Kamis, 04 November 2010

BIAS CINTA : kumpulan naskah drama

BIAS CINTA
Karya : Drajat Nurangkoso
Pemain.
1. prajurit 1
2. prajurit 2
3. prajurit 3
4. wanita 1
5. wanita 2

Tiga orang prajurit sedang menjaga di perbatasan Alengka Diraja.
Prajurit 2 : Kau dengar senandung cinta yang berdenting lirih lalu menggelegak seperti kawah gunung? Cinta yang tadinya mengalir lembut dari Sang Maha Cinta, dentingnya seperti dawai harpa, getarnya mencubit rasa, membawa mimpi. Cinta menghias langit menjadi penuh pelangi, menggerakan angin gunung, membelai padang ilalang
Prajurit 1 : Tapi bila tidak waspada, cinta dapat membutakan mata hati
Parjurit 3 : Membutakan mata hati? Bilakah?
Prajurit 1 : Bila berselimut dengan keinginan rajasa, keinginan pada kilau dunia, didorong oleh nafsu dan pembenaran.
Prajurit 3 : Adakah cinta yang tidak berbungkus keinginan rajasa? bukankah setiap cinta pasti ada keinginan?
Prajurit 1 : Cinta yang murni, cinta yang berdasarkan hakikat cinta sesungguhnya tak pernah ada keinginan, ia akan melesat apa adanya, hanya berbunga doa dan harapan kebahagian bagi yang dicintainya.
Prajurit 2 : Yakinkah kau bila cinta adalah anugerah dari-Nya?, mengapa ada kemasgulan dalam kau bicara dan tatapan kosong tanpa ekspresi ketika kau bicara?
Prajurit 3 : Kau sedang tak ikhlas berperang, hanya sekedar capek, atau…
Prajurit 2 : Kau sedang takut menghadapi bala Sri Rama?
Prajurit 1 : Tak ada takut sedikitpun dalam hatiku. Telah aku serahkan seluruh jiwa raga untuk mengabdi pada tanah warisan leluhur ini.
Parajurit 2 : Mengapa semangatmu nampak surut pertanda hatimu masgul?
Prajurit 1 : Tidak aku pungkiri, semangatku memang surut, tapi bukan karena takut pada peperangan.
Prajurit 3 : Lalu mengapa?
Prajurit 1 : Dalam hatiku sedang terjadi peperangan besar, energiku habis terkuras
Prajurit 2 : Peperangan apa?
Parjurit 1 : Peparangan yang sesungguhnya
Prajurit 3 : Maksudmu?
Prajurit 1 : Dalam hatiku berkecamuk antara benar dan salah pada apa yang sedang aku lakukan, separuh hatiku mengatakan benar karena aku sedang bertugas, separuh hatiku lagi aku menyalahkan diri sendiri dan diberi beban pertanyaan benarkah apa yang sedang aku lakukan.
Prajurit 3 : Lho…jelas benarkan? Kita sedang berperang membela Sang Raja. Junjungan kita.
Prajurit 1 : Itulah inti peperanganku. Sebagai pewaris negeri, aku wajib membentengi tanah warisan leluhur ini dari gempuran bala Sri Rama, tapi peperangan ini bukan untuk membela tanah air ini, kita berperang membela Sang Raja, membela ego dan keakuannya.
Prajurit 2 : Ah,…mengapa kau punya pikiran seperti itu, prajurit macam apa dirimu?
Prajurit 1 : Mengapa? Ah…apa kalian tidak mendengar bisikan atma-mu, jiwa sucimu, dengan apa kalian dapat menutupinya?
Prajurit 3 : Aku prajurit, yang kudengar adalah perintah. Aku tak mau mendengar bisikan yang melemahkan jiwa.
Prajurit 2 : Benar, sejak kapan kita diperbolehkan berpikir dan mengikuti kata hati terdalam dalam berperang, kita prajurit jangan bawa hati nurani ketika sedang berperang, bekal kita adalah keyakinan dan pedang.
Prajurit 3 : Juga prinsip dalam berperang.
Prajurit 1 : Prinsip dibunuh atau membunuh, begitu maksudmu?
Prajurit 3 : Hati nurani kita bawa ke medan diplomasi, bukan di arena pertempuran, karena musuh pun tak menggunakan hati nurani.
Prajurit 2 : Kita membela tanah Alenga, kita menjalankan daulat Sang Raja, kita menjadi tameng rakyat semua, kita membela rakyat dari serbuan Bala Rama.
Prajurit 1 : Siapa yang kita bela? Rakyat?
Prajurit 3 : Ya, kita bela rakyat dari amukan Bala Rama, kita bentengi Alengka dari penjajahan Sri Rama.
Prajurit 1 : Penjajahan? Siapa yang sedang menjajah bumi kita? Siapa yang dijajah?
Prajurit 2 : Jelas Sri Rama mau menjajah Alengka.
Prajurit 1 : Tak ada yang menjajah Alengka. Yang dijajah memang ada tapi bukan rakyat bukan pula tanah Alengka….
Prajurit 2 : Ah, bahasamu membuat aku pusing
Prajurit 3 : Lantas menurutmu siapa yang dijajah?
Prajurit 1 : Yang dijajah adalah Sang Prabu Dasa Muka
Prajurit 2 : Siapa yang menjajahnya?
Prajurit 1 : Cinta, cinta salah dalam menerjemahkan telah menjajah hati dan jiwa sucinya.
Prajurit 2 : Kau sedang menyalahkan cinta?
Prajurit 1 : Cinta yang terlarang, cinta yang membias dan jauh dari sifat Sang Maha Agung
Prajurit 3 : Intinya kau menyalahkan Raja kita, pemimpin kita?
Prajurit 2 : Kamu sudah tergolong desersi
Prajurit 1 : Aku tak pernah menyalahkan Sang Prabu mencintai Sinta bila Sang Prabu tidak dipenuhi keinginan rajasa. Sebab bila cinta telah diselimuti keinginan rajasa, cinta dapat menjadi durjana dan petaka.
Prajurit 2 : Sebuah kewajaran kenapa kau salahkan?
Prajurit 1 : Kewajaran? Katamu kewajaran?
Prajurit 3 : Benar, kewajaran titah-Nya menerjemahkan percikan sifat Sang Maha Agung
Prajurit 2 : Kita tahu bila cinta adalah percikan sifat-Nya dan merupakan anugerah terindah dari-Nya. Sang Raja melakukan ini semua adalah untuk membuktikan, mengekspresikan, mengejawantahkan kehadiran cinta dalam dirinya.
Prajurit 1 : Untuk mencapai sifat-sifat-Nya memang ada sarekatnya, ada tarekatnya, ada jalan, ada cara, ada pembuktian melalui tindakan, aku tahu, tapi bukan jalan sesat dan menyesatkan sebab bila itu yang dilakukan berarti cinta telah bercampur dengan keinginan rajasa, penuh ego dan melalui pembenaran.
Prajurit 2 : Sang Prabu terpanah oleh panah asmara yang melesat dari busur Sang Kama Jaya, mengapa? Tentunya karena dalam diri Sinta telah manjing sang Dewi Asmara Kama Ratih. Salahkah bila sang prabu mewujudkan bentuk cintanya ?
Prajurit 1 : Ah, kalian semakin nglantur, itu namanya pembenaran. Benarkah Sinta ada sir kepada Sang Prabu? Bila memang ada Sang Maha Agung telah mempertautkan hatinya.
Parjurit 3 : Dalam hal ini menurutku bagaimanapun juga Sang Prabu adalah benar memperjuangkan cinta.
Parajurit 1 : Kalau tindakan Sang Prabu adalah benar, kenapa Kumbo Karno cuma tidur dan dengkurnya pertanda pulas dalam heningnya, dan kenapa juga Wibisana harus meninggalkan saudaranya ?
Prajurit 3 : Karena mereka tak setia
Prajurit 2 : Karena Wibisana pengecut dan memiliki harapan lain pada tahta kakaknya.
Prajurit 1 : Jabatan ?
Prajurit 2 : Itulah politik, realita politik di Alengka Diraja. Wibisana membantu musuh agar nantinya tahta dapat dikuasainya
Prajurit 1 : Bukan karena itu, yang jelas mereka tidak mau larut mengikuti langkah kakaknya yang sedang terasuki pembenaran cinta.
Prajurit 3 : Pembenaran cinta?
Prajurit 2 : Benarkah itu namanya pembenaran cinta? Apa salahnya dengan pembenaran? Karena kita tak pernah punya kebenaran sebab kebenaran adalah milik Sang Maha Benar.
Prajurit 1 : Pembenaran adalah sumber dari kesesatan. Kebenaran cinta adalah bila datang dari-Nya serta melalui jalan Illah yang telah digariskan pada kita.
Prajurit 2 : Kamu mengada-ada. Aku tahu kamu cuma malas lantas mencari-cari alasan.
Prajurit 3 : Apa bedanya pembenaran dan kebenaran? Bukankah sama saja aku juga jadi bingung dengan kata-katamu.
Parajurit 1 Coba kita bayangkan bila dunia ini telah penuh dengan pembenaran. Apa jadinya? Korupsi, mencuri, membunuh, memperkosa, pokoknya semua yang melenceng dari kebenaran dapat dikatakan benar. Pembenaran patokannya adalah ego dan keakuan sedang kebenaran bersumber pada kebenaran mutlak-Nya.
Prajurit 3 : Misalnya?
Prajurit 1 : Karena cintamu pada anakmu lantas anakmu meminta sesuatu yang diluar jangkauan keuanganmu, lalu atas nama cinta, atma kau tutupi dengan pembenaran maka jalan sesat akan mempengaruhi pikiranmu dan hatimu pun akan mengeras, tak peduli dengan aturan dan kau akan mulai mengambil sesuatu yang bukan menjadi hakmu. Pencuri akan mengatakan benar karena bila ia tidak mencuri maka anak istrinya akan mati kelaparan. Bisa kau pahami?
Prajurit 3 : Tapi bukankah wajar bila sang Prabu mengejawantahkan cintanya.
Prajurit 1 : Benarkah Sang Prabu berbuat demikian karena detakan cintanya ? apakah bukan hanya karena nafsu, keangkaramurkaan dirinya serta keakuan yang menutup hati nuraninya ?
Prajurit 2 : Keakuan ?
Prajurit 1 : Dalam kitab cinta tersebutkan bila cinta adalah bahagia dengan kebahagiaan yang dicintainya, cinta tidak harus memiliki, cinta biarkan mengembara menebarkan kasihnya dan cinta tak boleh berselimut pengharapan karena separuh dari pengharapan adalah ketidakikhlasan.
Prajurit 2 : Pengharapan? Apa maksudmu? Bukankah wajar bila manusia selalu dipenuhi pengharapan?
Prajurit 1 : Pengharapan yang dimaksudkan adalah pengharapan yang digelorakan oleh keinginan rajasa, penuh dengan keakuan dan jauh dari kebenaran jalan Illah. Pengharapan yang demikian akan membawa hati dalam kesengsaraan karena tak akan pernah bertemu pada kepuasan hakiki.
Parjurit 3 : Keinginan, pengharapan...aku…pusing
Prajurit 1 : Keinginan adalah salah satu penyebab kita terjerumus dalam kekufuran nikmat-Nya.
Prajurit 2 : Ah, aku juga pusing mendengar ocehanmu. Kau terlalu berbelit. Oi…jangan-jangan kamu hanya takut pada Bala Sri Rama .
Prajurit 1 : Takut? Tidak! Aku tak pernah takut pada siapapun, aku telah siapkan diri ini untuk mati. Aku telah ikhlaskan leher ini untuk ditebas pedang siapa saja yang mampu menebasnya.
Parjurit 2 : Itu namanya….
Prajurit 1 : Kau tak tahu apa yang aku maksudkan
Prajurit 2 : Kau serahkan leher berarti kau sudah bersiap-siap akan menyerah, apakah kau akan ikut Wibisana ?
Prajurit 1 : Salah, kau salah. Leher ini bukan milikku, ini titipan Tuhan maka kau wajib untuk merawat dan menjaganya sepenuh cinta, jadi tidak serta merta aku serahkan leher ini untuk ditebas pedang musuhku.
Prajurit 3 : Kau masih mencitai Rajamu?
Prajurit 1 : Kau ragukan cintaku pada Sang Raja?
Prajurit 3 : Mengapa omonganmu seperti itu?
Prajurit 1 : Karena aku mencintainya, cinta yang tak terbias, cinta yang murni.
Prajurit 3 : Cinta yang tak terbias, apa maksudmu ?
Prajurit 1 : Mencintai dengan sepenuh jiwa dan raga, bukan karena embel-embel apa saja. Makanya aku berani tidak sependapat dengan tindakannya.
Prajurit 2 : Kau tetap tidak sependapat dengan ekspresi Sang Prabu dalam mencintai Sinta?
Prajurit 1 : Yap…aku tak setuju.
Prajurit 2 : Mengapa ?
Prajurit 1 : Sang Prabu telah dirasuki keinginan rajasa, bahkan telah dibakar kesombongan dan kecongkakan. Cinta pada Sinta hanya dijadikan alasan, intinya ia hanya ingin mendongkel kewibawaan Sri Rama.
Prajurit 3 : Lho…kok semakin ngaco omonganmu. Ingat dia pemimpinmu, Rajamu, Dewa ngejawantah.
Prajurit 1 : Pemimpin yang seperti apa yang harus kita ikuti? Tidak semua. Kita harus pandai membaca
Prajurit 3 : Ah…aku sudah tidak sabar, diamlah mulutmu, kubunuh kau!
Prajurit 1 : Tidak akan diam, aku tak dapat diam, aku akan berbicara pada setiap hati.
Prajurit 2 : Kamu akan makar mendongkel kewibawaan Sang Prabu?
Prajurit 1 : Tidak aku mencintai Sang Prabu dan karena cintaku aku berani bilang kalau Sang Prabu adalah contoh sifat yang tidak perlu kita bela.
Prajurit 3 : Bangsat…!
Prajurit 1 menghilang
Prajurit 2 : E,…ini aku. Hentikan amarahmu.
Prajurit 3 : Aku sudah tidak tahan,
Prajurit 2 : Ya, aku tau dia virus pelemah semangat bertempur, tidak usah pedulikan dia, tugas kita adalah menjaga perbatasan, tak usah pedulikan ocehan mulutnya yang membuat hati kita panas.
Prajurit 3 : Kenapa kau membelanya ?
Prajurit 2 : Aku tidak membelanya
Prajurit 3 : Kau menghalangiku mengayunkan pedangku
Prajurit 2 : Karena itu tindakan tidak waras
Prajurit 3 : Kamu bilang apa (mengayunkan pedang pada prajurit 2). Kamu kan tahu betapa tiap kalimatnya menusuk hati. Kata-katanya membuat medan pertempuran hatiku menggelegak, ia jelas bukan teman kita.
Prajurit 2 : Singkirkan pedangmu, jangan main-main.
Prajurit 3 : Gara-gara kamu.
Prajurit 2 : Apa salahku
Prajurit 3 : Kau menggagalkan ayunan pedangku, ia jelas mata-mata yang bertugas melemahkan semangat kita. Atau….
Prajurit 2 : Atau apa?
Prajurit 3 : Atau dia adalah hati kita sesungguhnya, ah tidak…ini bukan mimpi dan orang tadi nyata bukan?
Prajurit 2 : Antara nyata dan tidak. Waktu kau akan mengayunkan pedangmu dia sudah tidak ada. Dia lenyap dalam seperseribu detik, saat aku berkedip. Mestinya kau berterima kasih karena aku mencegah ayunan pedangmu. Coba seandainya tadi pedangmu jadi kau ayunkan, bukankah hanya akan patah karena mneghantam batu ini?
Prajurit 3 : Ah, betapa konyolnya aku.
Prajurit 2 : Menurutmu benarkah tindakan cinta Sang Prabu ?
Prajurit 3 : Hei…kenapa kamu sekarang jadi masgul begitu ?
Prajurit 2 : Apa yang ia katakan banyak benarnya, kita sebenarnya sedang membela sesuatu yang salah.
Prajurit 3 : Prajurit hanya menjalankan perintah, jangan berpikir salah benar
Prajurit 2 : Tapi prajurit juga manusia kan? Bukan robot yang tidak punya hati nurani serta pertimbangan otak.
Prajurit 3 : Otak prajurit adalah digunakan untuk menerjemahkan perintah serta berpikir mencapai tujuan dalam setiap perintah.
Prajurit 2 : Mengapa Sang Prabu membuat hidup jadi tidak nyaman begini, apa si keistimewaan Sinta? Jangan-jangan memang benar, Sinta hanya dijadikan alasan untuk mendongkel kewibawaan Sri Rama….jadi kita tidak sedang membela cinta sesungguhnya.
Prajurit 3 : Diam….aku sedang berpikir.
Prajurit 2 : Prajurit tidak boleh berpikir
Prajurit 3 : Diam kau, aku…aku…aku…
Prajurit 2 : He…kenapa tidur?
Prajurit 3 : Ah...hari sudah malam, aku tidur dulu, nanti gantian.
Prajurit 2 : Kalau dia datang lagi kita apakan sebaiknya ?
Prajurit 3 : Suruh mendongeng biar aku bisa tidur
Prajurit 2 : Cuma itu
Prajurit 3 : Suruh menjahit mulutmu agar aku bisa tidur.

Pagi hari, suara riuh rendah peparangan prajurit Alengka melawan Bala Sri Rama.
Dua wanita pengungsi melintas bukit tempat dua prajurit sedang berjaga.
Wanita 1 : Karena cinta rakyat jadi sengsara.
Wanita 2 : Aku tidak habis pikir, mengapa cinta dapat menjadi petaka dan mengorbankan rakyat tak berdosa.
Wanita 1 : Sinta oh Sinta, mengapa tak menyerahkan cintanya saja pada Sang Raja? Kurang apa? Harta benda?
Wanita 2 : Karena ia tak mencintai Rahwana, sebab cintanya telah berpaut pada Sri Rama.
Wanita 1 : Cinta?...Bukankah mudah dibentuk dalam hati?
Wanita 2 : Tak semudah itu.
Wanita 1 : Hatinya batu? Tak ada cinta di dalamnya.
Wanita 2 : Mengapa kau menjatuhkan penilaian begitu?
Wanita 1 : Kalau dalam hatinya ada cinta, kenapa tidak berikan sedikit pengorbanan untuk orang banyak. Dengan Sinta mau mengikuti keinginan Sang Raja bukankah tidak terjadi peperangan yang memakan korban begitu banyak. Karena penolakan cintanya banyak wanita yang menjadi janda, banyak anak kehilangan bapaknya, banyak tetesan air mata dan darah.
Wanita 2 : Kenapa menyalahkan Sinta? Tidak menjamin tidak terjadi peperangan bila Sinta menerima cinta Sang Raja, bukankah ia telah ada yang punya dan dengan cinta sang empunya pasti akan mempertaruhkan segalanya. Sri Rama pasti kan datang juga menjemputnya.
Wanita 1 : Bisa juga tidak, sebab Rama adalah titisan Dewa dia tak akan memaksakan cinta, bila Sinta memberikan kabar bila ia telah bahagia bersama Rahwana tentunay Rama akan ikut bahagia dan membiarkan istrinya hidup dengan Dasamuka. Petaka ini datang karena laporan Hanoman tentang ketidak bahagiaan Sinta dalam sangkar Sang Raja. Jadi menurutku Sinta Egois.
Wanita 2 : Egois? Menurutmu ia egois? Tidak ia hanya menjaga kesemestiannya sebagai wanita.
Wanita 1 : Ah,…kesemestian cinta?
Wanita 2 : Dengan dalih apapun ia tetap akan menolak cinta biar emas intan berlian ditaburkn dalam taman karena dalam hatinya tidak ada detakan cinta pada Sang Raja
Wanita 1 : Bila kamu dalam posisi Sinta?
Wanita 2 : Aku pun tidak sudi, karena cinta bukan permainan. Cinta akan mengurut sinar yang dipancarkan oleh Sang Maha Cinta.
Wanita 1 : Tapi laki-laki itu kaya raya, pangkat dan derajat, harta benda serat segala kilau dunia ia punya
Wanita 2 : Hidup sudah ada yang mengatur, apakah kebahagiaan dapat diukur dengan harta benda, pangkat dan derajat?
Wanita 1 : Bukankah kita hanya membutuhkan kelembutan dan kecukupan? Apa artinya berkubang cinta tapi kita sengsara?
Wanita 2 : Sengsara karena tidak brkecukupan? Oh…kamu salah, bila cinta ada tak pernah ada sengsara. Kamu masih terlalu muda untuk memahaminya.
Wanita 1 : Andai aku jadi Sinta, tak akan aku sia-siakan kesempatan ini, hidup dengan laki-laki yang dimabuk cinta semua permintaanku pasti akan ia kabulkan. Aku melihat ada kelembutan dari sisi kekasranya, oih…betapa romantisnya.
Wanita 2 : Kelembutan? Kamu sudah gila dalam berkhayal, ia begitu kasar dan tak ada sedikitpun cinta dalam hatinya, bukan karena cinta ia menculik Sinta tapi keangkaramurkaan, kesombongan dan keangkuhan
Wanita 1 : Aih…kenapa kamu?
Wanita 2 : Sebagai sesama wanita aku ikut merasakan kesengsaraannya, hidup dalam penjara cinta, hidup dalam bayang-bayang ketakutan.
Wanita 1 : Senyatanya tidak begitu.
Wanita 2 : Senyatanya?
Wanita 1 : Ya…coba kalau Sang Raja hanya ingin menguasai Sinta semata, begitu mudahnya, Sinta sudah berada dalam genggamannya, kalau cinta Sang Raja hanya karena kecantikan Sinta dan didasari nafsu belaka, betapa mudahnya ia memperkosa Sinta. Cinta Sang Raja pada Sinta adalah cinta yang murni dan suci.
Wanita 2 : Murni dan suci? Dimana kemurniannya? Bagaimana laku Candala kau anggap suci?
Wanita 1 : Ia tidak hanya ingin mendapatkan tubuh Sinta, ia tak mau Sinta menerima cintanya tanpa hati dan rasanya.
Wanita 2 : Dengan memaksa?
Wanita 1 : Sinta…Sinta, egois dan congkak. Kecantikannya telah menjadi petaka bagi Alengka.

Prajurit 2 bangun, membangunkan prajurit 3
Prajurit 2 : He…bangun!
Prajutit 3 : Auh…(tidur lagi)
Prajurit 2 : Bangun…ayo cepat bangun…tuh ada wanita
Prajurit 3 : Wanita…mana wanita…
Prajurit 2 : Hari sudah siang, dengarkah kamu dentingan suara pedang beradu?
Prajurit 3 : Ah, persetan dengan perang, aku sudah rindu belaian wanita
Prajurit 2 : Hei…kita sedang bertugas!
Prajurit 3 : Alah,siapa yang melihatnya!
Parjurit 2 : Hati…hati kita.
Prajurit 3 : Apa kita harus kesana? Bukankah tugas kita mengintai musuh dari sini dan melaporkannya.
Pajurit 2 : Di sini kan jelas sudah aman, mungkin kelompok yang di sana membutuhkan tenaga kita.
Prajurit 3 : Dalam bertugas kita harus mengikuti perintah, kita harus taat pada perintah, bukan mengembangkan pikiran kita
Prajurit 2 : Tapi di sini kan aman
Prajurit 3 : Ada apa sebenarnya dirimu, begitu takut pada wanita?
Prajurit 2 : Ah, siapa bilang aku takut sama wanita. Aku hanya tidak mau terganggu wanita sebab wanita dapat membuat kita jadi kurang waspada.
Prajurit 3 : Ha…ha…ha… kamu terlalu trauma dengan wanita. Memang wanita dapat merubah laki-laki menjadi apa saja. Karena wanita laki-laki dapat menjadi perkasa, bisa jadi licik, brutal, lembut, buta, mencuri, bisa apa saja.
Wanita 2 : Seperti Sang Prabu Dasamuka
Prajurit 3 : Hai…ia angkat bicara, siapa dirimu manis?
Wanita 2 : Aku dan temanku berasal dari sebelah bukit sana, kau dengar dentingan pedang beradu? Di sanalah desaku.
Prajurit 2 : Bala Sri Rama sudah sampai di sana?
Wanita 1 : Ribuan pasukan kera mengamuk memporak porandakn desa-desa yang dilaluinya
Prajurit 2 : Sudah sampai di mana?
Wanita 2 : Mereka mengambil jalan utara untuk menuju kutha raja, makanya kami melintas lewat jalan ini.
Prajurit 3 : Hendak kemana kalian berdua?
Wanita 1 : Kami mau mengungsi, serombongan saudara kami tadi malam sudah melintas tapi karena aku lelah maka aku tertinggal. Desa kami sudah hancur lebur, kami akan tingal sementar di tempat saudara.
Wanita 2 : Karena cinta, Sang Raja menjadi buta dan tuli.
Prajurit 2 : He… siapa dirimu? Beraninya menjelekan Sang Prabu!
Wanita 2 : Aku rakyat Alengka yang telah ia buat sengsara karena ego dan keakuannya.
Prajurit 2 : Apakah kamu tidak takut kami laporkan pada Sang Raja?
Wanita 2 : Apa yang mesti aku takutkan? Hidup sudah kepalang begini sengsara. Tak ada yang dapat membuatku takut.
Prajurit 2 : Ah, benar-benar sinting kamu!
Wanita 2 : Raja kita yang sinting!
Prajurit 2 : Kurang ajar! Kubunuh kau!
Prajurit 3 : Hup…tahan dulu, kenapa kau emosional sekali dengan wanita?
Prajurit 2 : Kau dengar sendiri, dia menghina Raja kita.
Prajurit 3 : Alah…Pakailah kemaklumanmu, semalam ia kecapekan karena berjalan mengungsi, makanya omongannya jadi begitu
Prajurit 2 : Kau lemah…Sudah aku bilang wanita dapat membuatmu lemah.
Prajurit 3 : Salah, kamu salah. Ini bukan kelemahan, tapi kemakluman. Saya maklum karena secara psikologis ia sakit, desanya hancur, sanak saudaranya tercerai berai.
Prajurit 2 : Bahasanya melemahkan jiwaku, aku mulai merasakan pertentangan dalam hatiku, aku menjadi prajurit yang tak kuat
Prajurit 3 : Ia…(menunjuk ke wanita tetapi ia terkejut karena dua wanita itu telah lenyap dari tempatnya) Lho…kemana meraka?
Prajurit 2 : Aku juga tidak tahu kemana perginya, lenyap begitu saja dalam seperseribu detik. Aku berkedip tahu-tahu sudah tidak ada lagi.

Datang prajurit 1
Prajurit 3 : Lha ini yang tadi malam menghilang, kan?
Prajurit 1 : Menghilang bagaimana, aku baru sampe di sini.
Prajurit 3 : Lho tadi malam kamu kan yang akan kucincang
Prajurit 2 : Ya, kamu semalam membuat kami emosi terus dia lepas kendali akan membacokmu, tapi dalam sekejap kau menghilang.
Prajurit 1 : Ah, semalam aku berada di desa sebelah sana menahan gerak prajurit kera. Sekarang aku ke sini membawa perintah dari komandan agar kalian segera bergabung dengan pasukan di jalur utara.
Prajurit 2 : Aneh…tapi wajah dan semuanya mirip sekali dengan dirimu
Prajurit 3 : Apa benar dia adalah rasa terdalamku.
Prajurit 1 : Rasa terdalam bagaimana?
Prajurit 3 : Ia mengatakan yang sebenarnya, ia mewakili perasaan kananku yang menolak berperang berkorban membela Sang Raja yang telah bertindak budi candela
Prajurit 2 : Hah…kamu, kenapa berani mengucapkan itu, mencintai kebenaran tidak harus diucapkan.
Prajurit 1 : Apakah artinya kamu akan desersi, meninggalkan Alengka

Prajurit 3 naik batu
Prajurit 3 : Hai dengarkan tanah Alengka, aku prajurit Alengka Diraja belapati demi tanah warisan leluhur ini. Hai Bala Rama…aku ujudkan sebentuk cintaku pada negeriku, majulah lawan aku…bukan aku membela Sang Raja, tapi kuserahkan semua jiwa dan raga demi bumi tercinta…majulah Bala Rama…majulah, jangan sentuh rakyat Alengka yang tak berdosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar