Kamis, 17 September 2009

KUNCI (ANTOLOGI 2)

PERCAKAPAN SENJA
Drajat NA.

Kek, kenapa kakek berkaca-kaca, adakah ini tanda bahagia?
Ya, cucuku…sebentar lagi gelap akan menikam siang dan sunyi akan memeluku
Mengapa?
Inilah saat aku akan pulang, cucuku.
Setelah beratus tahun aku menanti
Datangnya priyagung pemomong sejati

Dahulu
Dari tlatah terpencil Banjar Watu Lembu
Genderang ditabuh bertalu
Gagah berselempang semangat - membongkar loji kompeni

Aku masih terus disini
Menunggu dari masa ke masa
Sampai saat Tuhan berikan tanda-tanda
Datangnya sang terutus pamong sejati
Pembakar jiwa kuatkan nyali

Sudah kulewatkan ratusan tahun di sini - menanti
Titisan prajurit Banjar sejati
Prajurit Mangunyudo sang Pangeran Seda Loji
Yang dulu gagah berani melawan kompeni
Prajurit Banjar yang tak mudah goyah oleh keju dan roti

Pulang kemana kek ?
Pulang pada Sang Maha Sunyi
Tempat dimana ada dan tiada tapi ada
Mulih maring sangkan paraning dumadi
Setelah beratus tahun menjaga di sini
Tebaran semangat patriotisme bertunas semi
Dan telah kau genggam dan pahami inti perjuangan sejati

Percakapan di sore menjelang rembang
Ketika matahari merah memarkan langit barat
Burung-burung pulang menuju sarang cinta-bergegas kepaknya
Laki-laki tua itupun terbang menuju cakrwala.
Dan si bocah kecil itu
Sibuk memaknai kata-katanya.

Banjarnegara, Agustus 2006
Puisi kado untuk Banjarnegaraku.


TENTANG PASAR
Drajat NA.


Sudahkah kau buka pintu gerbang
Biarkan semua masuk gelar dagangan
Masing-masing jiwa punya kewajiban sendiri

Kita lipat-lipat waktu
Lalu berhentilah sejenak – azan elah berkumandang
Biar hanya jantung saja yang berdetak
Dan jam di dinding kita banting
Agar bebas menjual dan membeli
Separoh nurani kita yang tergadai


Bringharjo, April 03
























KISAH PERJALANAN 4
Drajat NA.



Menyusuri keterasingan diri
Yang terbuang dari rumah cinta
Terlunta-lunta di sepanjang trotoar Malioboro
Tiba-tiba anakku turun bersayap bidadari
Mengusap luka-luka jiwaku

Wajahnya jernih bagaikan kaca
Terpantul gambar wajahku yang kusam penuh debu
Wajahnya berkilau bagikan pualam
Memantul cahaya nurani penerang gelap diri
Tangannya yang mungil merengkuhku
Mengajakku berlari dari jebakan mimpi

Ku sambut tangan bidadari
Dekap didada redakan gemuruh
Sejuta angin terperangkap damai
Di taman hatiku

Malioboro, april 03














KISAH PERJALANAN 2
Drajat NA.

Ada kalanya langit begitu memesona
Ketika selendang sutra hitam bertabur mutiara
Dan kau berdua – anakku
Hadir di sekujur bulan

Aku tak pernah jadi lelah
Sebab senyummu memijit-mijit urat tubuhku
Dan kebanggaan menegakkan lagi semangat pencarian diri
Mencari penyembuh luka hati

Selalu saja tiap kan terhanyut
Ombak angan angan lautan darah ego kelana
Kau berdua – anakku
Mendekap dengan sinar matamu

Tanpa berucap kau berkata-kata :
Dia wanita yang pernah papa puja
Ladang dimana aku disemaikan
Pohon dimana buah dibesarkan

Dan malampun tak jadi memanjang
Sbab mimpi indah menemani tidurku
Hingga pagi hadirkan matahari

Banjarnegara, 1 okt 03





SURAT KEPADA ANGIN
Drajat NA.

Ilalang yang kau belai melepaskan, putih bunga-bunga
Jatuh di pangkuan anakku yang menunggu waktu
(waktu bukan jam atau hari atau tahun)
waktu sebagai sebuah ketetapan.

Ketika ke gunung lalu turun melepasi gerah – menyisir rambut
Putus sehelai kau timang jatuh di ombak
Ketika pasir kau terbangkan gunung pasir berlekuk diam dan hening,
Kau kemanakan anakku?

Bila ia masih menunggu waktu itu – , bisikan padanya
: bapakmu sudah siap untuk mati.
Tidurkan aku dalam kelembutan sang sunyi lalu
Tembangkan lagu nina bobo atau tak lelo lelo ledung.
tolong sedikit kau ajarkan tentang hakekat kematian pada anakku
agar ia tak merasa ditinggalkan
aku hanya pulang
menuju kesejatian pada sangkanparaning dumadi.

Banjarnegara, des 02













PULANG
Drajat NA.

Ada sura kangenmu di pantulan sinar bulan
Air danau berkilauan tersusun mosaik
Wajahku terlihat letih

Adalah suara kangenmu menggunungkan pertanyaan
Apalah hidup ini tanpamu ?
Banjir rindu menenggelamkan danau
Lumat wajahku di keruhnya air
Mengelana jiwa sepanjang aliran sungai Tondano
Menyusur kampung lembah dan ngarai, meluruh di kota
Tumpahlah di pantai Manado

Ada bayangan bulan berkeping ditampar ombak
Pecah menyerpih di pasir putih
Ku ikat bunga karang sorga bunaken
Persembahan cinta dan kerinduanku

Manado, April 1996
















SEPANJANG SATU MIL LAUT
Drajat NA.

Lelah aku terombang ambing
Ombak dan badai membawa biduk tak tentu arah
Tubuh dan jiwa terpaksa ku serpih serpih
Menutup air yang merembas lewat retak-retak menganga, agar biduk tak tenggelam
Karena di dalam biduk ada dua titipan Tuhan
Amanah dan kebanggaan.

Ini benar benar perjuangan pembuktian keperkasaan
Hancurpun aku rela demi dua jiwa yang tak berdosa
Dengan segala kerendahan aku mengajakmu
Merengek menghiba bukan untuk siapa-siapa
Janji harapan dan impian telah dipancang berdua
Satu mil laut biduk telah melaju
Satu mil laut kunang-kunang sepanjang jalur
Satu mil laut suka dan duka………..sepanjang kayuh

Rupanya kau mulai lelah dan bosan
Karena sepanjang satu mil laut belum juga ada tanda mahkotaku menyala
Mengapa kau ingkari nurani, lalu silau oleh sihir dunia!
Sepanjang satu mil laut ternyata kau sibuk dengan samudra khayal yang kau cipta
Biduk dan sang idola- lalu kebencian dan kejenuhan menumpuk memiringkan biduk
Entah mengapa tiba-tiba kau segera melompat dalam samudra khayalan

Ini memang salahku
Tapi bukankah aku selalu memberimu kesempatan
Agar jiwa bicara dalam sunyi

Kau tak lagi sang dewi yang zuhud dan konaah
Menghardik dengan segala pembenaran : demi anak, agar biduk tak tenggelam ?
Bukankah ada cara yang lebih bijak sana?

Biduk telah miring
Hanya padaku semata kau kecewa karena beda jiwa…..?
Apakah telah lupa, harmoni tercipta karena unsur yang berbeda
Ah, belum sampai tugas kita, menghantar titipan menuju gerbang dewasanya
Kau telah lari dan tenggelam
Dalam khayalan yang memabokan.

Banjarnegara, April 01




EPISODA MALAM
Drajat NA.

Memutar kota tak ada jarum jam yang berdetak
Lumat oleh degupan jantung yang was was . Ini kota mati !
Rumah – rumah seperti nisan
Orang – orang mati setelah riuh di pasar
Menjual jiwa dan kantor-kantor menyembelih nurani

Memutar kota seperti rolet
Tak tahu jarum berhenti pada angka berapa
Terhidang kesenyapan yang membosankan
Tak ada yang bersorak dalam gairah
Kecuali, pelacur tua mendesah dalam sarung

Angin yang tercabik oleh bus antar kota
Melaju membawa harapan dan sampah
Suara azan melengking merobek pagi
Aku lebur dalam penyesalan
Sebab waktu berlalu tanpa makna
Banjarnegara 8 April 02
















SURAT KEPADA ISTRI
Drajat NA.

Di Puli Nan To udara begitu dingin
Katamu menampar syal yang melilit di lehermu
Adakah cinta turut beku
Dan rindu menjadi batu di dadamu
Ketika bunga mulai bersemi
Bersama dewa dewi di halimun dingin
Jubah ungu membungkus kulit yang rapuh
Mengikutimu mengejar hasrat entah sampai kapan

Sampai pada puncak bunga menjadi buah
Lembar-lembar bunga gugur menumpuk
Membusuk pudarkan warna ungu
Keringat penantian lengket resahkan tubuh
Di atap kamar sebuah nyanyian melengking tinggi
Bergema meracuni darah mentubakan segenap lamunan
Lewat angin sepanjang angin pekabaran rindu ini
: Buah kan menjadi tapi pohon penuh karat

Hujan mulai mengganas
Dengan derita memporak porandakan yang pernah ada
Pelangi mulai tercabik-cabik
Dan tubuhku tak kuat menahan busur cakrawala

Tulikah telinga pada kejujuran
Apakah sihir-sihir Firaun melemahkanmu
Cinta beku dan rindu yang membatu jadi berhala pujaan
Hingga kau masih berselendang mimpi di Taiwan.

Banjarnegara , 2003

MONUMEN
Drajat NA.

Batu-batu candi diam
Menyimpan misteri
Relief yang melapuk
Adalah tanda fana dunia

Batu-batu candi
Catatan peradaban anak negeri
Penuh semangat gotong royong berbingkai religi
Mengapa kini hanya menjadi
Monument yang tak termaknai

Oh, Dieng duniaku yang hilang
Batu-batu biarkan bicara sendiri
Karena Dewa telah pergi?

Dieng, Juli 01



















EXPERIENCE OF DEATH
Drajat NA.

Ditengah comelec – batu-batu persembahan
Membuka jiwa , hati , perasaan , dan nalarku
Air mata membasahi ston heng
Banjir melarutkan. Perjanjian dalam prasasti - lapuk tak terbaca
Oh, buka saja sarkopagus
Membujurkan jasadku yang penuh luka tikaman kedunguan dan belenggu
Dan tak ada lagi arah yang jelas bagi penyelesaian
Jalan teramat banyak simpang – mengapa selalu saja yang terpilih adalah jurang ?
Tolong tutupkan sarkopagus
Agar jasadku tak diserpih burung bangkai.

Aku takut hidup
Tapi salah tingkah dengan dewa kematian
Ah, sudahlah inilah keputusan terahirku
Tutup saja rapat-rapat sambil menunggu kekasihku
Dan biarkan anak-anakku saja yang membuka
Untuk sebuah hikmah bagi kedewasaannya

Bara, Okt 01
















LEWAT TENGAH MALAM
Drajat NA.

Dinding-dinding menyerap kebekuan
Angin malam memadamkan perapian,
Sebuah episode tergambar di langit kamar
Detak jantung getas mengiring jam dinding
menukikan angka : setengah tiga

Sajadah yang tergelar memanggil sujudku
Namun entah mengapa kaki terkunci
Sumur tak pernah kekurangan air wudu
Katakana apa yang harus diperbuat, jika jiwa terserpih serpih

Selalu saja lewat tengah malam
Ketika semua mati Tuhan masih menyalakan pelita jiwa
Dan selalu saja lewat tengah malam
Ketika semua sunyi, setan masih gentayangan :
Menghidupkan dendam kegagalan

Aku terombang ambing
Diantara keruh air sungai kehidupan
Dan gemericik mata air kasihNya

Banjarnegara, 9 Oktober 01
PINTAKU
Drajat NA.

Tak bisa salahkan siapa-siapa
Perjumpaan kita atas kehendak sang dewi malam
Lalu denyut nadi kita melambungkan

Melodi cinta bunga asmara
Begitu jauh kita menyusuri jalan malam –tak terduga
Terantuk batu luka-luka

Tak bisa salahkan siapa-siapa
Percintaan kita tak seindah harapan
Terkadang kita lelah terjebak sorga khayalan
Karena kau berbatas dan aku
Milik sang waktu

Kita dalam naungan dewi malam
Maka bersiaplah untuk berpisah
Sebab matahari selalu tepati janji
Dan sinarnya melepas sang dewi
Aku mencintaimu begitu pula yang aku rasakan
Kasihmu mengalir sejukan jiwa













EPISODE PELARIAN
Drajat NA.


Dari warna wajahmu
Ku tangkap sejuta perkataan yang diam
Tentang rasa sakit yang tak terucap
Karena duri meluka hatimu
Lalu berjalan menyeret hidupmu digaris kelam
Atau keingkaran janji-janji pada ibu bapakmu
Masih tersembunyi
Tak mampu tergali
Sebab kau hanya diam berkaca-kaca
Dan aku sibuk mereka-reka
Lalu jatuh dalam rasa iba
Ah, malam berlalu tanpa pergulatan
Kau begitu memelas, warna wajahmu menutup rembulan
Membuat kehampaan semakin dalam

Pemberontakanku kuikat di gunung sesal
Sebab masih saja aku mencoba-coba
Menutup sepiku dengan wanita, meskipun berkali aku gagal
Karena ternyata kekasihku. Begitu kuat
Penuh dalam kamar jiwa

Malam itu
Dendang birahiku kembali reda
Bukan karena terpuaskan hasrat itu
Bukan karena kureguk air telaga
Tapi tangismu menenggelamkannya
Dicermin tergambar : wajahku kusam
Lalu kutinggalkan wanita itu
Tergolek menggigil kedinginan- melihatku berlalu
Menjemput pagi.


banjar Maret 01









LAGU PAGI
Drajat NA.
Gadis kecilku membuka jendela
Mengucapkan salam pada matahari, bunga dan burung-burung
Lalu ia membangunkan
Tidurku yang teramat lelah

Bertabur aroma bunga pagi itu
Ia duduk di sebelahku
Bercerita tentang sebuah cita-cita

Katanya ia, ingin jadi Matahari, Bintang dan Bulan
Katanya biar pelaut tak kehilangan arah
Katanya biar hangat seisi jagad raya
Katanya biar malam tak terlalu menakutkan

Gadis kecilku kukecup keningnya
Matanya redup dibalik topi dan duri
Bayangan masa depannya

Jogja, Okt 01















KENANGAN
Drajat NA.

Di taman plaza
Jemarimu yang lentik pernah memegang lenganku
Saat itu langkah kita terhenti
Melihat dua sejoli memadu cinta
: kau ajak aku kemari untuk seperti itukah ?
aku hanya tertawa – kau mencubit manja
lalu memandangku dengan penuh sesal dan iba
: maaf aku menuduhmu !
aku hanya diam
tanganku meremas puisi

Di taman plaza,
Kota yang sejuk seperti senyummu
Satu hari kita bahas makna sebuah puisi
Yang aku tulis malam-malam di penginapan
Mengurai kata cinta,setia, dan rasa hormat
Saat itu hujan turun
Kau diam tanda mengerti

Wonosobo, Okt 01























BANGKITLAH
Renungan Indonesia Bisa 2008
Drajat NA.

Anak-anak berlari sepanjang pematang harap
Meniupkan terompet batang padi
Simponikan jiwa merdeka.
Yang paling depan berlari menancapkan
Di bukit utara, timur, selatan dan bukit barat negeri ini
Merah putih berkibar
Serentak anak-anak memberi hormat
Dengan malu-malu
Dengan ragu-ragu

Kaki-kaki telanjang menyusuri pematang
Jiwa-jiwa mereka berdegup
Tapi lirih nyanyikan Indonesia Raya
Mengapa lirih berbisik?
Sebab sepanjang pematang berpayung angan tak sampai
Merentang busur di atas tebing kepongahan
Gagap menangkap makna kebangkitan
Saat kemakmuran cuma sekedar jargon politik
Pedagang nurani mengaburkan, mata – menjadi nanar
Bagaimana kan tergalah Matahari?
Bilap penjajahan atas rasa merajalela
Kemiskinan memberati langkah mereka
Pengerdilan jiwa lusuhkan sang dwiwarna
Harapan menjadi tuba
Moralitas terkubur di puing jaman
Gambar pahlawan tertutup debu
Dan
Pengorbanan menjadi barang langka

Saatnya
Inilah saatnya
Saatnya bangkit
Mendetakan degup jiwa yang melemah
Menebus nurani yang tergadai
Memunculkan kemandirian
Membuang keminderan

Rengkuh anak-anak negeri
Beri ruang seluas langit dan buminya
Tegakkan kakinya kuatkan pijakannya
Bebaskan belenggu
Biar suaranya lantang nyanyikan gempita
Indonesia Raya
Banjarnegara, 20 Mei 2008


PADAMU AKU BERJANJI
Renungan Indonesia Bisa 2008
Drajat NA.

Indonesia
Untaian zamrud di katulistiwa
Negeri subur elok nan permai
Bertebar senyum sepanjang masa

Merah degup jantung kami
Putih ikhlas bela bakti
Beralas tulang darah nan wangi,
Suhada pejuang kami

Ini saatnya telah tiba
Ketika purnama tumpahkan kilau kemegahannya
Di negeri warisan leluhur satria
Negeri yang disiram wangi kesturi darah perwira

Kepalan tangan semangat-baktiku Indonesiaku
Agar merah putih tak robek dan lemah di pancang semangat kami
Agar garuda tetap perkasa dalam semangat juang kami
Menjaga pita bhineka tunggal ika
Semboyan tak pernah mati

Seratus tahun yang lalu
Pendahulu kami berikrar sakti
Bangkit sedia melepas ikat
Belenggu penjajah sang pertiwi

Inilah saatnya,
Detak kami, gelora kami, bangkitnya kami
Cemerlangkan langit lusuh dihantam
Badai krisis ekonomi,
Krisis politik,
Krisis moral dan
Krisis harga diri

Indonesia padamu aku berjanji
Tancapkan merah putih di pematang hati
Agar esok Matahari di atas negeri ini
Bersinar semangatkan dan
Hidup lebih berarti.

Banjarnegara, 20 Mei 2008

JANGAN BERHENTI
Drajat NA.


Meskipun lelah
Inilah hidup senyatanya
Hidup harus lelah
Pertanda kita masih hidup
Dan Tuhan menyayangi kita

Cobalah pecahkan bongkahan hati
Ada kristal yang memantulkan cahaya putih
Tangkapi percikan sifat-Nya
Sebagai kunci untuk kita tak berhenti

Bila kita tak temukan diri
Leburlah bersama dingin
Tapi jangan berhenti detakan harap
Senyatanya itulah inti hidup

Dieng, oktober 2004

























CATATAN AKHIR PEKAN
Drajat NA.

1
Gerimis yang menempel di rambutmu
Memantulkan berpuluh milyar sinar lampu kota
Malam yang lembut meletakanku di padang damai
Selalu saja ingin ku belai rambutmu
Mendekapmu rebah di dada sambil bercerita
Menggelar masa lalu di dinding kamar

Sesekali terbata-bata menahan pedih yang terkelupas lagi
Tapi entah mengapa aku tak bisa menolak keinginanmu
Mendongengkan cerita hidupku yang compang camping tercabik pisau cinta

Semakin malam semakin benderang
Semakin jelas kau lihat kesedihan di roman mukaku ?
Dengan lembut kau kecup bibirku

2

jangan kau pinta lagi sayangku
kaulah titik bagiku
tuk akhiri cerita pilu.

3
bus antar kota mencabik angin yang mati
saat diam menikmati debaran cinta
oh…waktu kenapa begitu cepat berlalu
belum tuntas kerinduan kau memisahkan aku

masih terkenang lambaianmu
saat kau menghilang di tikungan
dan bus antar kota
membawamu pergi



Banjarnegara, 2004







SETETES AIR
Drajat NA.

Dalam kehausan, dalam bimbangku
Dalam keraguan, dalam kerdilku
Dalam pengembaraan, dalam diamku
Kutemukan setetes air
Dalam padang kehampaan
Saat aku kan jatuh ditikam keputusasaan
Saat kekufuran merajai hati
Saat kegelapan tawarkan sorga birahi

Dalam diamku kutemukan setetes air
Sejuk menyiram darah meresap detakan nadi
Bangkitkan semangat yang telah mati
Robohkan berhala jiwa yang memancang hati
Dengan setetes air aku disadarkan
Untuk terus melangkah
Karna hidup adalah pencarian
Sorga yang mestinya jadi warisan.

Banjarnegara, juni 2005
























KISAH PERJALANAN
Drajat NA.

Berdiri di punggung bukit
Sepi terperangkap-nyaring dawai hati
Berdiri bentangkan tangan
Dihembus angin semilir
Berdesau menampar pucuk-pucuk pinus
Dengan lembut kutorehkan namamu
Di langit yang dapat ku sentuh
Sesaat tak dapat berucap kata
Angan sibuk memahat gambarmu
Pada awan yang berhenti.


Setelah menapak jalan menurun
Mencuci wajah di air pancuran
Kau tiup bunga ilalang
Terbawa angin hingga lautan

Di bawah pohon pinus
Kau memelukku erat-erat dan sandar di punggung
: Jangan bawa aku pulang
kurasakan panas bulir air matamu
Melobangi punggung tembus hingga hatiku
: mengapa cinta selalu ada luka?

Watu Belah Lereng Selatan Nopember 2004


















DOA MENJELANG SUBUH
Drajat NA.


Ya Allah, cahaya gemilang Maha Sempurna
Lumuri aku dengan Rahmat-Mu
Mandikan aku dengan air Kasih-Mu
Terangi jiwaku
Tuk membaca enam ribu enam ratus enam puluh enam ayat-Mu dalam dir1ku

Ya Allah pemilik kehidupan
Bangunkan dua puluh delapan abjad Mu dalam tubuhku
Bangunkan ya Robbi untuk mengikuti dan melebur dalam sembilan puluh sembilan keagungan-Mu

Duhai Allah, Tuhan yang Tunggal penentu segala
Pemilik semua kehidupan
Engkau Akbar aku kabir
Engkau atom dalam atom, inti dalam inti
Tundukan egoku untuk sujud hanya pada-Mu
Agar merasa kecil dalam kemaha Akbaran-Mu

Banjarnegara, 28 Maret 2008














RINDU PADAMU
Drajat NA.


Rindu padamu
Karena cintaku,
Semoga, cintaku adalah kilatan-kilatan cahaya-Nya
Menerangi langkah kaki mengurut sunahmu

Karena cintaku padamu
Semoga kelak Tuhan pertemukan aku
Dengan gemilang senyum dan salammu
Di kaki timbangan, Mizan hisabku

Duhai Rosul utusan penuh cinta
Rinduku berjumpa denganmu
Saat dunia telah melepas dari dalam dadaku
Dan jasad telah kembalikan
Sari pati tanah pembentuk ragaku

Banjarnegara, 27 Maret 2008

















POWER OF LOVE
Drajat NA.


Berikan cintamu
Seperti danao
Dengan ikhlas
Cinta milik Tuhan

Bila ingin dicinta berikan cinta
Seperti danao memberikan airnya
Mengalirkan sungai basahi jiwa-jiwa yang kering
Melebur satu dengan udara meniupkan kesejukan

Cinta adalah kekuatan
Memercik dari gemilang cahaya-Nya
Danao hatimu merembas mata air kasih-Nya
Kembalikan airmu, kembalikan airmu
Jadi hujan, jadi uap, jadi apapun
Cinta akan bermuara di lautan kasih-Nya


Banjarnegara, 27 Maret 2008














SIMPONY KEMATIAN
Drajat NA.

Katanya,
Setiap napas adalah kematian
Setiap kata adalah kuburan
Setiap langkah dan kerja adalah sorga dan neraka.

Sorga dan neraka dibuat di dunia
Dunia yang kecil ini, teramat kecil
jangan kau bawa dalam hatimu
yang luas tak terperi

Ia tak berguna apa-apa
Ia kotor dan najis, tapi itulah ladang
Tempat kerja menanam buah sorgamu
Tapi cuma ladang !!!!!!!!!

Buatlah kuburmu dalam hatimu
Sebelum mati dikubur dalam tanah duniamu
Bertebar dan hiduplah di atas dunia
Padang kurusetra tempat pembuktian diri
Jangan bawa dalam hatimu
Ia akan memberati langkah kita
Saat berjalan menuju gemilang cahaya-Nya

Banjarnegara, 27 Maret 2008







MI`RAJ
Drajat NA.


sunyikan hatimu,
padamkan api
hentikan udara
uapkan air
campakan eter
di labirin malam sepertiga malam sujudlah
luruhkan keakuanmu serendah tanah
leburlah diri dalam pasukan 99 keagungan-Nya
jangan di depan, setan siap membakar
jangan di belakang
ego, keakuan, istri dan anak serta kekerabatan,
pangkat dan gelaran gelaran, emas permata dan kilau dunia
akan menarik kakimu jatuh

bila mampu melebur dalam inti pasukan-Nya
menawarkan diri pada Tuhan semata
dengan konsentrasi memusat hanya pada-Nya
ketika engkau menjadi dirimu sendiri dalam qalb di maqom Allah
itulah mi`raj
bertemu gemilang cahaya-Nya
bukalah mata batinmu
di depan terhampar pemandangan maha gemilang kekayaan-Nya
empat belas ribu delapan belas alam menyatu dalam sukma

Banjarnegara, 26 maret 2008








KUNCI
Buat : Agung Wibowo
Drajat NA.


Setelah subuh
Di atas kolam Umbul Tlatar
Kau beri aku kunci
Aku terhenyak, angin seperti mati
Terpasung dalam relung hati
Setelah subuh kau beri aku kunci
Seperti dilemparkan
Sesaat sakit kulit dagingku lebam
Ku hirup angin Umbul Tlatar
Berputar putar di pusat kundalini
Bangunkan bulu kesadaran Illahiyah

Aku terhenyak-siapakah dirimu?
Laki-laki berjubah hitam dengan palu keadilan
Melempar kunci lalu pergi
Belum termaknai untuk apa
Kukalungkan dekat jantungku

Detak-detak nadi perlahan memasukan kunci dalam lobang hatiku
lenyap menjadi sel-sel membuka qolb ku
Tertimbang kini semua kata semua napas semua perbuatan
Kunci itu telah lenyap menyatu -
Membuka gudang tempat menyimpan timbangan
Menimbang diri sebelum dihisab-Nya
Siapkan pertemuanku dengan Rosululloh Muhammad
Di kaki mizan timbangan-Nya
Berikan palumu
Agar aku dapat menjadi hakim sebelum dihakimi-Nya

Boyolali, 25 Maret 2008











WASIAT
Drajat Na

Saat “ suwung” dalam isimu
Saat ” ada ” dalam tiadamu
Luka-luka sepanjang napas kan termaknai
Cinta-Nya mengeraskan jiwamu

Bila,
Setiap masalah membentur hati pualam
Kan memercik api kesadaran Illahiyah
Saat tangan-Nya merengkuh dengan Keakbaran-Nya

Hidup semestinya adalah mati dalam tiap napas dan perbuatan-
Hidup semestinya Mati dalam Allah
Agar dunia tak menjadi pemberat
Saat melewati sirotol mustaqim- katamu.

Banjarnegara, 25 Maret 2008


TENTANG CINTA
Drajat NA.

Hidup adalah cinta,
Kematian adalah hidup
Cinta adalah kematian
Dimana seluruhnya meluruh
Tak ada darah dalam otak
Hanya jiwa yang berpijar
Diantara hidup dan kematian

Cinta seperti garam dalam lautan,
Darimana asinnya?,
Sebab apa jernihnya?
Karena pasir-pasir pantai? Tidak!
Kau tak bisa bilang karena gunung, karena hujan, karena hutan. Tidak!
Air laut asin karena Tuhan yang menggaraminya

Begitupun cinta
Bukan karena rambutmu,matamu, dadamu, atau bahkan hartamu
Ia datang antara hidup dan matimu
Mewarna warni harimu
Jangan kau tanya mengapa aku mencintaimu
Aku sekedar wayang
Dalam kelir maha cinta-Nya

Madukara, 2008



















BIASA SAJA
Drajat NA.

Manyarku terbang lagi
Aku cuma melihat langit
Dengan mata setengah terpejam, menahan sakit
Setelah sepersejuta detik aku melepas senyum
Karna sakit tertoreh pisau cinta ternyata
Biasa saja akhirnya.

Manyarku terbang lagi
Aku memang tak pandai membikin sangkar
Karena menurutku sangkar adalah pembunuhan
Tanganku tak mau ternoda
Darah kebebasan biarlah mengalir

Aku tak perlu menangisi
Cericit manyarku menganyam sarang
Bergelayut di nyiur hati laki-laki lain
Sepi memang sepi
Sekuat tenaga kujaga
Agar tak sampai menuba

Aku tak menangis karena ia pergi diam-diam
Tanpa hentakan yang meruntuhkan kenangan
Dengan gesit manyarku terbang melesat
Tanpa menggores cakar di tubuhku
Manyarku katanya dalam dekapan orang
Hidup dalam sangkar bermahkotakan batu pualam

Banjarnegara, 2005


KISAH PERJALANAN
Drajat NA.

Berdiri di punggung bukit
Sepi terperangkap-nyaring dawai hati
Berdiri bentangkan tangan
Dihembus angin semilir
Berdesau menampar pucuk-pucuk pinus
Dengan lembut kutorehkan namamu
Di langit yang dapat ku sentuh
Sesaat tak dapat berucap kata
Selagi angan sibuk juga memahat gambarmu
Pada awan yang berhenti.

Watu belah Nopember 2004


KITA BUKAN RAMA DAN SINTA
Drajat NA.

Apa yang kau berikan
Membuatku semakin yakin : aku bukan Rahwana
Kau teruntuk mendampingiku
Menapaki belantara keterasingan
Kesemestian yang terbuang.

Entah mengapa aku begitu yakin
Kita berbeda dengan cerita rama dan sinta-maka
Lepaskan baju Sinta
Ku lepas baju Rahwana
dan lihatlah detak hati
seperti hendak runtuhkan tulang dada

Kita bukan rama dan sinta
Hanya manusia biasa
yang menjalani lakon dari-Nya.

Banjarnegara, 14 Februari 2008


INGINKU
Buat cinta yang tersembunyi
Drajat NA.

inginku
jangan kau biarkan diri terjerat keraguan
agar kita segera dapat menapak sampai puncak
karena kita yang tahu siapa diri kita
tanpa langkah jangan harap mencapai kesemestian

inginku
kau segera beranjak
dari ligkaran yang membingungkanmu
hingga kita damai berpeluk di puncak
memeras malam dan mendongengkan hidup kita

inginku
ketika pagi
wajah kita ceria bersama burung-burung dan embun
memunguti kasi Tuhan
di sepanjang ridlo-Nya.

Baturaden, 2006

PENANTIAN
Drajat NA.
Menanti datangmu
Nyanyian tertahan di bukit karang
Di debur ombak jerit camar tenggelam
Seperti suaramu sayup di ujung pulau harapan
Langit begitu renyah
Semburat matahari memar di parang tritis
Lewat begitu saja tenggelam di garis cakrawala
Saat aku sibuk membuat dermaga
Masih tersisa segaris
Ku coba nikmati keindahan yang memesona
Sebelum diam tafakur di pekatnya malam
Menggelar jiwa di Parang Kusumo
Parang Kusumo, 2006

























SURAT KEPADA KEKASIH
Drajat NA.

Seharian hatiku bergetar
Dengan irama sunyi
Semua kesalku tumpah
Membilur luka hatiku

Katamu : aku ingin belajar hidup denganmu
Aku laki-laki yang penuh luka cinta
Kau bunga terbiar merana-kita petik makna kasih
Sepanjang hari tak mampu melepas gambarmu
Berlinang air mata – danau sesal tercipta

Senyatanya aku selalu ingatkan
Tentang titik yang pernah kita letakan
Di cakrawala hidup yang terbentangkan.
Semua garis berawal dan berakhir pada lautan cinta-Nya
Cintaku bukan nafsu
Aku hanyalah pencari kesejatian hati
Meniti garis berbekal kemurnian cinta.

Banjarnegara, 2006























EPISODA 14
Drajat NA.

Seharian aku terpanggang rindu
Jarum jam malas berputar
Detaknya lirih mengiris dinding hatiku

Saat kita menorehkan garis harapan
Kau salah memaknai rindu
Hingga lepas jauh dari bangunan komitmen
Langkahpun terseret arus keraguan

Dengar detaku sayang
Bergetar dengan irama sunyi
Karena kau selimuti diri dengan mega-mega beku dan aku melolong duka

Cintaku padamu dinda
Semurni angin seteguh gunung tak bisa berhenti
Karma senyatanya kau begitu berarti
Membuat hidupku pijar kembali


Banjarnegara, 2006























EPISODA 15
Drajat NA.

Purnama yang kunanti dengan sepenuh harapan
Tetabuhan detak jantungku
Mengapa tak datang juga
Dewa awan dan dewi angin telah membantuku
Menunggu dipuncak rindu
Purnama tak pernah kembali
Ku temukan tetesan tangisnya di atas daun talas
Di telaga yang dijaga angsa Brahma

Ah, betapa muram wajahnya…
Ku lempar kidung setia menggosok bak pualam
Bersama angsa terbang mengecup keningmu

Oh…mengapa kau menghardikku
Terbanting aku di tumpukan kelopak rindu
Tertancap duri batang harapanku

Purnama yang kun nanti
Kenapa tak juga timbul
Dengan senyum dan wajah pualamnya

Banjarnegara, 2006





















HARMONI
Drajat NA.


Kita senyatanya selalu berbeda
Bagiku semakin indah
Karena harmoni tercipta dari warna jiwa berbeda
Bukankah laut berbeda dengan pantainya
Di batasnya orang bertamasya
Melepas penat mencuci resah

Banajrnegara, 2007


































KEABADIAN
Drajat NA.

Betapa sulitnya berkonsentrasi bila dekat denganmu
Karena aku teramat mencintaimu
Lembut nafasmu memekarkan mawar
Manja candamu terbangkan bunga ilalang

Cinta yang selalu menjadi pembicaraan
Adalah milik Yang Maha Kasih
Dimana hidup bermula untuk selamanya

Cinta adalah keabadian
Dimana batas hidup dan mati tak ada lagi
Kau wanita yang memberiku peluang
Untuk bangkit
Dan hidup selamanya

Banjarnegara, 2007



























MELODI HUJAN
Drajat NA.

Titik hujan dentingkan melodi senyap
Tercipta ribuan lagu
Not-not dalam sel darahku bangkit
Berbisik lirih senandung kangenku padamu

Ketika subuh yang keruh
Saat kau tinggalkan aku di tumpukan bunga rindu
Masih tertinggal aroma wangimu
Dalam darah dan memory otakku

Banjarnegara, 1 mei 2008
MELODI SENYAP
Drajat Na


Melodi senyap ribuan lagu
Tentang cakrawala yang kita bentangkan
Tentang titik yang kita letakan
Tentang logika dan matematika
Tentang puisi dan lukisan hati
Merentang garis menuju harapan
Ribuan lagu
Selalu tentangmu

Melodi senyap
Titik harapanku
Meleleh di genting kaca
Di atas sajadah ribuan lagu menjadi satu
Dan subuh yang keruh meluruh
Dalam bening bola matamu

Madukara, 8 Mei 2008
















TERNYATA
Drajat NA.

Nyata benar,
Senyatanya
Aku berkubang mimpi
Bahkan tentangmu
Ku kira aku telah bangun
Pun ternyata cuma mimpi

Memang teramat lugu ataupun tolol
Memaknai cinta-mereguk airmu
Ah, ternyata kaupun laut
Yang tak punya air tawar
Teramat tolol.
Kureguk airmu-bukan air tawar nyatanya
Semakin dahaga
Tubuhku dehidrasi
Tersedot
Kering
Dan menjadi abu….

Banjarnegara, 18 Feb 2008























OLEH OLEH BUAT DINDA
Drajat NA.

Ku panah bulan jelita
Sinarnya megah di atas tebing Bandungan
Terbungkus ribuan kenangan
Menampakan jelas gambar tentang kita

Cinta dan ketulusan
Mengalir begitu saja
Sungai keyakinan menjadi penuh- meluap
Tak ada lagi tepi
Tak ada lagi batas aku dan kau
Tiap saat membanjir-hanyut dalam dekap.
Tapi di pelukan kau selalu tergoncang
Katamu masih ada duri yang menancap
Membuat senyummu pudar
Bulanpun jadi tengelam.
Air sungai kita mengeruh-
Bukan karena kesangsian

Lembar-lembar hari di sayatan waktu kita
Mengaburkan titik di cakrawala
Bagaimana langkah pasti tertuju
Rumah cinta yang kita buat dalam ketersembunyian

Dari tebing harapan ku panah bulan jelita
Ku bungkus dengan mantel hujan
Oleh oleh untukmu dinda,
Biarkan bulan saja yang bicara padamu
Tentang ceritaku semalam tidur di Bandungan
Tanpamu…
Rasa hampa meraja hati.

Bandungan, 7 Agustus 2006











ELIGI MALAM
Drajat NA.

Kalau masih terjerat keraguan
Entah bagaimana menapaki kesemestian
Kita yang tau siapa diri kita
Tanpa langkah jangan harap mencapai puncak
Segeralah beranjak
Dari lingkaran yang membingungkanmu
Kita damai berpeluk
Menjemput pagi dengan rona ceria
Memunguti kasih Tuhan
Di sepanjang ridlonya.

Banajrnegara, 2008































ELIGI CINTA
Drajat NA.

1
Memandangmu
Ada pelangi dalam jiwaku
Pesonamu runtuhkan gerimis
Membias bermilyar partikel airnya – pupuskan dahagaku
Tiba-tiba semua lagu menjadi indah
Seluruh angan berbalut pelangi
Kepalaku bermahkotakan kemegahan cinta

2
Berjumpa dirimu dinda
Sekitab cerita telah tersusun
Dongeng dalam legenda kisah kasih dua manusia

3
Dekat denganmu
Lidah menjadi kaku membatu
Ribuan cerita tersekat di tenggorokan
Karena sinar matamu
Begitu kuat mendebarkan jantung
Memelodikan nada-nada indah.

4
Dalam setiap saat mencoba menggali
Sampaikah angin membawa belaianku
Adakah dinda menangkap cintaku?
Cinta tak mesti terucapkan
Biarlah mata berkata-kata
Biarlah hati diam menyelami
Aku memang harus menunggu.

Banjarnegara, 2008TEKSTUR CINTA-NYA
Drajat NA.

Ketika gunung ditegakan
Langit deraikan hujan
Angin mengawinkan bunga rumput
Lembut cinta-Nya hadirkan pelangi

Ketika Lapindo dimuntahi lumpur
Mata teteskan kepiluan
Hati membeku batu
Keras cinta-Nya dirikan penyadaran

Ketika sunyi tak bernyani
Meresap seluruh alam
Jiwa mengelana di padang tak bertepi
Saat tanganmu dalam dekapan damai cinta-Nya

Tak usah mencoba memberontak saudaraku
Ia hanya mau membimbingmu.



Banjarnegara, Maret 2009






















GENDING TERAKHIR
Drajat NA.

Telah kusam kelir oleh lampu neon
Dan batuk sang dalang yang tersedak
Niaga terlelap diatas gamelan

Anak kecil yang tertidur di bawah panggung
Merangkum mimpi jadi satria pembela kebenaran
Tapi ia tak mau bertapa seperti arjuna

Sinden masih lirih menembangkan kidung
Membangunkan dalang yang kalah oleh kantuk
Karena perutnya kenyang oleh jamuan

Wayang wayang terbang meminjam sayap burung
Menunggu sang dalang bangun
Anak kecil menggeliat merapatkan sarung

Oh, inikah saatnya mendengar
Gending terakhir yang ditabuh sang waktu.

Banjarnegara, april 2009





GERIMIS
Drajat NA.

Kita tanam gerimis
Agar esok kemarau dapat memetik hujan
Karena Matahari begitu garang
Meneteskan keringat menguapkan kesyukuran

Kita buat kolam yang lebar
Tetesan air mencipta jutaan lingkaran lembut
Tak ada gelombang bahkan riak-riak yang membuat erosi tepian kolam

Bila kita dapat menyukai gerimis
Bawalah tetesnya ke rumah cinta
Seketika tercipta lagu yang teramat syahdu

Kita menanam gerimis
Ketika hujan menampar hati kita telah akrab dengan badainya
Dan lagu sukma mengobati luka.

Banajrnegara, April 2009

























LAKI-LAKI BERISTRI BURUNG
Buat : duda sementara
Drajat NA.


Laki-laki beristri burung
Memapah hati menjaga pualam cinta
Selagi istrinya terbang melintas lautan
Tangannya setia mencoret angka-angka di kalender

Laki-laki beristri burung
Saban hari bercakap-cakap dengan kalender
Menyerahkan angkanya dicoret spidol merah
Hari demi hari

Laki-laki beristri burung
Dengan gagah menjaga pualam cintanya
Karna ia selalu menyimpan lembut istrinya
Di bening bola mata anaknya.

Suatu hari
Satu angka memberontak dicoret
Hari menjadi begitu panjang dan menyiksa
Jam dinding berdetak teramat pelan, lantas ia lari membating bulan

Ungaran, 25 Nopember 2008






















PUISI KECIL BUAT LINTANG
Drajat Na

Kau tahu siapakah bapakmu?
Ia selaksa daun kering yang telah menguapkan seluruh air tubuhnya
Makannya ia tak berwarna hijau, kuning, merah,
Ia coklat seperti warna tanah pembentuk Adam
Tanah penyedia sari patinya untuk tumbuh
Tanah tempat Nur Muhammad bersemayam

Daun kering itu kini hanyut di sungai
Membisikan kesadaran Illahiyah pada tebing kepongahan
Ilalang, batu, dan cadas-cadas
Bangunkan semangat perjuangan nilai-nilai moral
Hentikan pengail menjaring mimpi
Katanya : Hidup adalah pembuktian akan kemanusiaan
Bukan ikatan mimpi-mimpi tapi mimpilah yang membuat kita hidup.
Daun kering itu membisikan harapan
Menghardik dengan kelembutan
Pegawai praja yang menjual nuraninya

Derit rumpun bambu adalah melodi yang menemani tumbuhnya
Dalam kebersahajaan ia melakoni hidup
Dalam gelora menyala ia mencari suluh jiwanya
Berbekal keimanan yang mengendap dalam kolbunya
Memencar sifat Illahiyah dalam tutur kata dan perbuatanya
Tak ada pamrih kecuali demi ibadah semata
Katanya : Aku anak bawah pohon bambu
Pemegang wasit mendiang bapaku
Untuk tidak meninggalkan berbuat baik dan solatku
Begitu sederhanakan?
Ia seperti daun kering yang mengikuti arus air sungi hidupnya
Melantumkan wirid sepanjang perjalanannya
Zikir sepanjang nafas, tiap detik detak jantungnya adalah suara kelembutan
Menawarkan diri – menyerhakan segalanya pada Sang Hidup

Ia bapak yang mamarahi dengan tatapan matanya
Menjewer dengan kelembutan rangkai kata-katanya
Menghukum dengan diamnya

Bila telah kau baca siapa dia
Cobalah bercermin pada keteduhan wajahnya
Dan bersyukurlah pada yang Kuasa
Karena dalam dirimu mengalir darah ksatria













TUGU KOTA
Kado ulang tahun untuk Banjarnegara
Karya : Drajat NA

Nol kilometer kotaku.
Di sini langkah bermula
Menuju pisowanan agung dari empat penjuru mata angin
Alun-alun berpagar beringin tempat bergelayut kesejukan dari Lawe Pawinihan
Tempat dimana rakyat tiriskan resah gelisah
Sebelum azan berkumandang- biarkan angin turun dari ringin kembar
Lalu hantarkan doa dan permohonan

Lampu berkedip di tugu kotaku
Seperti degupan jantung para pejuang
Tiba-tiba aku terlempar pada genangan darah para pahlawan
Lalu, jiwapun sunyi memaknai
Relief yang menempel di tugu kotaku.

Malam membius, lumat oleh gelisah – jiwaku terserpih
Terseret masuk pada pusaran waktu
Ku dengar pekikan heroik pahlawan tak bernama
Tugu kota selayak teratai di tengah danau darah
Lalu, sepanjang jalan dari empat penjuru mata angin
Kuburan-kuburan tak bernisan
Beraroma wangi kesturi
Terdengar suara sunyi...sunyi...sunyi....sunyi.
Tapi bukan rintihan,

Nol kilometer kotaku
Terbaca tanda sepanjang waktu
Pada relief di tubuh tugu itu
Pesan perjuangan dari para suhada terbaca :
Perjuangan adala melepas ikat belenggu keterbelakangan dan kemiskinan
Perjuangan adalah keiklasan untuk memberi
Perjuangan adalah untuk menjadikan hidup bermakna dan melepas simpul-simpul kemandegan agar menjadi kreatif dan inovatif
Perjuangan adalah menjadikan nyata mimpi-mimpi, harapan, dan dambaan.
Perjuangan adalah mewujudkan
Sekolah gratis bukan sekedar iklan penghias televisi
Pengentasan kemiskinan jangan hanya busa-busa penguasa
Kemakmuran bukan sekedar jargon politik pemanis gincu politisi

Angin empat penjuru kota
Memberi komando aba-aba :
Tabuh genderang sekarang
Biar anak-anak berlari sepanjang pematang harap
Meniupkan terompet batang padi
Simponikan jiwa merdeka.
Biar tapak-tapak kaki menjadi perkasa
Biar yang paling depan menancapkan bendera
Di bukit utara, timur, selatan dan bukit barat negeri ini
Merah putih berkibar-lalu
Serentak anak-anak memberi hormat
Dengan kehormatannya

Relief pejuang di tugu kota berkata :
Perjuangan masa kini adalah harmonikan perbedaan
Agar sepanjang pematang harapan kita tidak berpayung angan tak sampai
Jangan biarkan mereka merentang busur di atas tebing kebodohan
Jangan biarkan mereka menggalah matahari dari atas tebing kepongahan
Lalu gagap menangkap makna kebangkitan
Jangan biarkan penjajahan atas rasa merajalela
Kemiskinan memberati langkah mereka
Pengerdilan jiwa lusuhkan sang dwiwarna
Karena harapan bisa menjadi tuba
Mengubur moralitas di puing jaman
Gambar pahlawan tertutup debu
lalu pengorbanan menjadi barang langka

Angin dari empat penjuru mata angin
memberi aba-aba :
Tabuh genderang sekarang
Kini waktunya,
Inilah saatnya
Saatnya bangkit
Seratus tujuh puluh delapan tahun sudah usia kotamu
Enam puluh empat tahun kini umur negerimu
Inilah saatnya
Mendetakan degup jiwa yang melemah
Menebus nurani yang tergadai
Memunculkan kemandirian
Membuang keminderan
Rengkuh anak-anak negeri
Beri ruang seluas langit dan buminya
Tegakkan kakinya kuatkan pijakannya
Bebaskan belenggu kemiskinan
Merdekakan jiwanya
Dan gempita Indonesia Raya satukan tekad semangat kita

Tugu kota menyimpan catatan ketulusan para suhada
Perjuangan nilai-nilai hidup
Ketegaran dan kegagahan dalam balutan keikhalan memberi arti
Kesunyian akan pamrih dan keinginan rajasa
Kebulatan tekad dan komitmen kebebasan

Angin dari empat penjuru kota
Mendesirkan teriakan senyap:
Mari kita bangun tugu-tugu dalam hati
Masing-masing merdeka menorehkan prasasti,bentuk dan warna
Relief apa yang akan kita pahatkan
Warisan sejarah
anak-anak negeri

Dalam hening khusu bertasyakur
Kita belah dada kita
Pandang dengan mata batinmu
Sejarah apa yang telah kita torehkan, relief apa yang telah kita pahatkan
Buat kado ulang tahun kota tercinta
Sumbangsih buat negeri merdeka.

Banjarnegara, 6 agustus 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar