Senin, 19 Maret 2012

TIRTA PRAWITASARI SEBAGAI INTI PENGETAHUAN SEJATI
Tugas Filsafat Ilmu
Drajat Nurangkoso

PENDAHULUAN
Wayang dalam masyarakat Jawa berfungsi sebagai tuntunan (ajaran) dan tontonan (hiburan). Wayang dapat menjadi tuntunan (ajaran) terkandung pada makna filosofi cerita yang dibawakan . Dalam cerita wayang terdapat sistem pemikiran kefilsafatan yang cukup luas dan mendalam. Ketenaran tokoh Werkudara, yang dalam mencari air hidup memperoleh wirid dalam ilmu sejati, dapat dipakai sebagai petunjuk betapa usaha ini memang telah berakar dalam kehidupan orang Jawa. (Abdullah Ciptoprawiro ; 1983 : 7) ajaran atau pitutur tidak hanya terdapat dalam cerita tuntunan dan pemikiran filsafat kehidupan masyarakat jawa juga ditemukan dalam berbagai surat suluk yang membicarakan sifat alam semesta: berada di antara tidak-ada-mutlak (hetabsolute niet-Zijn), yaitu Tuhan.

Pengetahuan tata hidup dan pencarian akan hakekat hidup dapat ditemukan dalam kedalaman inti suatu cerita misalnya dalam cerita Arjuna Wiwaha, - Arjuna yang sedang bertapa ditemui oleh Sang Siwa yang memperlihatkan dirinya dengan sifat-sifat Illahi. Di
samping itu dalam berbagai bentuk dan cara hidup orang Jawa yang disimbolkan dan dipergelarkan dalam wayang juga akan didapatkan renungan-renungan tentang hubungan antara Tuhan dan manusia, antara wujud Illahi yang selalu dilatarbelakangi oleh pengalaman ekstase kesatuan abadi dengan Tuhan (manunggaling kawulo gusti).

Begitu pula dalam cerita lain misalnya cerita( lakon) Bima suci memuat banyak perlambang dan makna simbolik dalam tiap penggalan-penggalan ceritanya. Dalam cerita Bima suci dimana Bima mencari tirta (air) prawitasari dengan segala upayanya menghadang segala rintangan. Penggalan-penggalan dramatik cerita dalam upaya menghadapi dan menyikapi halangan yang mengandung hikmah kearifan dan kebijaksanaan.
Dalam cerita Bima Suci mengandung perlambang-perlambang yang dapat dijabarkan secara filosofi menjadi pitutur dan petuah yang mengupas esensi dari cerita tersebut. Esen si dari cerita Bima Suci pada dasarnya adalah makna Tirta Perwitasari sebagai inti pengetahuan sejati kemudian sesuai dengan karakter wayang yang pragmentalis ( potongan-potongan ) maka masing-masing skuel cerita mengandung nilai-nilai filosofis yang membentuk suatu susunan kerangka utuh menjadi inti pengetahuan sejati. nilai –nilai yang ada dalam cerita Bima Suci antara laian :
a. Sebagai perlambang, pitutur dan petuah
b. Nilai filosofis perjalanan bima yang berkait dengan Makrifat
c. Nilai filosofis bima merasakan nikmat dan manfaat
d. Nilai filosofis Bima merasakan bahwa hidup dan mati tidak ada bedanya

Perlambang, pitutur, petuah dan nilai- nilai filosofis cerita Bima Suci dapat dipetik menjadi pengetahuan sejati yang dapat menjadi sarana pencapaian kearifan dan kebijaksanaan. Pertanyaannya adalah bagaimana dan dalam skuel cerita mana perlambang-perlambang dan nilai-nilai filosofis tersebut dapat diambil hikmahnya dan bagian cerita mana yang mengandung nilai-nilai filosofis kehidupan dan pencarian inti pengetahuan sejati.

II. PEMBAHASAN
A. Cerita Bima Suci Sebagai Perlambang, Pitutur, dan Petuah
Diceritakan Bima yang sudah selesai melakukan latihan fisik, latihan ragawi diutus oleh gurunya sang Resi Durna untuk mencari air perwitasari atau air kehidupan untuk mensucikan batin demi kesempurnaan hidup. Diperintahkan sang Bima untuk menuju hutan Tibaksara di gunung Reksamuka. Sang ibu yang mempunyai perasaaan yang peka terhadap keselamatan anaknya mencegahnya karena perintah itu sangat tidak masuk akal. Hutan Tibaksara adalah hutan yang sangat angker, hutan yang tak dapat ditembus, akan tetapi Bima tak dapat menolak perintah gurunya. Keteguhan niat dan tekad anaknya melunturkan rasa was-was seorang ibu berganti menjadi lantunan doa yang mengaliri setiap nafasnya.
Perjalaan dan perjuangan untuk mendapatkan air prawitasari berisikan perlambang-perlambang, kalao begitu air prawitasai itu sendiri sebenarnya adalah suatu perlambang. Dikisahkan untuk mendapatkan Tirta Prawitasari Sang Bima harus menempuh ujian fisik dan mental sangat berat, Bima harus memasuki hutan Tibaksara. Hutan Tibaksara merupakan suatu perlambang atao kiasan ketajaman cipta, adapun gunung Reksamuka bermakna pemahaman yang mendalam jadi dalam kontek ini Bima tidak hanya menajamkam ciptanya akan tetapi harus memakai pemahaman yang mendalam dalam mencari pengetahuan sejati. Sang Bima bahkan gurunya pun tidak tahu tentang hutan Tibaksara di gunung Reksamuka, dengan pemahaman yang mendalam dan tajamnya cipta sang Bima memasuki belantara kesunyian dan segala mara bahaya tak terduga. Untuk dapat mengaduk seluruh isi hutan itu Sang Bima tak akan mampu tanpa mengalahkan / membunuh raksasa Rukmana dan Rukmakala. Bima membunuh raksasa Rukmaka dan Rukmakala merupakan perlambang membunuh kemewahan dan kekayaan serta kemuliaan. Jadi untuk dapat menuntaskan penjelajahan menuju ketajaman cipta dengan pemahaman yang mendalam ( bukan taklid ) harus dapat membunuh keinginan akan kemewahan dan kekayaan serta kemuliaan karena hanya Tuhan yang mempunyai segala kemewahan dan Dialah Yang Maha Kaya serta Maha Mulia.
Setelah tidak menemukan apa-apa di hutan Tibaksara kembali gurunya menyuruh untuk mencari Tirta Prawitasari di dasar lautan. Perjalanannya menyelam ke dasar laut diartikan dengan “samodra pangaksami” pengampunan, melebur dengan segala keikhlasan . Kemudian di dasar samudra itu bertemulah Bima dengan Naga kemudian ia membunuh Naga yang mengganggu jalannya. Bima membunuh Naga merupakan simbol dari melenyapkan kejahatan dan keburukan diri.
Ditengah kebingungannya, dia menemukan mahluk serupa dirinya dalam ukuran yang lebih kecil, yang meniti ombak lautan, mendekati dirinya. Mahluk itu memperkenalkan dirinya sebagai Sang Dewa Ruci, Sang Suksma Sejatinya, dirinya yang sebenarnya. Pembicaraan antara 2 mahluk inilah yang menjadi inti cerita Tirta Prawitasari. Petuah dan pitutur terdapat dalam dialog antara wadag dengan sukma sejati. Pertemuannya dengan Sang Dewa Ruci melambangkan bertemunya Sang Wadag dengan Sang Suksma Sejati. Masuknya wadag Bima kedalam Dewa Ruci dan menerima Wahyu Sejati bisa diartikan dengan “Manunggaling Kawula-Gusti“, bersatunya jati diri manusia yang terdalam dengan Penciptanya. Kemanunggalan ini mampu menjadikan manusia untuk melihat hidupnya yang sejati.
B. Nilai Filisofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Makrifat
Dalam tasawuf, makrifat berarti mengenal langsung atau mengetahui langsung tentang Tuhan dengan sebenar-benarnya atas wahyu atau petunjuk-Nya, meliputi zat dan sifatnya. Makrifat (Jawa : laku rasa, sembah rasa) adalah perjalanan menuju manusia sempurna yang paling tinggi. Secara harfiah makrifat berarti pengetahuan atau mengetahui sesuatu dengan seyakin-yakinnya . Pencapaian tataran ini diperoleh lewat tataran tarekat, yaitu ditandai dengan mulai tersingkapnya tirai yang menutup hati yang merintangi manusia dengan Tuhannya. Setelah tirai tersingkap maka manusia akan merasakan bahwa diri manusia dan alam tidak ada, yang ada hanya Yang Ada. Dalam hal seperti ini zat Tuhan telah masuk menjadi satu pada manusia. Manusia telah merealisasikan kesatuannya dengan Yang Illahi. Keadaan ini tidak dapat diterangkan ( tan kena kinaya ngapa dan sing dirasakne hamung rasa seneng lan bungah).
Pada titik ini manusia tidak akan diombang-ambingkan oleh suka duka dunia. Ia akan berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah. Di dunia ia menjalankan kewajiban-kewajiban-Nya dengan rasa yang sangat mudah tanpa beban . Ia mampu mendengar, merasa, dan melihat apa yang tidak dapat dikerjakan oleh manusia yang masih diselubungi oleh kebendaan, syahwat, dan segala kesibukan dunia yang fana ini.
C. Nilai Filosofis Bima Merasakan Nikmat
Setelah Bima memasukan dirinya ke dalam “ aku “ nya Dewa Ruci ia merasakan nikmat yang tiada terlukiskan. Bima setelah manunggal dengan Tuhannya tidak merasakan rasa khawatir, tidak berniat makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat yang memberi berkah karena segala yang dimaksud dapat tercapai. Sinar Illahi yang melahirkan kenikmatan jasmani dan kebahagian rohani telah ada pada Bima. Dalam hal ini Bima dapat dikatakan telah berada dalam sorga.
Segala keinginan telah tercukupi sampai ia tak lagi berkeinginan, semua kelaparan telah terpuaskan hingga ia tak lagi merasa lapar. Bima telah berada di alam tak bertepi, puncak dari segala keramaian, puncak dari segala kesepian, puncak dari segala puncak suasana dan rasa adalah saat dirinya berada menyatu memasuki raga Sang Dewa Ruci. Ia telah sampai pada perjalanan yang paling tinggi merasakan kenikmatan hakiki. Cerita Tirta Prawitasari mengandung filosofi makna kenikmatan yang hakiki, nikmat yang senyata-nyatanya kenikmatan bukan nikmat buah dari tipuan duniawi.
D. Nilai Filosofis Bima Merasakan Bahwa Hidup dan Mati Tidak Ada Bedanya
Mati adalah mulih (pulang ) pada pangkal segala hidup. Mati merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil menuju kepada kebebasan yang luas, kembali kepada-Nya. Masunya sang Bima ke dalam diri Sang Dewa Ruci mengandung filosofi masuknya diri dalam alam luas tanpa batas. Dalam dialog yang terjadi ketika Bima meragukan dapatkah Dewa Ruci menampung raga Bima yang tinggi besar lalu dijawab oleh Dewa Ruci “ ….jangankan tubuhmu, sdang alam seisinya berada di dalamku….”.

Dalam kematian segala yang menutupi kesempurnaan akan lenyap. Dalam kematian raga dan nafsu yang tidak sempurna dan yang menutupi kesempurnaan akan rusak. Yang tinggal hanyalah Suksma. Hidup dan mati tidak ada bedanya karena dalam hidup di dunia hendaklah manusia dapat mengendalikan atau mematikan nafsu yang tidak baik dalam dalam kematian manusia akan kembali menjadi satu dengan Tuhannya. Menyatu dengan yang kekal. Keadaan bahwa hidup dan mati tidak ada bedanya secara filosofis melambangkan bahwa tokoh Bima telah mencapai tahap makrifat.

III. KESIMPULAN
Bima setelah mengetahui, menghayati, dan mengalami manunggal sempurna dengan Tuhannya karena mendapatkan wejangan dari Dewa Ruci, hatinya terang berbunga-bunga penuh dengan kenikmatan yang hakiki. Dewa Ruci kemudian musnah. Bima kembali kepada alam dunia semula. Ia naik ke darat kembali ke Ngamarta dengan membawa inti pengetahuan sejati.
Dalam kisah ini termuat amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan bagaimana manusia menuju Tuhannya. Konsepsi manusia disebutkan bahwa ia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Perlambang-perlambang yang berada dalam isi cerita Bima Suci berisikan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup manusia) atau bagaimana manusia dapat “ manunggaling kawula Gusti ” menyatu dengan Tuhannya.
Cerita Tirta Prawitasari/ Dewa Ruci/ Bima Sucimerupakan proses perjalanan panjang dan beliku sang Bima yang telah mencapai makrifat sebagai tataran tertinggi ilmu hidup. Kisah perjalanan batin Bima dalam menuju manusia sempurna ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa). Cerita Bima Suci merupakan inti pengetahuan sejati. Pengetahuan tertinggi adalah mengetahui siapa dirinya yang pada akhirnya akan mengetahui dan bertemu dengan Tuhannya.
Kisah Bima dalam mencari tirta prawita sari pada intinya adalah ajaran moral dalam mencari pengetahuan sejati. Dalam menuntut ilmu tugas guru hanya memberi petunjuk. Manusia tidak memiliki karena segala yang ada adalah milik-Nya. Ia wajib selalu ingat terhadap Tuhannya, awas dan waspada terhadap segala godaan nafsu yang tidak baik, sebab pada akhirnya manusia akan kembali kepada-Nya. Konsepsi Tuhan disebutkan bahwa Ia Yang Awal dan Yang Akhir, Hidup dan Yang Menghidupkan, Maha Tahu, dan Maha Besar. Ia tan kena kinaya ngapa (tidak dapat dikatakan dengan apa pun).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar