN

Sbelum roda berputar
Kutunjukan lagi selembar karcis putih, aku akan pergi
Roda bus tua menjerit
Mengingatkan aku akan kejamnya kota
Tapi aku tak menghiraukan
Kaca berdaki hitam bercanda
Memberi sketsa tak ramah penghuni kota
Aku Cuma diam

AS-HAMED
LEMBAH BELIMBING

Gemuruh suara air
Blimbing sungaiku
Tak lagi jernih seperti dulu
Tak terdengar lagi kidung nyanyian tambra
Atau sapa sang kekel
Semua hilang bersama pohon beringin
Tempat dulu kami bermain
Berayun di akar berjuntai
Lalu terjun di kedungan yang dalam
Beringin itu hilang kini
Bersama hilangnya masa kecilku
Teman sepermainanku pergi
Mencari jati diri
Angin yang semilir
Meliuk di antara cadas-cadas
Tanah gersang kampungku

DRAJAT NURANGOSO
RUMAH CINTA SUKU KABUT

di atas bukit sisi utara
tempat menyatu bumi dan langit
bergelayut kabut turun berarak
mencium tanah yang subur
mendekap udara yang dingin
diam tafakur di daun-daun basah
keringat suku kabut mengolah bumi

di atas bukit seribu nyanyian
tentang keikhlasan hidup dan kesyukuran
bergema lirih dari rumah itu
tembang cinta, puisi hymne keagungan tuhan
tariannya adalah gerakan menyetubui bumi
melahirkan dongeng tentang manusia-manusia perkasa
yang selalu sabar dan tawakal meraih mimpinya

rumah cinta suku kabut
beratap cinta, bertembok cinta,
bertiang cinta, pondasi cinta
kecintaan pada hidup adalah
untuk terus bemimpi dan menyukuri karunia illahi

dari bilik-bilik rumah cinta suku kabut
manusia-manusia perkasa menggubah sair
lantunan tembangnya adalah puisi tentang kesejatian diri
gemulai tariannya adalah dongeng tentang perjuangan dan doa
rumah cinta suku kabut
diatas bukit utara banjarnegara
tempat menjaring mimpi menggalah matahari
tempat dongeng mengaliri waktu
tentang keperkasaan , kesabaran dan keikhlasan
tempat tarian persembahan pada sang agung
berhias bunga-bunga puisi mimpi dan harapan,
banjarnegara, 23 september 2010

GERIMIS

Kita tanam gerimis
Agar esok kemarau dapat memetik hujan
Karena Matahari begitu garang
Meneteskan keringat menguapkan kesyukuran

Kita buat kolam yang lebar
Dimana tetesan air mencipta jutaan lingkaran lembut
Tak ada gelombang bahkan riak-riak yang membuat erosi tepian kolam

Bila kita dapat menyukai gerimis
Bawalah tetesnya ke rumah cinta
Seketika tercipta lagu yang teramat syahdu

Kita cumbu gerimis
Agar ketika hujan menampar hati, kita telah akrab dengan badainya
Dan lagu sukma mengobati luka.

Banajrnegara, April 2009

MENGENANGMU
Tribut to KH Abdurahman Wahid

Kami yang terdiam mengenang
Seratus hari pulangmu dalam pelukan Sang Maha Cinta
Laki-laki yang lembut penuh canda
Yang telah dengan perkasa membongkar sgala ketidak adilan
Kami mengenang pulanganmu – duhai bapakku
Bapak dari semua suku, Bapak dari semua ras, Bapak dari semua pemeluk agama
Bapak dari semua jiwa yang ber Tuhan esa
Dalam hening kami tertunduk – kepala kami penuh dengan gambar tentangmu
Subhanalloh
Kadang engkau seperti angin
Memporak porandakan logika dan pemikiran kewajaran
Membuat darah menggelegak seperti deburan samudra hindia
Tapi kadang kau juga,
Membelai meniupkan semilir kesejukan di tengah gersang kemarau jiwa
Subhanalloh
Kadang kau seperti api - seperti puisi
Membuat orang dewasa karna tafsir yang berbeda
Mendidihkan emosi hati seperti kawah candradimuka
Menggembleng lahirkan gatotkaca
Membarakan semangat rakyat yang kehilangan muka
Kembalikan rasa Indonesia pada jati diri bangsa

Kau pejuang demokrasi yang gigih
Yang mengajak rakyat tetap tertawa saat dihimpit pahit
Tak pernah ada kata ”repot” dalam kamus hidupmu
Karna kau melangkah tanpa terberati kemilau dunia
Kami yakin kaupun tak pernah ”repot” ketika mungkar dan nangkir mencecar tanya
seperti anggota dewan yang terhormat di pansus buloggate
Kau, guru bangsa yang bersahaja.
Selayak Punta Dewa raja bijak tak ada tandingnya
Kau semar sang pemomong yang sabar dan setia
Tapi lebih sering kau menjadi punakawan simbol rakyat biasa

lelap terlelap kau dalam pelukaan kasih-Nya
meninggalkan benih-benih pluralis kembalikan semangat bhineka tunggal ika
lelap terlelap dalam tidur panjang berkafan doa
membayar hutang pada tanah pembentuk jasadmu
kau telah hibahkan seluruh waktu hidupmu
untuk menebus nurani bangsa yang telah tergadai rentenir jiwa

malam ini angin terperangkap-hembusnya beribu cerita tentangmu
sebelum kau terlelap diiring tahlil bergelombang lirih
saat kau sendiri di padang sunyi
dalam damai pelukan pertiwi

Kami mengenangmu, bukan mengkultuskanmu
Kami memujimu agar kami tertular segala tindak terpujimu
Kami anak-anak pewaris negeri merdeka
Lantumkan ode buatmu dan doa bagi lapang jalan menuju sorga-Nya




INIKAH INGINMU
Surat buat wanita di sebrang harapan

Bahkan ketika badai
Aku masih tetap menunggu
Dengan kaki yang gemetar menahan
Pusaran angin puting beliung yang kau hembuskan
Karna yakinku kau hanya menguji setia dan kedewasaanku

Telah ribuan malam ku lewati
Dengan gigil dan rasa was-was
Karna hembusan angin badai yang kau ujikan diperam bulan
Menciptakan danau, sampan dan arak
(Aku masih setia –tak mau bersampan tanpamu)

Ada kalanya
Ketika gerimis mengiris senja
Tetes airnya jutaan partikel warna pembentuk bayangmu
Aku tak sabar menunggu lalu membanting matahari
Tersedu di sudut sang waktu

Bukan aku tak punya kesabaran menunggu
Tapi lihatlah kakiku smakin dalam terbenam
Menahan beban tumpukan kelopak bunga rindu
Apakah memang begitu inginmu
Aku mati dibukit penantianku.
TUGU KOTA

Nol kilometer kotaku.
Di sini langkah bermula
Menuju pisowanan agung dari empat penjuru mata angin
Alun-alun berpagar beringin tempat bergelayut kesejukan dari Lawe Pawinihan
Tempat dimana rakyat tiriskan resah gelisah
Sebelum azan berkumandang- biarkan angin turun dari ringin kembar
Lalu hantarkan doa dan permohonan

Lampu berkedip di tugu kotaku
Seperti degupan jantung para pejuang
Tiba-tiba aku terlempar pada genangan darah para pahlawan
Lalu, jiwapun sunyi memaknai
Relief yang menempel di tugu kotaku.

Malam membius, lumat oleh gelisah – jiwaku terserpih
Terseret masuk pada pusaran waktu
Ku dengar pekikan heroik pahlawan tak bernama
Tugu kota selayak teratai di tengah danau darah
Lalu, sepanjang jalan dari empat penjuru mata angin
Kuburan-kuburan tak bernisan
Sunyi. bukan rintihan,
seperti do`a.

Angin pawinihan
Tidurkan aku.
Bawa sura azan masjid kauman mengelana keseluruh penjuru kota
Bangkitkan tunas-tunas patria
Menabuh genderang bersama burung-burung pagi
Di sawah, di kebun, di ladang, di kolam, dan di kantor praja
Buka pasar segera tapi jangan untuk jualan jiwa
Satukan kubah masjid dan pendopo
Lalu, bisikan pada para penguasa untuk tetap sholat jiwa raganya

Banjarnegara, Agustus 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar