Kamis, 17 September 2009

MURAWI: obrolan pinggir ndalan

WISATA
Oleh : Kang Drajat

Kang Paryo wajahnya tidak sumringah seperti hari biasanya. Selepas jumatan, Kang Paryo mengenakan pakaian kebesarannya, werpak kumal penuh oli bekas dan debu yang menempel. Murawi bersama pasukan komunitas kreseknya singgah di bengkel jambu kluthuk itu. Sarung dilingkarkan di leher, lalu mereka duduk di atas blandar kayu kelapa bekas rumah Martaja.
Seperti biasanya entah siapa yang memulai debat bertukar pendapat, diskusi pinggir jalan mengalir. Komentar nakal bersahutan gaya tarsan ketika satu pembicara mengutarakan pendapat dengan enaknya dipotong sebelum kalimat terakhir keluar dari mulut, menjadi arena teater yang sangat natural.
Dari masalah politik menjelang pilgub, lalu meloncat kemasalah pilihan bupati tetangga kabupaten yang mintip-mintip sebentar lagi pelaksanaannya, sampai pembuatan perangkat desa oleh Baperdes yang sedang menjadi buah bibir desa itu karena pembuatan soalnya harus umpetan di loka wisata bawah gunung Slamet. Kang Paryo sesekali juga ikut menimpali sambil mengencangkan baut-baut motor pasiennya. Pembicaraan enteng mengalir. Topik berganti dengan khutbahnya Dul Jago.
Di desa Murawi ada seorang yang agak kondang. Sering mengisi pengajian dengan gaya meledak dan nada melengking tinggi, menjadi khotib di Masjid Jami Nurul Huda. Entah apa yang bisa menyihir takmirul masjid sehinga dengan begitu mudah memberikan kepercayaan kepada orang itu untuk menjadi khotib. Alasan utama karena pekewuh, sesuatu yang sangat ditentang oleh Ikatan Remaja Masjid Nurul Huda, bukan karena melengkingnya ketika berdakwah atau karena dia pendatang, bukan sama sekali . Yang menjadi penyebab hanyalah karena ia suka mbawa jago, makanya dapat julukan kyai dul jago.
“ kamu tadi dengar khotbahnya apa ndak?” Turmadi mulai membuka kran mulutnya. Murawi tahu tujuan sasaran bidik dari pertanyaan itu. Anggit yang ditanya diam saja, demikian juga orang-orang dibengkel itu.
“ Jumatan pada ndak sah…nyong kabeh tadi ndak pantas disebut melakukan sholat jumatan” mendengar semakin muncratnya omongan tukang ndeder lele itu Paton melirik mendekat ke Turmadi sambil mengerutkan jidatnya.
“ kalao ngomong jangan asal, masa kami semua hanya pantas disebut senam, apa maksudnya?”
“ Saya mau tanya, apa isi khutbah tadi? Nah, ndak ada yang nyanthelkan?. Nggak ada yang nancep nang ati mbok? Sampean kabeh tadi pada ngomong sendiri. Khutbah itu penting. Kata pak kyai itu sama dengan dua rokaat. Masa khotib sedang khotbah sampean pada khutbah sendiri..pada kandahan..itu sudah ndak bener blas..katanya pak kyai ngomong “hus” gitu saja sudah gugur jumatannya..”
“ Lha sebel koh…karena yang khotbah kyai dul jago..gaweane ngithir jago, mulane ditinggal cerita sendiri-sendiri “ Anggit menyahut sambil menyalakan rokok gabusen yang gepeng karena kecempet dompet.istilah komunitas kresek rokok cap keris.
“ apa salahnya mbawa jogo..kalo ngithir anak anjing itu baru najis…lebih baik tidur dari pada cerita ketika khotib sedang khotbah..”Turmadi bertahan dengan nada meninggi.
“ lebih baik diam, bukan tidur..diam adalah emas” Murawi terpaksa ikut nylemod sambil membetulkan letak duduknya. Udara panas mulai meneteskan keringat Kang Paryo, lagu campursari mengalun dari rumah Martaja, menjadi ilustrasi obrolan di bengkel itu.
“ Maksudnya apa kang Murawi?” Turmadi bertanya agak mbesengut merasa disalahkan pendapatnya.
“Wah…saya sebetulnya sudah berniat mau jadi pendengar saja je…tapi ndak apa-apa, bismilah, semoga menjadi ibadah.” Murawi meneguk air putih yang diambil dari dispenser bengkel Kang Paryo, lalu melanjutkan pembicaraannya.
“Ngantuk obatnya tidur, lapar obatnya makan, haus obatnya minum..benar…tapi kan semuanya ada tempatnya. Aku juga ndak sependapat kalao khotib sedang khotbah ditinggal tidur, namanya tidak saling menghormati..apa karena bila tidur sambil duduk tidak batal wudunya terus menjadikan kita meninggalkan orang yang sedang memberi siraman rohani dicuekin dengan kita tidur? Aku juga heran, jumatan dimana-mana pasti banyak yang tidur ketika khotib sedang khotbah. Waktu saya kecil dulu sangat malu bila tanpa terasa tertidur ketika khotib sedang khotbah..tangine wirange pol..isin banget, tapi sekarang kelihatan biasa saja. Kita sudah terlalu permisif, hingga apa-apa dimaklumkan”
“Termasuk rika kang Murawi, tadi juga memaklumkan Dul Jago” Iwan menohok Murawi sambil ngglendoh minta rokok sama Murawi.
“Lho aku ndak memaklumkan Kyai Dul Jago kalao dia benar-benar ikut adu jago, aku yang berada di baris paling depan bilang pada takmirul masjid untuk tidak memasangnya menjadi khotib..tapi itu kan baru praduga kita, apa ada yang pernah menyaksikan aksi dul jago menarungkan jagonya? “
“ Lha kan mbelani….kan permisif, memaklumkan, dengan alasan praduga tak bersalah perlu dilindungi..”
“ Aku ndak memaklumkan, tapi tunduk pada takmir yang bikin jadwal. Dari pada gugur jumatannya lebih baik mendengarkan khutbah. Jangan lihat siapa yang menyampaikan tapi apa yang disampaikan. Ingat itu.”
“ Jadi,sebenarnya sampean ya mandan kepeksa ya gurune?” Kang Paryo melemaskan punggungnya, berdiri mendekat ke Murawi.
“ Sebetulnya pada salah. Kalao kita niatnya mau jumatan, ya lakoni sare`at jumatannya, bukan ngobrol ataupun tidur. Kalao kita dapat hening, khusu, melepaskan segala ego diri manembah mring Gusti Allah..seperti kita wisata. Kita akan temukan keindahan dan kenikmatan melakukan salat jumat.”
“ Lho kok wisata “
“ Begini Kang Paryo..ibaratnya kita sedang bertamasya, terus ada pemandangan indah yang mestinya dapat mendetakan rasa syukur dan takjub pada kemahasucian Tuhan tapi mata kita merem, lalau apa yang kita dapat? Kita wisata di negeri simponi dengan dendang indah ajaran Tuhan tapi kita ngomong sendiri, apa yang dapat kita dengarkan? Lalu meresapkah dalam hati sanubari kita dan menjelma menjadi lentera pepadanging dalan?”
“ Pancen tek akui gurune maene pol kalo sudah bicara yang pake mambu mambu puisi, kepenak nang kuping tur mbetai dirungokna”
“ Kang Paryo, aku aja dialem, mbok kepentut pentut.”
“ Boleh tanya masalah wisata mas guru?” murawi mengangguk
“ Masalah wisata. sebetulnya ..saya sedang bengel banget..pusing ora eling eling”
“ Anake pean meh plesiran sekolahan, bengel gimana, kan semua sudah jelas bayarane berapa.”
“ Iya Ton. Anaku meh wisata meng Dupan karo ndeleng pilem empat dimensi terus meng taman Sapari Bogor..bayarane gede banget. Sekarang aku bisa mbayar tapi lebonan anyar kan butuh duit bangunan, sepatu, klambi, uang komite…pokoke bengel mikirna.”
“ Salae punya anak, eling kepenake gemiyen..itu namanya nikmat membawa sengsara mbok, mulane Murawi ra mbojo maning pilih nduda ya?” turmadi nyemod sanbil ngacir kearah barat tempat tukang ukir.
“ Saya lagi mikir mas guru, tegel-tegele guru pada ngobyek…”
Murawi terperangah, wajahnya memerah mbesengut lalu memotong perkataan Kang Paryo
“ Stop kang aku guru…jangan menuduh..aku tak ngomong babagan wisata ya.dirungokna dadine ora waton nuduh..”
“ Lha itu yang saya arep arep je..biasane angger sing nerangaken Njenengan penak banget dirungokna”
“ Ala… memuji biar….. Murawi ndak jengkel?”Iwan Gilang mengolok olok Kang Paryo
Suasana kembali mencair, murawi sudah dapat menguasai dirinya. Hatinya memang mangkel karena tidak semua guru tegel ngobyek wisata pada siswa, tapi memang banyak sekolah yang menjadikan wisata hanya sebagai kelatahan dan bagian dari usaha sripilan. Ada sekolah yang swakelola. Murawi mulai mengurai dengan panjang lebar, sesekali nampak dahi komunitas kresek mengernyit, membelalak, terkaget kaget mendengarkan uraian Murawi tentang manajemen sekolah. Bagaimana tidak, usaha pemerintah untuk meringankan beban masyarakat dalam hal pendidikan ternyata belum sepenuhnya direspon dengan baik oleh para kepala suku di sekolah. Komunitas kresek geleng-geleng betapa sulitnya di negeri mimpi, dah ada dana BOS tapi masih juga ada uang komite.
“ Wisata itu penting dulur dulur, kyaine juga sudah pernah mulang kalau kita disuruh bepergian untuk menambah wawasan. Nah disekolah itu ada wisata, itu program sekolah yang dibuat bersama dengan orang tua wali siswa melalui komite sekolah, perwakilan siswa dan guru pendamping. Jadi sekolah mengadakan wisata dalam rangka menjalankan amanah bukan ngobyek, nah untuk meringankan pembayaran biasanya pake tabungan wisata. “
“ Lha anake aku ndak nabung, sekolah tidak membuat tabungan wisata je”
“ Sekolah lagi disalahkan, sekolah buat tabungan wisata nanti tutuke sampean juga monyor-monyor, jerene sekolah ngobyek tabungan..awake dewek rumangsa fakir mbok nylesepna seperak rong perak selama tiga tahun kan dapat banyak”
“ Ndais…salae rika melecehkan Murawi, siki dibales… kapok lu..” Nurpolid cah STM sing rambute njegrag angkat bicara.
“ Ora kang…aja gela, aku mung guyon..secara hasil Kang Paryo lebih banyak penghasilannya. Inyong guru, gajine wis keton pira-pirane..lha Kang Paryo sering olih rejeki sing ora keduga, tiap harinya minim dapat seket ewu bersih, cuma werpaknya yang luthu-luthu”
“ Lah..angger ngendika li sok begitu”
“ Kiye tah bener, kalau kita pinter menjadi menejer rumah tangga, memanage rejeki sing sekang Gusti Allah rika ya bisa pake baju yang selalu bersih, tidak jumatan pake kaos tayumen..memang benar yang penting bersih, tapi kan lucu, pan ketemu lurae be klambine apik masa pan menghadap Gusti Allah klambine sekobere..mulai siki jajal di kurangi le klepas klepus nyedot barang makruh dadine anaknya mau wisata tidak gemlebeg kebengelen.”
“ Jadi menurut njenengan saya harus bagaimana dengan wisata itu? Apa tetap usaha apa jor anak saya tidak usah ikut?”
“ Membiyayai anak untuk belajar adalah kewajiban, kalau iklas nanti pasti ada jalan lain. Percaya Gusti Allah Maha Kaya. Jangan ngedumel, apalagi nyalah nyalahkan sekolah tempate rika nitipna bocah.”
“ Jadi wisata bukan obyekan guru ya kang ?” Nurpolid nylethuk lagi, komunitas kresek rame rame ndongsokna sirae cah STM yang rambutnya njegrig itu.
Lingsir siang sudah lewat lama, tidak terasa dua jam guyon dan diskusi komunitas pinggir ndalan berlangsung. Murawi ngloyor pulang. Kang Paryo berjalan ke timur menuju gubug pecel dan mendoan mbok Dul.



MOTOR GAUL
Oleh : Kang Drajat Nur


Di bengkel Kang Paryo di sore yang semilir itu orang-orang rame nongkrong melihat Kang Paryo sedang merawat pasiennya. Sepeda motor yang remuk, roda depanya membentuk angka delapan. Kecelakaan tunggal. Pengendaranya luka parah, dilarikan ke rumah sakit umum daerah. Menurut saksi mata, motor itu melaju dengan kecepatan tinggi dan tidak bisa menguasai kendaraan saat menikung di pertigaan Sidamakmur. Roda depan dan belakang yang telah diganti dengan roda kurus model motor gaul jaman sekarang serta sok beker yang dipendekan ada kemungkinan penyebab kecelakaan itu, tapi ada yng bilang pertigaan itu memang angker. Murawi datang melihat bangke motor itu, nimbrung di rubung-rubung bengkel Kang Paryo.
“ Motornya siapa kang?”
“ Pailul anak siaul. Bagaimana menurut rika?”
“ Apanya yang bagaimana, maksud sampean apa?”
“ Model motor gaul ini.”
“ Genah remuk gitu kok takon.”
“ Maksudku dilihat dengan kacamata seni menurut pean gimana motor gaul ini?”
“ Aku tak mau komentar tentang motor gaul ini. Aku takut omongan saya menjadikan aku dibenci atau tidak disukai kelompok anak-anak muda yang lagi gandrung motor gaul seperti ini.”
“ Lho kata pean negri ini dah reformasi, boleh dong orang menyampaikan penilaian dan pendapatnya?”
“ Benar si, tapi takutku kalian hanya akan mengolok olok saya “ padune ndak bisa beli motor” kan malu.”
Murawi melihat dengan seksama sambil mendengarkan silang pendapat orang-orang yang mengerumini sepeda motor gaul itu.
“ sayang ya, motor mecing gini kok bekak bekuk ndak karuan, kecelakaan dimana kang ?” Anggit yang datang dari arah timur menyetandarkan motornya lalu menarik slang kompresor.
“ Di tikungan pertelon Sida Makmur, dari mana saja baru nongol Nggit?”
“ Ngebrik Sarpan minta dikirim lele, terus ke Tanjunganom tempate Markasan Juragan tembelek katanya butuh motor. jelas karena roda kurusnya yang bikin jatuh. Genah iya, roda kurus macam begini ndak bisa untuk ngebut apa lagi sambil nikung, gampang oleng.”
“ Dah tau ndak enak untuk dikendarai dan lagi banyak bahayanya kok pada suka dirombak ya motornya?, nurut dirimu ini karena apa Nggit?
“ Anu…gaulnya itu kang, senilah tepatnya.”
“ Gaul ? oke..kreatif? bener, seni? Nanti dulu. Seni yang bagaimana?”
“ Duh rika masa nakokna masalah seni meng aku..namanya menghina.”
“ Lho ndak gitu. Maksudku apanya yang seni? Seni itu totalitas seluruh aspek dan unsur-unsurnya.”
Kang Paryo bangkit dari jongkoknya terus mendekati Murawi sambil senyam senyum.
“ Nah dari tadi ndak mau komentar. Terus kang biar aku bisa ngomongi anakku yang lagi ngambek ndak mau sekolah bila belum dibelikan roda gering macam ini. Mahal je turaane ya tadi gampang oleng.” Kang Paryo meletakan kaca mata minusnya diatas kepala. Dengan pungggung tangannya disapu keringat yang membasahi wajah.
“ Begini nggit..sepeda motor itu dalam seni rupa termasuk karya seni terapan atau kerenya applied art. Artinya dalam penciptaannya bukan saja aspek seni yang menjadi dasar acuannya tetapi aspek fungsionalnya menjadi titik perhatian utama. Jadi dipikirkan dengan teliti agar kedua aspek itu singkron..dihitung berdasarkan prinsip ergonomi.”
“ Contoh kongkrit?..weleh aku ketularan bahasaane cah kuliahan.”
“ Pit motor itu didisain oleh para desainer melalui riset yang njlimet. Dari segi bentuk, mencari yang menarik, yang baru. Dari kenyamanan, diperhitungkan berapa lebar ban minimal, berat yang ideal serta akselerasinya, pokoknya tetek bengek lah.”
“ Teteknya siapa yang bengek kang” Turmadi nylemod dari belakang rumah Martaja.
“ Dengkulmu mlocot..ini serius terutama buat abg abg kaya kamu yang sering ikut-ikutan tanpa memperhatikan keselamatan, waton ikut, korban mode..” Turmadi meletakan degan klapa gading disodorkan ke Kang Paryo.
“ Menurut pean Motor ini seni apa ndak?
“ Kreatif gitu lebih pas”
“ Benar Nggit dari segi merombak dan menciptakan bentuk yang baru dapat dikatakan kreatif, tapi mestinya kreatif itu mengarah pada perubahan lebih nyaman, lebih kokoh, lebih terjaga keselamatannya. Baik keselamatan diri pengendara maupun keselamatan orang lain sesama pemakai jalan raya.”
“ Lho kang, celaka kan celakanya sendiri.”
“ Iya benar..modar juga modarnya sendiri. Tapi ini jalan kan bukan milik mbahmu Nggit. Jalan milik umum, banyak yang pakai. Coba seandainya tadi motor itu oleng terus ada motor lainnya di tempat itu, apa ndak bikin celaka orang?”
“ Jadi ini perlu dilarang?”
“ Oh….itu bukan saranku apalagi wewenangku. Kita belajar saja untuk cerdas, belajar dari pengalaman.”
“ Kalau menurut kang Murawi, ini fenomena apa?”
“ Tentang apa? Rombak merombak motor masudmu?”
“ La inggih ya.”
“ Sebenarnya anak-anak muda kita kreatif tapi belum terarah dengan benar. Bisa juga pertanda jiwa muda yang menolak kemapanan, atau juga sekedar latah ikut ikutan terjangkiti virus media dan jadi korban mode”
“ Tu Nggit pirengna gendikane pak Guru.”
“ Uluh blepotan temen bahasane rika kang, masa nyong mirengna, eh…mbuh ding apa pean yang benar ya?”
“ Motormu sok beker depan apa dipotong Nggit?, eman-eman kan nggo nikung dadi ran yaman trus akselerasine kan kurang mbok?”
“ Iya je, aku wingi kebanting di Kempul.lagian angel untuk ngojek.”
Gerimis turun menyilet langit. Selepas ashar, lembayung jingga menghias cakrawala berpelangi. Komunitas bengkel Kang Paryo satu persatu meninggalkan bengkel itu. Murawi pulang mengambil air wudlu. Hatinya lirih beristigfar karena selama satu setengah jam tadi telah banyak yang dikeluarkan dari mulutnya, semakin banyak kata-kata nilai kemungkinan bersalah semakin banyak..ia istigfar terus beristigfar, ia lepaskan segala keakuan dalam sujudnya yang hening, ia merasakan indahnya tamasya rohani..murah..tanpa bayaran.





PERJALANAN ROHANI
Oleh : Kang Drajat Nur

Selepas solat magrib Murawi dandan besus lalu mengeluarkan sepeda motor dari dalam rumah. “Sandekala sudah lewat” gumam Murawi sambil membuka jok motor mengecek isi tangki bensin alfa ebret ebretnya. Matahari sudah benar-benar lelap dalam pelukan cakrawala, tinggal sedikit warna jingga yang tertingal di langit barat. Atmosfir lebaran, hawa idul fitri yang sumringah mulai menampak di jalan depan rumah,. Jalan desa yang beraspal hotmix berkilat sisa hujan sebentar sore tadi.
Anak-anak berlarian membawa obor kembang api, pintu-pintu rumah terbuka, lalulalang orang bersilaturahmi melepas simpul-simpul dosa, saling memaafkan. Lebaran hari kedua malam ketiga, komunitas kresek gendu-gendu rasa bengkel Kang Paryo berencana akan pergi ke desa Tanjunganom tempat Kang Paryo yang biasa diganggu saat sedang kerja, ke rumah Markasan juragan tembelek yang selalu menjadi subyek perumpamaan jelek, ke tempat teman-teman pemuda klub sepak bola yang biasa menjadi sparing, dan ke tempat orang-orang yang tidak kenal nama tetapi sering kumpul-kumpul di bengkel saat wagean.
“ ayo kang nglebur dosa” Anggit teriak dari jalan depan rumah Murawi lalu memarkir motor di depan bengkel.
“ aku mau ke Banjar, gak bisa ikut.”
“ Duh gawat kang..gak meriah nek ndak ada rika je. Ke Banjarnya nanti saja setelah dari Tanjunganom” Paton menimpali sambil memarkir motor brafonya.
“ Iya kang, rika sing dosane paling akeh sok ngelokna Markasan.” Turmadi pelek keluar dari rumah sambil merapikan hem kotak otak dan celana levis barunya yang beli di pasar purwonegoro hasil jualan gaja bilis. Anakan lele.
“ Ngapura bae saya ada penting. Nanti kalo mungkin aku nyusul.”
Murawi memasang helm, jaket hitam oleh-oleh Cibaduyut membungkus tubuh krempengnya. Bunyi knalpot alfa ebret-ebret menderu menembus malam yang mulai pekat. Sepanjang empat belas kilo meter kepala Murawi penuh dengan bermacam-macam khayalan pikiran, kenangan, dan yang mendominasi adalah reka-reka kata yang akan ia ucapkan nanti bila ia bertemu Bupati. Sambil konsentrasi menghindari jalan berlobang sepanjang pertigaan Mrica sampai Pasar Pucang hatinya bertanya sendiri dijawab sendiri dibantah sendiri maka terjadilah perdebatan yang tiada ujung pangkalnya yang menemani sepanjang perjalanannya.
Dahulu sewaktu kecil, damar kurung menghiasi sepanjang jalan. Aneka bentuk dan warna kencar-kencar menghiasi rumah-rumah orang muslim. Setiap idul fitri rumah-rumah dipersiapkan dengan dibersihkan, dicat dan mulai likuran setiap ganggong rumah dihiasi dengan damar kurung kencar-kencar. Takbir keliling adalah sesuatu yang ditunggu tunggu . anak-anak, remaja, tua muda berkumpul selepas isa di surau-surau kampung dan pedukuhan. Bunyi bedug bertalu talu dan gema takbir memampatka angin. Malam itu tak ada pohon yang bergerak seakan ikut tafakur merayakan kemenangan. Anak-anak bertakbir sambil membawa obor. Remaja putra memamerkan kesaktiannya bermain bola api di sepanjang jalan menuju tempat berkumpul di lapangan desa depan Masjid Jami Nurul Huda. Tapi, mengapa sekarang tidak ada lagi? Apakah kita sudah tidak bisa lagi merasakan nikmatnya kemenangan? Ataukah mereka memang tidak merasa menang karena mereka tidak lagi kut dalam arena pertandingan akbar melawan hawa nafsunya? Lobang kecil di dekat kali palet telah mengembalikan onsentrasi penuh pada setang motornya.
Alun-alun kota gilar-gilar. Lampu hias pathing kerlob menyemarakan suasana sekitar alun-alun. Murawi berhenti sebentar di depan Masjid Agung kotanya. Ia menghirup udara dalam-dalam, membiarkan udara menggerayangi dinding paru parunya. Murawi menata diri, menyusun rangkaian kata-kata yang akan ia ucapkan di hadapan bapak Bupati. Teramat sulit memilih kalimat ternyata. Bukan karena murawi tak pandai berbicara seperti anak-anak jaman sekarang yang tidak punya ketrampilan berbahas, produk lulusan yang hanya amementingkan pengetahuan bahasa saja, tidak demikian, tetapi karena begitu banyak yang akan ia sampaikan selagi ada kesempatan diperkenankan menghadp Bupati yang sedang membuka pisowanan agung istilah kerenya open hous.
Setelah ketenangn hati membangkitkan rasa percaya dirinya, Murawi segera sowan menghadap Bupati. Pendopo yang besar dengan ornamen ukir yang dicat hijau, tiang tiang soko guru yang kokoh. Pendopo Dipayudha Adigraha kebanggaan rakyat Banjarnegara. Ia merasa sangat kecil. Struktur bangunan joglo itu telah menelan dirinya. Murawi benar benar merasa sangat jelata.
“ Mari masuk, ini siap ya? Aku lali.”
“ Murawi pak, dari Lengkong. Kepareng sowan.”
“ Oh…Murawi tukang puisi tho…mari silahkan masuk di dalem saja.”
Bupati menyambut Murawi dengan keakraban seperti kepada sahabat yang telah lama tidak bertemu. Murawi agak kikuk tetapi pak Bupati sepertinya menangkap kekikukan tamunya.Di Peringitan. Ruang untuk pertunjukan wayang kulit pada jaman dahulu. Sekarang menjadi tempat untuk menerima pisowanan masyarakat. Murawi bukan siapa-siapa. Ia hanya seorang rakyat kaecil yang ingin ngabekti kepada junjungannya. Ia tak pernah menyangka bila dirinya akan disambut dengan begitu akrabnya. Bayangan dirinya akan sungkem seperti rakyat jaman dulu ketika ketemu kanjeng Adipati sirna seketika ketika keramahan dan kebersahajaan Bupatinya menerima dirinya.
Murawi dipersilahkan masuk keruang VIP rumah dinas Bupati itu, di meja ada korma oleh –oleh dari tanah suci. Korma Rosul kata pak Bupati. Di sebelahnya ada pisang mas kuning bersih. “Sunguh sangat sederhana” pikir batin Murawi.
“ Mari diminum, saya tek ndongani.”
Murawi mengambil air zam-zam yang di letak oleh pegawai rumah tangga rumah dinas bupati.
“ Ini kurma oleh-leh saya umroh kemarin, silahkan dicicipi.” Bapak Bupati bercerita tentang perjalanan spiritualnya. Murawi tidak berani membayangkan apalagi berfikir untuk dapat memenuhi pisowanan agung di Baitullah. Ia sudah belajar untuk tidak punya keinginan tetapi mengantinya dengan harapan. Murawi tidak bisa membayangkan bagaimana bila pergi memenuhi panggilan Tuhan di tanah suci sedangkan mau ketemu Bupati saja rasanya tidak bisa berkata-kata.
Sebelum serombongan tamu lainya masuk peringgitan Murawi sudah mulai lancar dan ceplas ceplosnya muncul. Suasanapu mencair. Memang Bupatinya terkenal pandai membuat suasna kaku menjadi mencair, tegang menjadi semanak dan enteng berisi.
“ Anak-anak kita pada kemana nggih pak, sami ketlingsut obahing jaman. Kemarin waktu puasa malah ada yang berani minum minuman keras siang–siang di pertigaan, padahal mereka mengaku muslim dan anehnya lagi sudah tidak ada lagi yang mau mengingatkan.”
“ Kuwi wong Banjar? Rakyatku? Di mana?”
“ Di desa saya pak. Tapi nuwun sewu ini bukan saya sedang tumbak cucukan atau lapor tentang ketidak perdulian aparat desa pada masyarakat.”
“ Ndak apa-apa, terimakasih, ini realita sebagai apresiasi saya.”
“ Nuwun sewu pak Bupati, sebetulnya kalo pamong desa berfungsi dan berwibawa seperti dahaulu, mau menjadi pemomong , mau ngomongi bukan hanya ngomongin saya kira anak-anak itu juga akan segan. Mereka seakan sengaja melawan. Mengekspresikan ketidakpuasan pelayanan para pamong dengan cara begitu.”
“ Begini saja, saya punya no HP yang sengaja saya buat untuk menampung aspirasi, keluhan, masukan, kritik, atau apa sajalah tentang tata pemerintahan. Rakyat bebas menyampaikan.”
Satu jam berlalu begitu cepatnya, tamu-tamu mulai berdatangan dari segala penjuru kabupaten. Murawi tahu diri lalu berpamitan dan mohon doa restu agar dalam dirinya menjadi guru dapat bermanfaat bagi perkembangan kedewasaan dan kecerdsan murid muridnya. Sepanjang jalan menuju rumah Murawi terus merasakan kehangatan yang tidak dibuat buat. Teringat hidangan yang sangat sederhana telah menambah catatan buku dalam jiwanya. Perjalanan rohani dari desa menuju pendopo kota kabupaten telah menambah oleh-oleh untuk cerita dalam gojegan di bengkel Kang Paryo besok pagi
HARI IBU
Kang Drajat.

Entah sedang ketempelan apa, Kang Paryo yang biasanya sumringah selalu menebar senyum, entengan, mbanyu mili, mencair, seharian njegadul, mbesengut, an tidak kut obyaging diskusi sporadic komunitas kresek yang terjadi di bengkelnya. Kang Paryo duduk di jengkok sambil ngotak atik motor vespa tua hijo telor milik raja akrobatik. Beberapa orang anggota komunitas kresek mencoba untuk mencairkan suasana njegadulnya Kang Paryo namun sia sia.
“ Kang Paryo lagi kena apa ya Nggit, wajahnya kok ditekuk terus marai ndak kepenak.” Rahmat mengeraskan suaranya agar Kang Paryo mendengar dan mau bicara. Walaupun Rahmat menanyakan pada Anggit tetapi tujuan bidiknya adalah sang empunya bengkel itu yang sedang njegadul. Kang Paryo diam saja. Tau politiknya gaga dalam mencairkan suasana Kang Paryo tanpa dikomando dengan kreatifnya Anggit menangkap pertanyaan Rahmat.
“ Mat, sante bae..ora usah digawe pekewuh. E..tapi bener ding, mungkin Kang Paryo lagi sebel sama dapurmu yang lambene sering ndower, atau lagi sutras mikir motor bosok vespa kampret itu.”
Kelembutan perasan Kang Paryo bekerja menggerakan saraf kesadarannya. Pikirannya menerjemahkan kata-kata Rahmat dan Anggit. Hartinya berbincang sendiri menyalahkan dirinya, kenapa masalah di rumah masih dibawa bawa ke bengkelnya, kenapa harus larut dalam kedongkolan hati sehingga menjadikan salah tafsir atau menjadikan orang lain salah tingkah, pekewuh, dan sebel. Ia berdiri menuju almari onderdil lalu mengambil rokok kretek kesukaannya.
“ Kang Paryo ndak ada masalah. Paling banter tadi malam mahnya kumat..tapi istrinya tidak mau ngobati.” Martaja ikut nimbrung.
“ Lho mah kan mudah obatnya. Pake tepung angkrik. Terus apa hubungannya dengan istrinya Kang Paryo, apa istrinya mantri?” Anggit delag deleg kebingungan dengan pembahasan penyakit mah yang Martaja letupkan
“ Oalah cah piyung..maksude Martaja bukan mah yang lara weteng tapi penyakit ngundang ngundang nini Paryo anu njaluk iuk iuk” turmadi pelek menjelaskan sambil memperagakan gerakan seperti ratu ngebor. Sontak keadaan menjadi riuh oleh tawa.
Penggedebusan semakin meriah, Kang Paryo sudah mulai berubah dari senyumnya yang tersipu kemudian keluar bahasa khasnya “ Asem “ dengan aksen Tanjunganom yang sedikit lain dengan aksen Lengkong dapat menjadi pertanda bila ia sudah mencair. Pembicaraan bertambah menarik ketika raja akrobat motor gila mulai bercerita tentang polah tingkah dul jago yang sedang menjadi buah bibir di desa Lengkong.
Murawi keluar rumah menghampiri Rahmat yang sedang guyon menggoda Kang Paryo. Hari ini sepertinya topiknya adalah Kang Paryo yang sedang mbesengut ketempelan demit bisu. Murawi mengajak Rahmat utnuk menjadi instruktur gerobag Jepang. Keinginan sederhana agar ia bisa nyetir sehingga suatu saat hujan tidak menghambat aktifitasnya ke kota kabupaten. Orang seperti Murawi memang mestinya punya “ turangga” .Titian. maksudnuya ya alat transportasi untuk memudahkan gerak dan hubungan atau sekedar jalan jalan mencari obyek lukisan.
“ Nanti dulu kang jangan kesusu, masa lihat temannya sedang njegadul kok tegel pergi. Jangan mau Mat. Latihannya nanti sore saja.” Faton melitik Kang Paryo. Yang dilirik diam seribu bahasa, asik meniup niup karburator.
“ Lho memang untune kumat apa kang?” ditanya Murawi ndak enak kalao tidak menjawab, sebenarnya ia masih belum siap untuk ngomong, hatinya masih dongkol. Murawi meneruskan pertanyaanya mengapa Kang Paryo diam membisu sampai komunitas kresek bilang bahwa hari ini topiknya adalah Paryo Mbisu.
“ sejak tadi memang aku diam saja. Sekarang aku baru mau mulai bicara.” Ujar Kang Paryo
“ oalah, wong mau ngomong saja nunggu pak guru, memangnya ada apanya si kang Murawi.” Turmadi Pelek bertanya sambil menyodorkan rokok pada Murawi.
“ lha apa gunanya ngomong, curhat, bertanya pada dirimu, paling paling ya ndak tau dan tidak memuaskan rasa hatiku.” Jawab Kang Paryo sambil melepaskan kaca mata minusnya. “ coba sekarang hari apa?” Tanya Kang Paryo pada Turmadi Pelek. Yang ditanya cengar cengir menjawab sekenanya “ genah hari rabu kok hari apa.” Seketika komunitas itu nguwel uwel kepala bakul lele itu.
“ Maksud saya hari ini memperingati hari apa, jajal tur apa kamu tahu, tidak ngerti kan? Makanya aku mau bicara bila ada Mas Guru pasti ngerti dan bisa memahami maksudku tidak perlu diterangkan panjang lebar rupa bertanya pada dirimu.”
“ Hari peringatan lele jomod alias modar kabeh.”
“ Ndaet, salah lagi. Yang benar adalah hari peringatan ulang tahun perkawinan Kang Paryo.” Ujar Faton.
“ Salah kabeh. Sing bener hari ini peringatan hari lahirnya Dewi Sartika alias hari ibu.” Murawi mengambil tempat duduk di dekat Kang Paryo.
“ Nah itu yang saya maksud Mas guru. Kenapa ada hari ibu. Untuk apa ada hari ibu kenapa tidak ada hari bapak? Mengapa istri saya jadi tidak mau melayani tadi malam?” Kang Paryo memutahkan kekesalan hatinya.
“ Memang sekarang hari ibu tanggal 22 Desember tapi bukan seperti yang dituntutkan mbokayu Paryo. Maksud hari ibu adalah untuk memberi penghargaan yang layak kepada sosok manusia yang disebut ibu. Karena ibu merupakan manusia yang sangat berjasa dalam hidup kita. Mengasuh denga cinta kasih, mengatur ekonomi rumah tangga menjalankan dan membelanjakan rejeki dari Gusti Allah yang diberikan lewat suaminya. Ibu adalah pendidik pertama putra putrinya. Makanya diperingati agar kita tidak melupakan jasa seorang ibu.”
“ Kaitanya dengan permintaan mbakyu Paryo?” Tanya Faton
“ Maksudnya mungkin Mbokayu Paryo kepingin di apresiasi oleh Kang Paryo. Kalau Kang Paryo sudah pernah mengerjakan sendiri tugas tugas dan kerja perempuan yang tidak ada batas jam kerjanya pastilah Kang Paryo jadi apresiatif terhadap kerjaan perempuan, gawean mburi. Mengenai diamnya Kang Paryo sebenarnya mikir yang kelewat tentang tadi malam dan nanti malam prei tidak ada jatah buatnya. Benar demikian kang?” pertanyaan Murawi pas benar dengan hatinya. Kang Paryo mengiyakan bila diamnya sejak tadi sedang berpikir dan menebak nebak ada apa kaitannya dengan hari ibu kok istrinya dengan keras bilang bila prei tidak melayani.” Benar Mas Guru. Lha saya kan jadi bingung masalahnya saya baru dikasih resep awet muda melalui hubungan suami istri. Katanya mengunakan rumus umur kali dua hasilnya bilangan depan dikalikan tiga ketemulah berapa kali sebaiknya kita melakukan hubungan suami istri dalam sebulan. Nah kalau nanti malam prei lagi berarti saya tidak sesuai dengan rumus untuk bulan ini.”
“ oalah…dablongan tengik rika kang, saya kira mbisu karena apa, kan marai ngkene ora kepenak.”
Suasana mencair menjadi gaduh sebelum kumandang asar. Murawi bergegas pulang mengambil air wudu.














NDOG WUKAN
Oleh : Kang Drajat

Motor tua buatan Jepang yang di negeri asalnya sudah dilebur atau dijadikan rumpon udang oleh Kang Paryo masih dicoba diotak-atik agar bisa jalan lagi. Betapa miskin dan terbelakangnya masarakat kita bila dibanding dengan Negara-negara tetangga, pikir Murawi. Itu semua besar kemungkinan dikarenakan oleh masalah pengelolaan pendidikan sebab salah satu faktor pendorong kemajuan suatu negara adalah dari kemajuan dibidang pendidikannya.
Kita biasa bodoh atau dibodohi atau mau bodoh dan dibodohi. Setiap hari pembodohan pada masyarakat terus membombardir seperti roket Paman Sam yang menghujani negeri dongeng. Murawi terus membiarkan fikirannya mengembara, meronta, protes dengan keadaan, tapi lama kelamaan ia mulai mengurangi pikiran tentang situasi dan keadaan negerinya. Biar tidak terus termakan pikirannya sendiri ia berdiri melangkah menjauh dari motor jepang itu.
Kang Paryo masih tekun mencari biang dari penyakit motor tua itu. Sesekali ia menggleng geleng seperti boneka anak-anakan jogja yang ada pirnya mentul-mentul, berkacak pinggang, jongkok lagi didekat motor itu. Hand phon berdenyit denyit, getarnya mebunyikan kaca almari onderdil, Kang Paryo bangkit mengambilnya terus berkacak pinggang mengeleng gelengkan kepalanya lagi pertanda dia benar-benar tidak dapat menaklukan penyakit motor tua itu.
“ Pake korek saja kang….” Murawi teriak dari sebrang jalan tanpa menoleh kebelakang.
“ Paling STNKnya kotor apa spionnya terbalik….ha..ha.., jane paling baik ganti STNK saja, motor sudah tidak layak pake kok masih dipaksa paksa munyeng rodanya.”
“ Apa hubungannya sepeda motor ndak bisa jalan dengan spion terbalik, makanya jangan kebanyakan berseni bisa-bisa kenthir lho kang.” Turmadi membantu membela Kang Paryo sambil mendekat rokok yang tergeletak didekat hand phon.Komunitas kresek tertawa melihat polah tingakah Kang Paryo yang lagi stress malah digodani Murawi.
Melihat polah tingkah komunitas bengkel pinggir jalan Kang Singgih longa-longo kebingungan, maklum ia telah lama tidak berkumpul dengan komunitas cablaka yang ceplas ceplos, ia telah menjadi perantau yang sukses jadi juragan dan tuan tanah yang dipenuhi pohon karet di Jambi. Kang Singgih Cuma sesekali ikit nimbrung jarang bicaranya kecuali tertawanya yang kepingkel-pingkel. memang sudah sangat terkenal dablongannya anak-anak komunitas kresek kalau sedang bercanda.
Murawi kembali ke bengkel Kang Paryo “ Kang motor ini biar dicari oleh akhli mekanik dari Negara manapun tetap menurutku tidak bakalan ketemu penyakitnya bahkan seandainyapin dicari oleh orang Jepang yang mbuat saya jamin tidak akan bertemu penyakitnya.” Murawi duduk dekat Kang Singgih yang sedang klepas-klepus bercumbu dengan barang makruh rokok kretek kesukaannya.” Motor ini seperti Negara kita, penyakitnya sulit diobati karena tidak ketemu sumber penyakitnya.” Kang Singgih lebih bingung lagi kenapa dari motor beralih maenjadi mengkritisi Negri tercinta warisan leluhur.
“ Kang Murawi, kok pas benar analogi yang sampean sampaikan dalam ngomong tentang negri kita.” Kang Singgih angkat bicara sambil tertawa, komunitas kresek semua ikut tertawa terus diam menunggu kelanjutan dari omongan Murawi.” Lha menurut sampean negri kita lagi bodol sebabnya apa?”
“ Lho apa lagi saya,kan tadi dah saya bilang seandainya insinyur jepang yang bikin motor itu saja sya pastikan tidak tau.”
“ Nurut pean, kira-kira saja.” Kang Singgih mendesak diamini orang-orang di bengkel itu
“ Bisa undang-undangnya, peraturan peraturannya kotor atau dikotorkan atau dikotor kotori jadi susah dibaca atau tak terbaca atau bisa dibaca dengan kacamata yang salah, sengaja disalah salahkan. Bisa juga karena kita tidak punya cermin untuk berkaca sehinga tidak bisa berkaca diri. Masalahnya kunci dalam memperbaiki diri adalah dengan berkaca diri.”
“ Nah Ruwet kan..tambah bingung kalao tanya sama Murawi…cerna sendiri.” Anggit muncul dari balik pintu rumah Martaja.” Lho kang Taja tumben diam saja apa sedang sakit gigi?”
“ Iya…benar-benar bundas.jontor. untung aku masih bisa ngerem keinginan dablongan angob yang tidak ada pusarnya.”
“ Lho apa ndak masuk?”
“ Masuk yang bagaimana ¼ kursi saja ndak nyampe. Aku lagi bingung dengan fakta politik masyarakat kita yang katanya masyarakat beradab penuh sopan santun.”
“ Lho jangan salahkan masyarakat. Yang salah juga para caleg-caleg seperti sampean itu.” Murawi mulai terbawa diskusi yang dibuka oleh Anggit.
“ Salah bagaimana? Saya ngedum kaos, mbagi sembako, mbantu aspal, mbayari bensin, ngasih duit rokok. Apa menurutmu salah? Diman salahnya?” Martaja mulai naik tensinya. “ Dasar orang pada tidak punya harga diri dan rasa malu serta gampang janji palsu. Mereka dengan enaknya menerima pemberian, mereka dengan santainya mblenjani janji. Mereka janji mau mendukung saya malah ada yang bersumpah mau bekerja tanpa pamrih untuk perolehan sura saya, e..masa dia juga bilang hal yang sama padacaleg lain dari parte lain, coba pantas disebut manusia apa tidak kang Murawi.”
“ Iya kang…malah ada caleg lain yang ngedum uang. Katanya tidak ada money politik. Gara gara uang limaribu membuat jebol tembok yang telah aku bangun selama 3 tahun, dalam semalam hancur semua binaanku. Betapa murahnya jiwa mereka digadekan dengan sekedar uang bakso semangkok.” Turmadi ketua tim suksesnya Martaja dari parte Pelor Nungseb menimpali obrolan Martaja sekaligus membela diri kenapa TPS yang diunggulkannya benar benar ambrol perolehan suaranya.” Nurut kang Murawi pengaruh apa ya?apa karena kita memang miskin segala galanya?”
“ Hampir semua, termasuk aku sendiri ya tergolong kategori miskin, tapi alhamdulillah pilian apa saja belu pernah aku mau menerima uang bithing….harga dirilah, masa aku ndak mau milih Martaja tapi karena dia ngasih lima atau sepuluh ribu terus aku menutup hati nurani. aku miskin tapi jangan sampai miskin hati dan idealisme.” Murawi mulai berapi api urat dilehernya mulai nampak menonjol.” Seperti yang saya katakana tadi negeri kita memang lagi sakit, undang-undang dan peraturan lainnya sedang burem tidak bisa terbaca dengan baik, kita sedang kena katarak masal sehingga sering salah baca, kalao ada yang pinter baca terus semau sendiri dalam menafsirkan undang-undang dan peraturan itu dengan tafsir pembenaran. Habis berapa sampean kang le embeg-embegan parte?”
“ Espas kontal. Sekolah di gadean sampe sekarang tidak bisa nebus. Ndak tau sekarang jadi mobilnya siapa. Aku sekarang jadi tambah tidak percaya dengan orang-orang.”
“ Lha yang ngajari juga siapa kang, wakil-wakil rakyat yang terhormat kan? Pande berbohong, waktu kampanye monyor-monyor pangandikane tapi setelah jadi mereka duduk ngantuk lupa pada janjinya. Sampean para caleg pada pinter goroh, lha kita-kita rakyat kecil juga jad pinter bohong.”
“ Tega teganya ya masa orang kere seperti saya kok ditipu.” Martaja suaranya melemah
“ Sampean apik..niate apik..tujuane mulia, tapi kalo kondisi masyarakat memang sedang sakit atau sedang balas dendam ya ndak lihat siapa siapanya, pokoknya semua caleg: kadali saja.”
“ saya mau Tanya gurune. Kasus seperti ini apa tidak berdosa mereka yang menerima uang atau kaos yang telah berjanji tetapi tidak nyoblos yang sudah ngasih kaos?” Kang Paryo yang sejak tadi Cuma jadi pendengar mulai ikut nimbrung.
“ Kalao janji harus ditepati, tergantung waktu menerima itu ada ikrar janji apa tidak kalao ada berarti dosa karena bohong, bukan karena noblosnya. Coba kang Supar punya kaos berapa, apa waktu menerima kaos dia berikrar untuk menyoblos tanda gambar parte yang ngasih kaos?”
“ Sepuluh. Kaos parte yang ikut pemilu aku punya semua, lumaya buat petelesan apa untuk jaga kesehatan kulit. Kalo sering ganti kaos maka kesehatan kulit terjamin.”
“ Kang murawi punya berap kaos?”
“ Alhamdulillah tidak satupun ada kaos parte dalam rak almari saya”
“ Lha pegawe negeri memang tidak boleh.”
“ Siapa yang bilang pake kaos tidak boleh? Netral tidak bisa dilihat dari kaosnya tapi niat dan kelakuannya. Banyak orang yang tidak punya kaos selalu bicara: netral ayo netral kita pegawe negri kudu netral. Tapi ternyata dia mbahnya tidak netral.” Murawi menarik nafas panjang “ kapan negeri ini maju kala kondisi psiko sosial dan pendidikan masyarakat kita memang sebatas isi perut?, politik yang dibangun untuk menciptakan tatanan berbangsa dan bernegara saja pincang seperti ini. Tidak pernah ada pendidikan politik yang diberikan kepada masyarakat dengan ikhlas.”
“ Itu tugas pemerintah” Kang Singgih melempar bola kata-kata menunggu reaksi komunitas kresek terutama Murawi dalam menanggapi omongannya.
“ Lho sampean giman si, ya tugas kita, tugas bersama. Kita satukan visi dan misi dengan substansi yang jelas sebab fisi tanpa substansi tak ada arti” komunitas kresek jidatnya mengkerut, Murawi meneruskan omongannya sambil sesekali melirik jam dinding.
” Sekarang kalo sesuatu dipikul bersama akan jadi mudah. Mikul bersama kalo tidak satu arah juga membuat kaco dan pincang bahkan mungkin malah jalan ditempat. Coba sekarang pemerintah mengadakan pendidikan politik secara besar besaran seperti dulu saat pemasyarakatan P4., tapi sampean para caleg tidak konsisten membelajari masyarakat kan ya ambrol tidak kesampean.”
“ Tapi kalo ndak ikut edan ndak dapat suara je”
“ Tujuan sampean nyaleg itu apa si kang? Kalo tujuan sampean adalah ibadah dengan menjadi wakil rakyat itu sangat bagus sebab ibadah muamalah itu ya perlu tapi dalam menuju kursi itu bagaimana. Dalam ikhtiarnya sampean untuk menjadi wakil rakyat itu bagai mana? Dengan mengedepankan pemahaman pada masyarakat tentang program yang akan direalisasikan bila sampean jadi wakil rakyat. Sampean sumeh ngewongna wong, menanam kebajikan, menanam persaudaraan dengan ikhlas tanpa pamrih, mengerami telur harapan itu dengan cinta dan kasih dengan suhu tubuh yang dimiliki sendiri alias tidak neko-neko. Kalao jadi alhamdullilah, tidak jadi pun tidak masalah karena tidak hutang sana pinjam sini. Nanti kalo mati kita mau dibawa ke kuburan pak Lebe Tanya pada para takjiyin : “Sae?” Secara spontan para pelayad bilang “sae”. Bener kan Kang Paryo?”
“ Uluh..burung kuntul dipinggir kali…betul sekali.”
“ jadi sore siang ini lakone apa Kang Paryo?” Tanya faton sambil mendekat Murawi.
“ Apike critanya diberi judul ndog wukan alias kemlekeren.” Usul kang singgih sambil ngloyor pergi menuju rumah Bimbim toyoto.
“ Ya itung –itung pengalaman ya kang Taja. Dan semoga ndog wukan itu jangan dibanting di mana mana, baunya nanti membuat masyarakat jadi sakit hidung karena saking kencang dan rapatnya memencet hidung.”
Satu persatu komunitas kresek pingir dalan itu pergi dari bengkel. Kang Paryo ditemani Markasan juragan tembelek ayam yang baru pulang setor dagangannya ke Bau Simpar. Langit nampak tidak begitu cerah seprti hati Martaja yang sedang melihat bangke gaja bilis. Anakan lele dumbonya pating krampul pada jomod alias mati.








KELANGAN SYUKUR
Oleh : Kang Drajat


Madimran berjalan gontai dari pasar wage desa Lengkong. Tangannya sesekali dimasukan kedalam saku celana hitam komprangnya. Jidatnya mengkerut seperti sedang merasakan denyut kalkulator dalam kepalanya. Matahari mulai terik, angin juga tak semilir. Madimran istirahat di patrol yang berada di pojok perempatan kampung Blimbing. Dibukanya slepi tempat tembako, dengan klobot digulungnya tembako setelah dicampur dengan kemenyan dan wuwur cengkeh. Asap putih bernikotin membumbung merayapi dinding patrol tempat ronda itu. Dari anakan slepi ia keluarkan uang hasil berjualan daun suruh. Ia hitung dengan teliti lembar demi lembar uang limaratusan dan seribuan.
Hari ini Madimran pulang membawa uang tujuh ribu lima ratus rupiah. Lima belas ikat daun suruh terjual, sebenarnya masih ada sisa tiga ikat tapi hari sudah siang ia tak sabar untuk menunggu dagangannya yang tinggal tiga ikat lalu diberikan kepada mbok Sarpin, yu girah dan satu ikat diberikan kepada kang parjo sahabatnya. Sekarang memang semakin susah memasarkan daun suruh, semakin lama semakin sedikit orang yang menginang. Menjual suruh bagi Markasan sudah menjadi kegiatannya sejak ia masih bujang. Berjualan daun suruh seperti ketrampilan warisan dari orang tuanya.orang tua Markasan dulunya adalah penjual suruh.
Dari tanjakan raungan sepeda motor Markasan terdengar keras. Gigi satu. Tanjakan kuburan Slisip kampung Blimbing cukup tinggi apalagi motor Markasan disadelnya bertengger tiga kantong goni kotoran ayam yang akan disetor ke petani ikan. Melintas di depan patrol, melihat Madimran sedang klepas-klepus menikmati rokok lintingannya Markasan menginjak pedal rem sepeda motor supra fitnya, sebelum helm dilepas Madimran tidak tau siapa yang datang menghampiri dirinya. Setalah Markasan melepas helmnya sontak Markasan kaget lalu menjulurkan tangan bersalaman.
Madimran dan Markasan adalah sahabat yang sangat dekat. Waktu kecil dua orang itu selalu berdua disamping karena rumahnya berdekatan hati mereka sepertinya sudah menyatu. Keduanya sama-sama anak dari keluarga tidak mampu, keduanya sama -sama anak yang tidak dapat bersekolah karena tidak ada biaya. Mereka berpisah setelah masing-masing beristri. Markasan berjodoh tetap di desanya, Tanjunganom. sedang Madimran beristri di Karang Tanjung.
“ Saya bantu ngetung uangnya apa Mad?”
“ Rasah ngenyek san, ngitungna seperti duit karungan saja”
Kedua sahabat lama itu saling bercerita, tawa khas Madimran sesekali terdengar mengatasi siang yang gerah. Pembicaraan tentang harga-harga yang semakin melambung, harga yang sayapnya tidak bershabat dengan rakyat kecil seperti Madimran kepaknya semakin tak terjangkau oleh penghasilannya sebagai bakul suruh. Markasan masih sedikit beruntung walau harus nyicil BKK ia bisa sedikit menikmati kemajuan. Markasan sudah tidak perlu berpayah-payah mengayuh sepedanya karena telah memiliki sepeda motor walaupun penghasilannya tidak begitu berarti untuk perbaikan gizi keluarganya.
“ Penggede-penggede pemerintah jane mikir awake dewek apa ora ya San?”
“ Lah embuh..ndak taulah, saya ndak mau mikir orang lain sing penting sekarang wudele dewek. Perut kita jangan sampai kosong.”
“ Dulu katanya kita akan disejahterakan. Waktu mereka kampanye minta dukungan kita, mana buktiknya. Dari dulu hidup saya ajeg kere, mending sampean bisa numpak ubluk.”
“ Sawang sinawang Mad, aku sama saja. Ndak ada bedanya dengan dirimu. Ya sedikit-sedikit saya menabung.”
“ Kan berarti ada sisa sehinga bisa nabung, saya mau nabung uang dari mana, dapat beli beras dan ikan asin saja syukur.”
“ Nah deneng ngrti syukur?
“ Ya tau. Sejak dulu kan selalu diajarkan oleh orang tua kita untuk bilang syukur.”
“ Ala busyet, masa untuk bilang syukur. Bukan begitu maksudnya. Kita harus pande bersyukur, bukan bilang syukur. Itu cuma lambe ndak sampe hati ya ndak ada gunanya.”
Pembicaraan terhenti ketika dari arah selatan Murawi dan komunitasnya melintas di depan patrol berboncengan sepeda motor. Markasan melompat dari tempat duduk lalu memanggil Murawi, yang dipanggil menengok kebelakang.
“ Ada apa San?” Murawi membalikan motornya menuju ke patrol. Murawi memarkir sepeda motornya didepan sekolah TK Pertiwi, taman kanak-kanak yang paling tua di kampung Blimbing, risplangnya hampir jatuh karena busuk dimakan air hujan dan panas matahari. Murawi menatap ke atas pada genting yang hampir jatuh. Pikirannya membayangkan bagaimana seandainya tiba-tiba genting itu jatuh atau risplang itu ambrol sementara anak-anak sedang bermain di bawahnya.
“ sini jagongan dulu. Ini ada Madimran, kemarin sampean kan menanyakan.” Markasn mengamit tangan Murawi yang sedang ndomblong menatap ke atas genteng.
“ Ndak usah dipikir, sekolah rusak kan sudah biasa kok seperti belum pernah melihat sekolah rusak.”
“ Ya ndak begitu San. Saya kan lagi mikir, coba lihat genteng itu yang ndumil, nggamblik tinggal prol jatuhnya. Coba bayangkan bila anake sampean yang sekolah di TK ini apa sampean ndak takut anaknya kejatuhan genteng apa risplang?”
Markasan manggut-manggut hatinya bertanya-tanya mengapa sekolah sampai begitu dibiarkan, apa orang tua yang menitipkan anaknya tidak khawatir kejatuhan risplang. Berdua memasuki patrol, Murawi menjulurkan tangan berslaman dengan Madimran. Pukul sebelas siang. Matahari semakin terasa menyengat, kecipak ikan dikolam sesekali terdengar bersama gemericik air pancuran.
“ Pripun kabarnya kang guru, mau kemana kok rombongan kaya rampogan.”
“ Biasa kang Mad, minggu wage kan tidak ngajar jadi buat jalan jalan mengenang masa lalu waktu dulu bersama sampean sering jalan ke Gumiwang lewat jembatan gantung. Larisan mbok?” Murawi menempatkan diri di pinggir duduk bersandar dinding patrol yang terbuat dari papan. Patrol itu adalah dua patrol yang tersisa di desanya. Dahulu waktu ia kecil disetiap perempatan jalan ada patrol yang berfungsi sebagai tempat pos ronda atau tempat orang beristirahat melemaskan kaki. Patrol juga sebagai markas bermain anak-anak .
“ Kang guru kemarin nakok nakokna Madimran, sekarang sudah ketemu mau diberi apa?”
“ Katanya sampean mau jual risban. Apa risban yang dulu pernah saya tawar?”
“ Risban? Wa..sudah lama mas. Sudah lama saya jual untuk beli obat ketika istriku masuk rumah sakit.”
“ Jual kesapa kang, kok ndak bilang-bilang. Istri sampean juga habis opname aku bisa ndak tau ya, sakit apa kang mad?
Madimran menerangkan panjang lebar tentang penyakit istrinya, seperti biasanya ada juga bumbu-bumbu klenik yang katanya disantet orang, yang katanya dijadikan tumbal, bahkan dikaitkan dengan watu bucu kedung sikonong. Murawi Cuma cengar cengir menjadi pendengar yang baik.
“ Coba kang Murawi rasakan betapa berat hidup saya.”
“ Kang Dimaran, memang hidup ini ujian. Jangan mengeluh seperti itu nanti lama kelamaan tidak sadar kita ketempelan setan menjadikan kita jadi ilang sukure sama yang memberi hidup.”
“ La terus mau ngomong bagaimana wong nyatanya hidup saya sengsara begini, miskin kok sejak dilahirkan dan sepertinya kita memang miskin keturunan.”
“ Kita boleh miskin tapi jangan sampai miskin sukur itu saja welingku.”
” Kang guru bisa ngendikan seperti itu, coba pean jadi seperti saya.”
” Oalah malah ngajak berdebat.. kang Dimaran, apa rika sudah lupa sama welinge guru ngaji kita dulu ? apa sampean sudah lupa pangandikannya ? Gusti Allah akan menguji hambanya sesuai dengan kadar kemampuannya. Gusti Allah sudah menakarnya.”
” Ya ingat si tetapi kalao hidup bengep seperti ini saya jadi bingung.”
” Tadi rika bilang coba saya jadi seperti sampean, nah sekarang coba diwalik, coba sampean jadi saya apa kuat ?”
” Lah rika kan hidupnya kepenak, jadi guru. Tiap bulan wis genah rejekine.”
” Apa ujian Gusti Allah Cuma dari masalah rejeki ?, rika kan mending rumah tanggane masih utuh, masih bisa hidup normal sebagai laki-laki. La saya kan duda begini.”
Murawi mengurai cerita pecahnya bahtera rumah tangga yang sempat hampir menenggelamkan hidupnya, ia bercerita dengan bumbu canda.
” Pean jangan bayangkan dahulu saya dapat seperti sekarang dalam menghadapi ujian. Pada mulanya aku juga pernah sangsi.”
” Sangsi bagaimana kang guru?”
” Aku sempat bertanya dalam hati apakah ini ujian apa laknat. Tetapi kembali dalam keheningan aku bertemu ketetapan hati bahwa semua yang akun alami adalah ujian.”
” Apa bedanya?”
” Bila hati sudah berketetapan dan selalu Khusnudhon kepada Allah maka secara tidak kita sadari jiwa kita akan kuat.”
” Maksudnya?”
” Kan kita sudah diberi ilmu dan pengertian bila kita lulus dalam ujian-Nya maka Tuhan akan menaikan satu tingkat derajat kita.”
” Jadi ?”
” Aduh...jadi ndak enak kok malah......”
” Ndak apa-apa, aku amemang lagi butuh teman untuk memberi kekuatan batin, sukur ketemu kanca lawas.”
” Begini kang, setiap masalah yang datang kepada kita pada hakekatnya adalah untuk mengukur dan mendewasakan kita. Jadi ingat kita sedang diukur derajat keimanan kita pada-Nya.”
Markasan mengeluarkan rokok gabusen, udara semilir mengusir gerah. Murawi menasehati sahabatnya dengan selingan canda dan tawa. Wajah Madimran berangsur angsur berubah dari kecut menjadi agak sumringah. Pembicaraan tentang kesyukuran bergulir pada hal-hal cerita kemasyarakatan di sekitar grumbul tempat dimana dahulu Murawi main petak umpet sampai keluhan pada kehidupan sekarang.
” Kang guru, menurut sampean negara kita bisa tidak si kembali seperti jaman dulu yang penuh dengan kemakmuran, apa-apa murah tidak seperti jaman sekarang, cari duit susah ?”
” Lah dari hal seperti inilah sepbetulnya mulai hilangnya rasa syukur. Sampean terjebak pada nostalgiaisme.”
” Apa maksudnya kang ?”
” Kita senangnya bernostalgia, bukankah hidup jalan terus ?, coba seandenya kita kembali ke jaman dulu, apa benar pean dapat menghadapi hidup seperti dulu?”
” Apa-apa murah kang.”
” Sebetulnya murah dan mahal bukan ukuran. Murah tapi ndak bisa beli tapi mahal bisa beli pilih mana ?”
” Iya..ya...tapi...”
” Tapi apa lagi kang. Kita jangan sampe kehilangan rasa syukur..kita syukuri saja apa yang ada sekarang...lagi pula apa mau sampean hidup kita dikembalikan seperti pada jaman dulu diman kita makan tempe saja dijatah satu-satu.”
” Iya ya dulu kita mau makan daging saja nunggu Idhul fitri, makan telur nunggu sakit lalu orang tua kita eman sama kita.” Markasan urun bicara
” Benar jajan makanan kita dulu ondol-ondol dan itupun bisa beli kalo wagean.”
” Makane kang Dimran, kita jangan sampe kehilangan rasa syukur. Kita tetap harus semangat berikhtiar.”
Pembicaraan semakin mbleketaket, Murawi yang sudah terkenal pandai bicara dan pinter membuat suasana menjadi guyon maton membuat suasana yang panas menjadi tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu. Murawi dan dua orang sahabat kecilnya dulu saling bersalaman. Markasan dan Madimran melanjutkan pulang ke rumah masing-masing. Murawi bersama teman-temanya menlanjutkan touring menyusuri kenangan masa lalunya. Menyusuri grumbul-grumbul di desa Lengkong yang sangat ia cintai.

DEWI OH DEWI
Oleh : Kang Drajat


Dalam dua minggu ini begitu rapatnya udara Indonesia oleh berita tentang ratu goyang gergaji. Berita radio dan televis tentang pencekalan ratu goyang gergaji itu telah memaksa mata dan telinga orang Indonesia menangkap komoditas berita ecek-ecek itu tapi karena dikemas dengan manajemen pemberitaan yang pintar ( maaf bukan cerdas ), pro kontrapun telah menjadi bagian yang ikut membingkai berita itu sampai (maaf) seorang mentripun ikut “dipaksa” untuk ngomongin dagangan itu (dagangan berita). Betapa pintarnya orang-orang media membuat rekayasa opini public, berita pencekalan ratu goyang gergaji yang sebetulnya hal yang biasa bisa menjadi berita nasional dan menjadi buah bibir yang terus berkembang membingkai. Stasiun televisi begitu pandai meramu dan mempertontonkan sensualitas goyangan itu, di sisilain stasiun televisi juga begitu lihai mendramatisir sisi humanis dari ratu gergaji itu..Pro dan kontra dari pencekalan goyangan itupun menjadi sebuah taman yang indah yang selalu lapar untuk dinikmati oleh pendengar dan pemirsa. Ya, sebuah taman yang tercipta mengelilingi pencekalan itu.
Hebohnya berita pencekalan ratu goyang gergaji itu juga tidak luput dari celoteh dan pro kontra di bengkel Kang Bawon. Ada yang bersemangat membela berdasarkan referensi humanis yang direkayasa televisi. Ada yang setuju pencekalan itu dalam rangka untuk mengingatkan atau mengerem sepak terjang goyang janda muda itu agar tidak bablas tanpa norma, tetapi ada juga yang membela dari sisi kepentingan atau dengan mengunakan perspektif diri sendiri bukan menggunakan ukuran norma umum, kelompok ini diwakili oleh orang-orang yang berpandangan sama dengan Turah. Dengan penuh semangat dan berapi-api bahkan lehernya sampai tergurat urat biru ia membela ratu gergaji dan menghujat pemerintah darah yang mencekal krugat krugetnya sang dewi pujaannya di pangung di wilayah pemerintahannya. Bagi anak muda itu goyangan ratu gergaji dapat menjadi sarana untuk membangkitkan imajinasi sexsualnya dan memenui kepuasan zina matanya, Mad Jawa termasuk dalam kelompok pembela tetapi jelas sangat berbeda dengan weli, puji, oyi, sumar dan anwar yang merepresentasikan kelompok pembela dari sudut ekspresi seni
Kang Bawon tetap asik dengan pekerjaannya, sesekali diam hanya mendengarkan atau tertawa ketika merespon polah tingkah Mad Jawa. Motor alfa hitam tua selesailah sudah. Dipandangi motor itu dengan penuh kepuasan, dilap dan didorong ke halaman.
“ Rampung kang? Tingal nunggu yang punya datang kan terus bayaran, bisa traktir dong mi ayame mbak Yati?” Kang Anwar bertanya sekenanya sambil meletakan tudung di ujung doran cangkulnya.
“ Tunggu sebentar lagi. Katanya Murawi mau datang, tadi dah sms”
“ O...motore ramane, pantes aku ndak pangling tapi kan sempat ragu-ragu, rame sekali di dalam ada siapa saja?”
“ biasa cah-cah Capingli lagi nunggu Kang Murawi, tadi aku bilang kalo gurune sms mau datang.”
Angkot jurusan Madukara berjalan seperti anak kecil melangkah. Bahkan di jalan turunan jembatan aries. Murawi mencoba menahan kesal hati karena penzoliman supir angkot itu. Ia merasakan diperlakukan tidak adil, ia sudah membayar tarip sesuai tuslah yang telah dihitung oleh pemerintah dan ditetapkan untuk membayar ongkos angkot tetapi sopir tak memberikan sedikitpun kenyamanan. Sebetulnya dia maklum dengan keadaan bila lambatnya tidak terlalu, masa angkot ngglindingnya sepelan anak kecil jalan. Murawi turun dari angkot dengan wajah yang ditekuk, sebetulnya ia kenal baik dengan sopirnya tetapi ia tidak mau menegur, ada ketakutan kalau-kalau dijawab dengan ketus olehnya, ia menyodorkan uang ke sopir dengan tidak melihat wajahnya.
Murawi langsung menuju sepeda motor alfanya yang distandar di bawah pohon akasia, komunitas kresek berhambur keluar menuju Murawi yang sejak tadi sudah ditunggunya. Suasana halaman bengkel menjadi sangat meriah, komunitas kresek bersalaman dengan laki-laki paroh baya itu. Celotehan khas anak-anak komunitas kresek mulai berhamburan dari mulut-mulut yang telah lama kaku sejak ditingal Murawi asik dengan kegiatan kesenian sehingga rumah yang sekaligus sanggar seni dan rumah baca di Sokanandi menjadi seperti tak bernyawa.
Pembicaraan ratu goyang gergaji akhirnya pindah juga di cakruk bawah pohon akasia yang rindang di sisi utara bengkel itu. Mad Jawa dengan “kesudrunannya” mempertahankan pembelaan terhadap ratu goyang gergaji, baginya pencekalan adalah bagian dari kesewenang-wenangan yang harus dihentikan. ”Kenapa harus dilarang? Kan asik lihat egat-egot serta montoknya tubuh wanita, bisa untuk mengobati pria disfungsi sexual, katanya segala sesuatu harus dicari positipnya. Bagiku juga bermanfaat bisa untuk berimajinasi ketika …”
Murawi masih diam sesekali ikut tertawa ketika banyolan-banyolan khas Banyumasan melesat dari mulut komunitas kresek. Agus langes dengan berapi-api membela janda muda itu dengan alasan ekspresi seni tidak bisa dibatas-batasi, pernyataannya banyak mendapat dukungan dari teman-temannya. Kang Bawon dalam posisi tersudut karena dalam kumpul-kumpul itu hanya dia yang setuju atau senang dengan adanya pencekalan, menurutnya dengan pencekalan bukan berarti pelarangan tetapi suatu arahan untuk introspeksi bila tindakan atau cara bergoyang serta berpakaian telah lepas dari norma ketimuran. Bila hal macam itu dibiarkan atas nama seni, maka lama kelamaan akan muncul penyanyi karena keterbatasan vokalnya akan membuat sensasi telanjang diatas panggung atau melakukan tindakan/gerakan tidak senonoh dengan bebasnya.
Kang Bawon yang sejak tadi diam setelah melepaskan pernyataan setuju pada pencekalan dan mendapat serangan dari dua arah tiba-tiba bangkit semangatnya ketika Murawi mulai mau bicara dan nadanya membenarkan tindakan pencekalan ratu goyang gergaji itu.
“ Lho, Kang Murawi wong seni kok ndak membela, malah ikut ikutan setuju pada pembatasan berekspresi seni. Wah gawat nih, sudah birokrat banget”
“ Ndak gitu “Nyuk”, saya pake pikiran, bukan waton membela pemerintah atau birokrat atau siapalah yang mencekal”
“ Tul kang…aku sejak tadi dikepung oleh mereka karena aku benar-benar senang dengan sikap yang berani mencekal tindakan penghancuran moral anak bangsa .” Kang Bawon angkat bicara.
“ Lho apa kaitannya antara goyangan dengan moral, tidak mesti yang goyang macam itu tidak bermoral, semua itu tergantung yang melihatnya. Saya sendiri tidak merasa itu sesuatu yang perlu dicampurtangani pemerintah, goyang-goyangnya sendiri kok repot.” Agus berapi api mencoba mempertahankan argumentasinya.
“ Ya ndak gitu mas, jangan hanya dilihat dari sisi hak asasi diri sendiri, karena dalam hak asasi ada hak orang lain yang mesti juga diperhitungkan. Kalau menurut saya ada baiknya pencekalan itu untuk memberikan pembelajaran, apresiasi pada artis atau seniman untuk jangan membenarkan segala tindakannya mengatasnamakan seni.”
“ Masksudnya kang Murawi sebagai orang seni setuju dengan pencekalan itu? Lho bagaimana ini, masa sesama seniman kok ndak membela sang Dewi yang sedang dizolimi.”
“ Ups… kok pake bahasa dizolimi…benar memang aku mendukung pencekalan itu untuk kemudian ada klarifikasi dan perbaikan perform dalam penampilan di masyarakat. Ingat yang nonton bukan cuma orang dewasa kaya sampean yang dapat memilah dan memilih serta menahan gejolak syahwat. Ada banyak mata anak-anak bau kencur yang belum secerdas sampean.”
Murawi panjang lebar menguraikan penstandaran penilaian tentang goyang gergaji itu, seperti biasanya anak-anak komunitas kresek dapat menerima apa yang Murawi katakan, bahasanya yang gampang serta tidak menyalahkan satu yang lainnya membuat keterangan-keterangannya dapat diterima dan dimengerti tentang pelarangan atau pencekalan ratu gergaji itu. Murawi sebetulnya tidak membela siapa-siapa ia hanya mencoba menguraikan kegundahan hatinya bila seni dijadikan bemper untuk pembenaran Kang Bawon nampak lega ada orang yang sama dengan dirinya dalam menyetujui pencekalan ratu goyang gergaji.
Murawi tidak membela siapa-siapa, bukan membela Kang Bawon atau pemerintah murawi hanya membela anaknya, membela murid-muridnya, membela anak-anak bangsa.
Anak-anak yang berlari sepanjang pematang harap tak boleh membiarkan mereka tak terarah, kita lindungi dari cengkeraman marabahaya, agar anak-anak berdendang riang, beri mereka kemerdekaan seluas langit dan bumi. Tetaplah kuat kau sebagai busur pengarahnya. Begitulah yang selalu terngiang di telinganya, sebuah puisi yang ia dengar dalam sebuah acara kenduri puisi di umah seni pintu kosong.


RIA
Oleh : Kang Drajat

Mobil station hijau tua dengan pengeras suara bertengger di atasnya melintas di depan bengkel Kang Bawon . Semua orang yang ada di bengkel itu tanpa disadari menghentikan aktifitasnya menyimak informasi yang disampaikan lewat halo-halo. Pengeras suara. Sesaat kemuadian informasi keliling itupun menjadi bahan polemik di bengkel desa itu.
“Pamer, mau ibadah kok pake wara-wara…..” Anwar bangun dari lincak bawah pohon jambu sambil menggosok-gosok matanya, hatinya dongkol karena terganggu tidurnya.
“Eelah…li ora kena gela….makanya tidur ya di rumah, apa di pinggir kedung jengking sana kalau tidak mau tergangu”.
“Brisik, bisa meneng apa tidak kang, kepingin tek slomod pake rokok apa?. Ngeneh kang Murawi njaluk rokoke buat nylomod kang Sumar”. Anwar mendekati Murawi
“Sudah tau kalau aku ndak ngrokok kok minta sama aku, alah…padune mau minta Kang Bawon ndak brani saja kakean reka.” Anwar cengar cengir, Kang Bawon menyodorkan rokok kreteknya.
Sesaat, suasana hening secara serentak, kata orang seperti ada setan yang lewat. Pathing tlenggong ndomblong tanpa sebab. Gerimis rintik menetes bersama angin yang berhembus dari utara, anak-anak komunitas capingli beriring dari utara setengah berlari dari jalan dlurung sepur sebelah warung Jabar menuju bengkel Kang Bawon.
“Halo-halo apa kang? Pertanyaan Puji dan Weli memecah kesunyian
“Pengajian Haji di Ndiwek , mangkat mbok nanti habis isa?” Kang Sumar menjawab sambil mendekat kearah tempat dimana Murawi duduk sambil mencorat caret rancangan gambar rumah. Murawi tampak sedang bad mood, rancangan itupun mentah. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Kang Sumar hapal betul tabiat Murawi bila sedang memikirkan sesuatu bisa berbalik seratus delapan puluh derajat dari biasanya. Murawi sedang menganalisa omongannya Anwar, mengapa Anwar bereaksi tidak enak ketika mendengar informasi halo-halo keliling tentang pengajian haji.
Pengajian haji adalah suatu tradisi baru orang-orang yang akan berangkat ke tanah suci menjadi tamu Allah. Sanak saudara, handai tolan, relasi, dan pejabat diundang datang untuk mendengarkan tausiah dari dai yang mengisinya sekalian tuan rumah yang akan berangkat haji minta restu dan do`anya para hadirin. Tradisi ini bisa menjadi siar Islam, menimbulkan rasa lapar untuk beribadah menunaikan rukun Islam yang terahir itu. Dalam acara itu, ada hangatnya penyambutan ada indahnya kebersamaan.
Suguhan makanan dihidangkan untuk segenap tamu yang datang, para tamupun dengan keperwiraannya membawa amplop berisi sebagaian rizkinya untuk membantu yang akan berangkat haji, ada juga yang menyumbang tenaga, beras, sayur mayur, dan lain sebagainya, pokoknya begitu indahnya kebersamaan. Umat Islam nampak begitu rukun dan kompak, tak ada Muhammadiyah, tak ada NU, tak ada SI, tak ada Ahmadiyah, tak ada apalah macam-macam kelompok. Yang ada adalah mereka saudara sesama umat Islam, tapi kenapa sepertinya Anwar tidak setuju dengan budaya baru yang sedang ngetrend di musim haji itu.
“Kok amleng bae, lagi mikir mbojo maning?” pertanyaaan Niman menghentak diamnya Murawi
“Ijo-ijo godong kates, nduwe bojo marai stress…ndak lah Cuma lagi mikir clemodane Anwar tadi”
“Oalah kang rika anu lagi kewalik temen, lha wong clemodane Anwar kok digubris, .”
“mbleketaket temen rembugane kang, anu ngrembug apa?” Tikno anak UNDIP yang hampir drop out nimbrung sambil menyalakan sebatang rokok gepengan yang ia ambil dari dalam jepitan dompetnya. Ia segera mempermainkan asap campur nikotin lewat lubang hidung dan mulutnya.
“Sedang membicarakan omongane Anwar yang agak nyalad, ada informasi pengajian haji malah dia bilang pamer dan ria “
“Sebetulnya ya ada benernya tapi juga ada salahnya”
“Nah, mulane tanyakan sama yang pernah haji, tanyakan hatinya, apakah aku salah bila ngomong kalau pengajian yang model seperti tadi, di halo-halo termasuk ria, pamer, atau tidak” Anwar keluar dari warung Mbok Dul sambil membawa wedang kopi.
Gerimis sudah reda, angin basah masih meniup semilir menggoyangkan pelepah pisang. Sesekali pohon akasia di dekat bengkel itu merontokan air membuat musik khas di atas atap asbes dan seng.
“Aku sedang mikir tentang pengajian Haji yang baru diclemodi Anwar. Mau ikut ngomong mbok dikatakan suudon, ndak dikatakan kok ada yang ndak pas menurutku, ada pergeseran pemahaman dan kelakuan kita ”.
“Bener kang aku juga tidak begitu sependapat pada budaya baru itu, apa ibadah Hajinya tidak menjadi rusak karena ria?”
“Ya tergantung Tik, tergantung pada niatnya” Kang Bawon urun rembug nimbrung sambil ngencengkan busi motornya Si Gus komandan pangkalan ojek SKB yang tadi mbrebet.
Diskusi menjadi semakin hangat dan mengalir. Banyak yang mempertanyakan siapa yang mengawali tradisi musim haji itu. Kenapa orang mau ibadah mesti pake acara yang melelahkan dan mungkinkah kelelahan semacam itu juga menjadi bagian dari ibadah atau malah menjadi perusak ibadah itu sendiri. Adakah tradisi itu bermanfaat mendudukan kesejatian dan membangunkan kesadaran Illahiah, ataukah hanya untuk konsumsi ego dan mendongakan gengsi serta kesombongan. Benar kat-kata Kang Bawon semua terantung pada niat. Adu argumentasi ala Tarsan dari komunitas Capingli alias bocah pinggir kali Nyangko membuat hangat suasana setelah gerimis.
Ada yang setuju ada yang tidak setuju, ada yang diam ada yang nylemod sekenanya. Musim Haji tahun ini di kampung itu ada lima yang berangkat belum kampung tetangga, apabila mau datang ke pengajian haji dapat dipastikan setiap hari telinga kita akan dilobangi oleh seruan-seruan serta hati kita akan dibuat kepengin menjadi tamu Allah. Masalah ria atau tidak yang tau hanya diri sendiri serta Tuhan Yang Maha Tahu. Peringatan yang telah diserukan berkaitan dengan ria mestinya menjadi bahan kehati- hatian dalam kita menjalankan syariat dan menyebarkan siar Islam, begitulah kata kyai Dul Gopar menengai dua kelompok yang berbeda sudut pandangnya dalam menerima budaya baru musim Haji di kampung Murawi. “Kita mesti hati-hati dan waspada pada penyakit riya, karena sangat tipis batasnya dan tersembunyi begitu rapat. Ingat riya itu lebih hitam dari semut hitam diatas batu hitam di gelapnya malam”
“Jadi besok kalau pean meh mangkat Haji pan pengajian apa ndak kang?” Kang Bawon bertanya pada Murawi. Yang ditanya cengar cengir bingung menjawabnya.
“Iya kang, pengajian dulu apa langsung les pergi begitu saja?” Anwar menimpali sambil mencari dukungan. Harapannya Murawi akan menguraikan panjang lebar tentang riya dan mendukung ketidak setujuannya.
“Pergi haji yang terpenting adalah ikhlasnya, ibadah Haji sebetulnya intinya adalah meniru Kanjeng Nabi Ibrahim..seneng memberi, bukan seneng diberi, nah pengajian itu konteknya adalah dalam rangka latian seneng memberi”
“lho kang tadi pean kelihatannya tidak setuju dengan budaya baru musim Haji, kok sekarang malih?”
“ Bukan malih. Tadi kan saya bilang kalau budaya musim Haji itu bila tidak dilandasi dengan pengetahuan dan ilmu yang benar akan menjadi budaya yang secara kulit bagus tapi intinya ndak kena karena kencampur riya, pamer untuk mendongakan kesombonga dan keakuan kita”
Obrolan berhenti. Seperti biasanya tanpa keputusan yang pasti, antara setuju dan tidak setujupun tidak jelas. Obrolan di bengkel Kang Bawon memang bukan untuk penghakiman, bukan yustifikasi, tapi hanya sekedar iseng dan mendewasakan diri mendengarkan pendapat orang, perkara setuju tidak setuju dengan pendapat orang lain adalah sebuah hak asasi yang tak bisa dikungkungkan dan dipaksakan. Bedug Ashar bertalu talu dari Masjid besar, angin luruh dengan getaran jiwa mendengar suara panggilan-Nya.


PEMILU OH PEMILU…
Oleh : Kang Drajat.
Komunitas Seni Pintu Kosong Banjarnegara


Pemilu leglislatif atau mudahnya pilihan wakil rakyat untuk anggota DPRD Kabupaten/kota, DPRD Propinsi, DPR Pusat serta DPD sebentar lagi akan menjadi pesta demokrasi di Indonesia. Bendera parte sudah pating klebet aneka warna di sepanjang jalan. Pohon-pohon menjadi subyek penderita karena paku tiang bendera yang beraneka rupa. Sepanduk sepanduk dari yang sederhana sampai yang mahalnya membuat kalkulator orang kecil tak bisa menghitung jumlah harga yang dikeluarkan untuk membuat iklan para caleg yang terpasang besar-besar di pinggir jalan.
Televisi sebagai bagian pencipta atmosfir kapitalisme juga tidak kalah ramainya, para tokoh mulai jual kecap, ada yang mengatakan pengangguran berkurang, dan mengaku-aku kemajuan pembangunan adalah karya mereka bahkan sebuah kebijakan publik yang mestinya adalah sebuah kebijakan komunal dengan tegas dan tanpa malu diakuinya sebagai karya mereka dalam mensejahterakan rakyat yang pada dasarnya belum sejahtera, ada yang mengatakan kemiskinan meningkat lalu mengajak untuk bangkit bersama dirinya lalu mencoba menjelekan pemerintahan yang berkuasa. Televisi tidak mau tau itu pembodohan atau pembelajaran politik masyarakat, yang penting sekali tayang sekian puluh juta masuk pundi-pundinya.
Murawi duduk sambil memegang palu kayu dan pahat ukir, memandang dengan penuh saksama kayu duku yang sedang menantang imajinasi artistiknya. Hari Minggu udara dingin berhembus dari timur menggoyang rumpun bambu yang tumbuh di grumbul depan sanggarnya.
Dari arah barat anak-anak komunitas kedung jengking beriring membawa pancing. Anwar, Yadi bolot, Niman gembrong, Puji kampleng, weli tanduk, sugi kucir dan mad parto menghampiri ketua duda sementara yang sedang membuat patung kayu duku.
” Ramane tumben masih di rumah, apa tidak mulang?” Anwar si mick gifer kedung jengking menghampiri Murawi, mencabut rokok yang tergeletak di dekat pahat ukir, tidak lama kemudian isi bungkusan rokok itupun telah melayang bertengger di mulut-mulut anak-anak yang baru pulang mancing itu. Masih ada sisa dua batang, lalu diletakan kembali dekat pahat ukir.
” Ngapura ya ma, lha kecute pol ra kuat ngampet je ” Celetuk Sumar yang baru datang naik sepeda onta mengambil sebatang dari bungkusannya.
” Ilah gari loro je ma,............... lah ora urus ” Sumar meletakan sebatang rokok di selipan bibirnya lalu mendekat Anwar meinjam geretan.
” Sikat bae, kaya karo sapa, kurang, igin ana bakul ” balas Murawi sambil menyeka keringat yang menetes membasahi wajahnya.
” Jan nyenengi wong sing kaya kiye. Seandenya pean nyaleg wong sing kaya rika sing tek pilih” kali ini Yadi bolot nylekop agak nyambung.
Dari omongan Yadi bolot tidak terasa forum clemad-clemod komunitas pinggir kali kedung jengking yang biasa nongkrong di sanggarnya Murawi mulai mengalir, semakin lama semakin mbleketaket. Kental berisi, penuh canda dan tawa. Sindiran dan senggolan sana sini terus berputar mengatasi hari Minggu yang mendung. Pembicaraan tentang pemilu, tentang para caleg yang gambarnya nampang di pinggir jalan sampai pada omongan tentang boroknya para caleg yang menurut Anwar tidak boleh karena suudzon adalah bagian rekayasa setan untuk menggiring kita jauh dari sifat Illahiah. Tetapi dasar anak-anak komunitas capingli, sekali sudah keprucut menjadi omongan tidak bisa borok-borok para caleg dihentikan dalam putaran clemodan. Sesekali Murawilah yang meluruskan atau mengendalikan agar clemodannya tidak ndleder terlalu jauh.
” Ramane, mbok boleh kita membicarakan tentang para caleg ?” Tikno yang kemarin malam diangkat menjadi komandan satgas parte banteng orek-orek menyodorkan pertanyaan pada pemilik sanggar pintu kosong. Murawi belum ngeh dengan diskusi , masih berfikir ribuan kali agar kwalitas kalimat yang keluar dari mulutnya adalah bahasa yang bisa ikut membelajari teman-teman yang biasa nongkrong di rumahnya itu.
“ Menurut inyong ya itu hak kita.” Mad Jawa nyambung mendukung Tikno
” Jane apa untunge nggorek-nggorek alaning lian, mbok masih ada gawean utawa omongan sing lewih apik?” Anwar yang sejak tadi memposisikan diri menjadi penyanggah mencoba mempertahanan posisinya.
” Tergantung apa tujuane, betul mbok ramane?” Sumar menimpali.
Diskusi ala kedung jengking semakin meriah. Murawi menghentikan pekerjaannya, ia mengambil rokok lalu menghirup asap bernikotin itu. Sesekali ledakan tawa komunitas ubrang ubrung itu terdengar lepas, lupa pada masalah keluarga dan beban hidup yang semakin keras menghimpit.
” Jane ramane nyaleg, mesti akeh sing milih.” Yadi bolot memutar kembali lingkaran awal mula terjadinya diskusi yang meriah itu.
” Bisane, apa karena tadi saya ngasih rokok terus kamu menilai saya orang yang tepat untuk mewakili kalian ?” Murawi kali ini sudah berniat menceburkan diri pada ajang diskusi minggu siang.
” Sebetulnya untuk apa si ada pemilu, marai nambai dosa.” Pertanyaan Anwar muncrat mengagetkan teman-temanya
” Bagaimana tidak nambai dosa, ingatase Haris ongklok yang pendiam begini saja jadi ikut-ikutan metani alaning lian.” Haris ongklok yang ditohok Anwar menunduk.
” Tah tidak begitu Wer, Haris tadi ngomong begitu ya dalam rangka ikro, membaca, membaca orang-orang yang katanya mau menjadi wakil kita. Jadi Haris tadi ya ada benarnya tapi juga harap hati-hati jangan usaha kita dalam Iqro yang sebetulnya ibadah malah menjadi bagian dari angin yang akan menambah mulad-muladnya geni neraka.” Murawi memulai ceramah
” Nah begini yang kami inginkan sejak tadi ngomongnya irit banget, terus ramane biar kami-kami ini jadi pinter.” Ajikom yang sejak tadi diam menjadi pendengar kali ini mulai ikut menjadi bagian dari diskusi guyon maton ala sanggar pintu kosong.
Murawi mencoba memberikan sedikit pengetahuannya tentang pemilu, ia menjelaskan bahwa dalam tahapan penetapan calon wakil rakyat ada waktu untuk mengajukan keberatan dari masyarakat terkait dengan kredibilitas para caleg yang telah diterbitkan oleh komisi pemilihan umum, masyarakat dipersilahkan mengajukan keberatan, masyarakat dipersilahkan untuk membaca, metani, menguliti pantas tidaknya orang-orang yang dipasang oleh parte politik untuk menjadi wakil rakyat sebelum mereka ditetapkan menjadi calon tetap.
” Oh...jadi tidak apa-apa ?”
” Ya tidak asal niat kita baik, jalurnya benar, InsyaAllah kita namanya sedang beribadah.”
” Metani alaning lian ?” Anwar masih penasaran
” Lho ya jangan saklek begitu, kita bukan metani alaning lian, tapi kita sedang membaca agar nanti yang kita pilih benar-benar menjadi wakil kita, memperjuangkan kepentingan rakyat, menjadi penyalur aspirasi kita, pokoknya menjadi yang terbaik untuk rakyat. Kita menanggapi para caleg agar kita yang kebetulan ngerti cacadnya para caleg tidak menjadi bagian dosa pada masyarakat karena kita diam saja.”
” Maksudnya ?” Weli, dan puji begitu antusias, apalagi Aji karena mereka bertiga sedang kebingungan diajak menjadi tim suksesnya caleg parte bintang monyor-monyor yang menurut mereka tidak pas menjadi wakil rakyat karena kelakuannya tetapi duitnya banyak.
” Tentang dosa, ah, jangan diperpanjang karena aku bukan MUI.”
” Lah, tapi ramane sudah keprucut bicara tentang dosa ya harus dituntaskan.” celetuk Anwar
” Ya maksudku begini. Kalo kita tau kok kita diam saja kan namanya kita ndak bener, contohnya di jalan ada duri kita lihat bukankah salah bila kita tidak menyingkirkannya, kita tidak termasuk orang yang beriman. Sudah maksud ?”
” Nggih, tahu....maksudnya agar kita tidak membeli kucing dalam karung.” Ajikom beralih menjadi penjelas bagi teman-temanya. Komunitas capingli nampak sudah bisa mengerti pada apa yang dikatakan Murawi.
” Alah, aku tidak mau tau yang penting siapa yang memberi uang akan saya pilih.” Mad parto yang sejak tadi cuma cengar cengir kali ini bicara yang langsung disetujuai oleh hampir semua peserta diskusi kebonan itu.
Murawi dadanya terasa ampeg, bukan karena hanya dia yang tidak sama prinsipnya tetapi hatinya sedih bagaimana negeri Indonesia yang tercinta sudah merdeka lebih dari setengah abad pola pikir masyarakatnya masih sebatas perut. Dosa siapakah sebetulnya, mengapa pendidikan politik belum menyentuh pada masyarakat, apa tugas parte selama lima tahun, mana tanggung jawab pembelajaran politiknya, mana keperwiraan parte yang telah menggunakan uang rakyat, mana tangung jawab moralnya. Murawi unjal ambekan. Menarik nafas dalam-dalam, membiarkan udara memenuhi rongga dadanya.
” Selama kita tidak dewasa dan cerdas jangan harap kemakmuran menjadi kenyataan.”
” Ya....ya...saya maksud.”
” Dewasa dan cerdas, hubunganya dengan kemakmuran, wah aku malah blas ra maksud.” Sumar nampak kebingungan dengan omongan Murawi.
” Dalam Pemilu mestinya prinsip kita adalah ibadah, memilih pemimpin adalah ibadah. Itu namanya cerdas. Lalau memahami bahwa masing-masing orang punya pilihan sendiri atau tidak harus sama denagn pilihannya adalah termasuk dewasa.”
” Lha hubungannya dengan kemakmuran ?”
” Kalo kita memilih dengan prinsip ibadah maka jangan matre nanti terjadi kapiltalisme politik. Coba bayangkan kalo semua orang prinsipnya memilih siapa yang ngasih duit maka jangan salahkan para wakil rakyat tidak mikirkan rakyat tapi mikirkan duit, terus kalo kita memaksakan orang lain untuk sama pilihanya maka akan terjadi kekacoan. Apa bisa kita menuju kesejahteraan ?”
” Ealah, sudah jamannya bagaimana ?” Mad jawa nyambung
” Siapa yang merubah jaman, bukankah Tuhan tidak akan merubah nasib sesuatu kaum tanpa kaum itu sendiri yang merubahnya ?”
” Lah aku bingung, kayane aku pan golput bae.” Weli menyela sambil masuk ke dapur mendengar air sudah mendidih.
Siang yang lembab udara teras dingin, aroma kopi meliuk dari dapur umah seni pintu kosong.
” Memilih adalah hak, tidak memilih juga hak, tetapi lebih baik menggunakan hak pilihnya, dengan landasan ibadah, ikhlas dan niat ikhtiar menjadi bagian dari perubahan dengan memilih orang yang tepat bukan memilih dengan micek, hanya karena uang sepuluh apa dua puluh ribu lalu kita mau menutup hati nurani kita, apa kita tidak kasian sama jiwa kita ?”
” Jadi apike kita tetep memilih tetapi memilihnya dengan Iqro, ora waton tangga apa kanca apa lagi karena duit, begitu mbok yang dimaksud ramane?” Anwar mencoba menjelaskan pada teman-temanya
” Sepertinya untuk merubah budaya seperti itu sulit lho.” Sumar berbicara setengah berbisik, ada nada masgul. Sebetulnya ia mengakui omongan Murawi benar tetapi hatinya belum mau merubah prinsip, siapa yang ngasih duit dia yang akan dipilih.
” Kang Sumar, kalo prinsip itu di pake lalu semua caleg ngasih duit, lalu siapa yang akan dipilih?” Murawi mencoba meberi pendidikan politik pada sahabatnya
” Tek toblos kabeh.”
Sontak suara tawa keras terdengar mendengar jawaban Sumar. Dari dapur Weli setengah berteriak menawarkan kopi. Anak-anak satu persatu masuk kerumah lalu kelur dengan segelas kopi hitam. Diskusi terus mengalir, Puji membawakan teh tubruk untuk Murawi, sedang di tangan kirinya segelas kopi mengepulkan aroma nikmat.




KEMATIAN
Oleh : kang Drajat

Sejak terjadinya gempa dan gelombang tsunami yang menyisakan kesedihan dan kepedihan, obrolan di bengkel kang Paryo topiknya adalah mengulas berita terbaru dari media masa. Mengulas tentang jumlah korban, mengulas tentang lambanya pemerintah dalam menagani pasca tsunami yang ngedab edabi. Gambar-gambar di televise yang setiap saat dapat menggurkan air mata dari jiwa-jiwa yang masih mempunyai hati nurani.di bengkel Kang Paryo juga tidak ketinggalan menyoroti aksi solideritas pengumpulan dana yang marak dimana-mana. Ada yang suudon ada yang tetap percaya kalau sumbangan itu benar-benar akan sampai dan tidak mungkin tegel untuk menjadikan penderitaan saudaranya sebagai topeng pelindung wajahnya. Nur polid tetap bersikeras bisa juga hal itu terjadi karena menurut kacamatanya penduduk negeri ini sudah semakin tebal mukanya karena menggunakan topeng.
Bagi Turmadi, Anggit, Fathon, Rahmat. Boy yang guru PPKN bencana itu tidak hanya menyesakan dada, tetapi membuat malam tahun baru yang sudah direncanakan sebulan sebelumnya menjadi gagal total. Turmadi yang punya rencana akan nyuled mercon segede wit jambe, katanya untuk mengejutkan orang, terkejut dalam artian sadar dan menyadari bahwa kita maasih hidup, nasuh diberi umur sampai tahun 2005, terkejut dalam kesadaran yang sesadar sadarnya bahwa kita telah diberi rahmat lalu bersyukur. Anggit berencana mau naik gunung sama pacarnya atau ke cilacap menikmati debur ombak menangkapi aroma angin yanghlain dari biasanya. Angin berasa garam beraroma khas lautan. Fathon akan melalui pergantian tahun baru di kidul kali cebong, Rahmat dan Boy akan naik gunung menangkapi kedamaian alam. Dingin angin yang menyayati malam dan kepuasan mengalahkan rasa cape serta mengantuk.
Murawi sibuk mempersiapkan acara pementasan untuk aksi solideritas bencana gempa dan tsunami dengan menggelar acara kenduri puisi di pendopo kabupaten. Sudah empat hari murawi tidak nongol batang hidungnya di bengkel kang paryo. Tanpa murawi memang terasa hambar, empat hari tak ada guyon maton dan seminar uthuk umbrung. Diskusi model pinggir ndalan.
Hari minggu. Ketika bedug lingsir bertalu-talu dari langgar kyai mujamil disusul lengking suara kang simin kumandangkan azan dhuhur. Murawi turun dari angkot dengan pakaian hitam-hitam rupa pendekar, berkaca mata hitam , nyangklong tas hitam, untung topinya merah coba kalau hitam pasti seperti burung yang sering membawa sasmita kejadian alam. Burung gaok atau gagak. Di bengkel kang paryo Cuma ada adiknya kang paryo yang lagi ngodol-odol binter mersi bosok milik sura damun lulus mlabar.
“ Sendirian saja kang? Tanya Murawi sambil menghempaskan tubuhnya di jok jip ofroadnya Martaja yang dilepas dan diletakan di sudut bengkel dekat jipnya yang sedang dirombak catnya.
“ Tidak. Itu pada di dalam lagi nonton kesedihan tentang bencana ombak ngamuk”
“ Di rumah Martaja?”
“ Ya inggih, kalao di tempat Islah itu nonton mebel yang baru diturunkan dari jepara.” Murawi segera beranjak ke rumah Martaja. Komunitas kresek lengkap di depan televisinya Martaja yang baru beli hasil jualan gajah bilis alias anakan lele.
“ Lha kiye lakone teka” Kang Paryo menyodorkan tangan mengucapkan selamat tahun baru diikuti semua yang ada dikerumunan depan televisi itu.
“ dari mana saja, tanek temen. Apa dapat gebedan baru? Turmadi mendekati Murawi.seperti biasa. Nunut udud.
“ Sekarep-karep cangkem nylongob. Lagi kesel-kesel koh. Ya lagi kesel campur kesuh”
“ Lho kenangapa? Medeni temen, tumben-tumbennya kang murawi bisa kesuh.”
“ Tidak ding. Kesel. Cuma kesel….”
‘ Kesel apane kang ? atine apa awake. Angger awake nyong gelem mijeti sing penting sebungkus.”
“ Ya atine, ya awake. Bayangkan saja nggit, ndesain acara susah-susah. Waktu rapat katanya ya. Tekan nggone mlaku sendiri-sendiri.”
“ Acara apa kang? Tahun baruan?”
“ Iya. Acara malam kenduri puisi kanggo mengumpulkan sumbangan dan menyongsong tahun baru 2005.”
“ Lho mbokan sukses. Katanya pak de3 Hasim jarene garapane rika lumayan malah klebu apik.” Kang Paryo nimbrung menuju ruang depan di rumah martaja itu. Sementara turmadi masih memelototi egat-egot goyang pantat.
“ Lha kuwi yang bikin dongkol. Sebagai wong cilik nyong didawuhi, dikasih kepercayaan ora sepi usaha njumpang njempalit. Ora ina DKD nganakna rapat kordinasi buat bikin acara malam tahun baru agar lebih bermakna serta dapat ikut membantu saudar-saudara kita yang lagi dilanda musibah. Siang malam inyong tidak pulang mempersiapkan acara. Nglatih bocah-bocah nggading lan ngalor ngidul kaya wong mis. Nyong ora ngerti kenapa seolah-olah aku sing butuh tampil terus dijor klowor.”
“ Banyak yang datang? Lha aku mau datang, tak lihat dari jauh kelihatan orang-orang tua saja dan mereka pakai baju batik serta jas-jasan. Apa memang kalau di pendopo harus jas-jasan?”
“ Ya tidak ton. Yang penting rapi. Kalau semua orang ke pendopo harus pakai batik atau jas terus rakyat lain diletakan di mana kalau mau sowan. Pendopo kan tempat bertemunya rakyat dengan pimpinannya. Tempat pasewakan. Tidak hanya yang punya jas dan batik kinclong-kinclong saja yang boleh memasuki pendopo.”
“ Tapi aku ndak diundang?”
“ Lha ini yang bikin nyong dongkol ya itu. Masa undangan tidak disebar atau orang-orang para priyagung yang tidak suka memenuhi undangan, nyong tidak tahu. Tapi intinya terjadi ketidak harmonisan sisrim kerja antar unsure pemerintahan.”
“ Lha rika ndongkol karena apa? Karena yang nonton sedikit?”
“ Bukan Ton. Bukan itu masalahnya. Dalam rencana saya malam itu saya disain sebagai malam aksi keprihatinan, kepedulian untuk aceh dan nias. Dengan para pejabat baca puisi, tokoh masyarakat, wakil organisasi profesi serta pelajar dan mahasiswa dimaksudkan sebagai ujud kebersamaan semua elemen masyarakat Banjarnegara serta dapat menjadi ajang dialogis dan penghimpulan sumbangan. Coba kalau semua kursi yang ditata terisi penuh satu pendopo sumbangan pasti lumayan jadinya aku tidak merasa sia-sia mengorbankan siang malam waktu untuk pementasan.”
“ Aceh semakin hari korban semakin bertambah, belum nias. Kang murawi kita sebaiknya bagaimana?”
“ banyak saudara kita yang mati. Sebagae ujud solidaritas kitapun ikut mematikan diri” “ Uluh. Mematikan diri yang bagaimana maksudnya kang? Wong setres janji clemod”
“ Lho begini maksudku. Kita matikan ego kita, kita matikan kepathilan kita, untuk menumbuhkan rasa berbagi dengan sesame. Kita sering ngangkangi urip, dikiranya urip ini milik kita?, bukan nggit, bukan. Urip ini milik Gusti allah Dzat kang Maha Urip.”
“ Ider sumbangan banyak sekali dilakukan dimana-mana, menurut kang murawi bagaimana?”
“ Lha ya apik. Sing penting tekan nggone. Sampai pada yang berhak.kalau ego kepemilikan tidak dimatikan baik yang ider nampung sumbangan maupun yang diparani dimintai sumbangan tidak sepadan. Tidak mach, akan menjadi masalah. Bayangkan saja kalu ego kepemilikan belum mati, bias jadi yang menarik sumbangan uangnya digunakan untuk kepentingan sendiri.”
“ Apa tegel edaen ya?”
“ Alah tur, ndonya bosok begini kok pakai nanya apa tegel, setiap hari kita dikasih tontonan ketegelan manusia terhadap manusia. Di angkutan kota, di bis, di terminal, tukang ojek yang nuntuk, anak tegel sama orang tua, nglomboni wong tua. Pedagang yang tegel ngundakna rega sekayange dengan dalih bbm arep mundak. Dadi mungkin saja penarik sumbangan itu juga bermain-main.”
“ Apa tidak dikordinir?”
“ Ya sudah ada yang mengkordinir, lewat lembaga resmi semisal PMI, tapi bayangkan kalau semua orang narik kemana setornya, bagaimana pelaporannya ? katanya kunci reformasi adalah transparnsi, sedang pemerintahan yang bersih adalah yang transparan, angkutabel, serat menjalin kemitraan dengan masyarakat atau meningkatkan peran serta masyarakat dalam segala segi.”
Murawi bangkit dari duduknya terus melenggang loyo menuju rumah. Rumah martaja bertambah ramai kedatangan ragil, lulus, dan islah yang kut-kuten mendengar diskusi embane alias ndean yang ditinggalkan murawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar