Minggu, 14 November 2010

kumpulan naskah drama

LAPIS
Karya : Kang Drajat

Pemain :

1. Marsih
2. Tirah
3. Sadikun
4. Badrun
5. Madimran

Lampu temaram perlahan terang, tiga orang duduk diatas tikar. Susana berkabung menjelang isa menunggu tahlilan. Marsih istri yang baru ditinggalkan suaminya nampak masih belum yakin pada kematian suaminya.

Marsih : Kematian adalah tidur panjang?
Tirah : Ya…panjang sekali sampai terompet Malaikat membangunkannya
Sadikun : Kematian adalah pulang, mulih marang mulo mula bukane, kematian adalah pulang menuju kesejatian. Kematian adalah mula keabadian.
Marsih : Kematian adalah mula keabadian? Bukankah mati berarti tidak abadi?
Sadikun : Ya…mula keabadian, suamimu menuju hidup yang abadi, hidup yang sesungguhnya.

Tirah berdiri mendekati Marsih, merangkul sambil mem
beri penghiburan

Tirah : Mulane mbak yu, sudah, jangan menangisi kematian kang Tarjo, karena kematian adalah keniscayaan. Semua orang pasti akan mati.
Sadikun : Kematian menjadi sesuatu yang dirindukan sekaligus ditakutkan.
Marsih : Siapa yang merindukan kematian? Mengapa kematian dirindukan?
Sadikun menarik napas panjang sambil berdiri memandang pintu

Sadikun : Manusia yang tau akan hakekat hidup pasti merindukan kematian.
Marsih : Mengapa?
Sadikun : Manusia yang sudah tahu sangkanparaning dumadi akan merindukan kematian, karena hanya dengan kematianlah ia akan dapat pulang menuju mulo mula niro. Pulang menuju pangkal segala hidup.
Tirah : Lalu mengapa manusia takut dengan kematian, artinya kematian menjadi sesuatu yang menakutkan?
Sadikun : Manusia diberi percikan sifat Tuhan yang Maha Hidup, tapi sering lupa bahwa ia hanya percikan-Nya saja. Dengan kesadaran akan kefanaannya manusia melawan kematian. Manusia takut mati karena terlau mencintai hidup yang bukan haknya.
Marsih : Bukan hak kita?, bukankah hidup Tuhan yang memberi?

Sadikun berjalan menuju tengah panggung. Lampu spot mengarah pada Sadikun

Sadikun : Benar, Tuhan memercikan sifat Maha Hidup-Nya pada kita lalu bila titiwancinya telah tiba maka kita harus mengikhlaskannya.
Tirah : Manusia takut mati karena bekal belum siap, karena masih merasa belum membawa bekal yang cukup, atau karena belum menemukan hakekat hidup, begitukah?
Sadikun : Hanya Tuhan yang tahu, kita tak boleh menilai orang lain, nilailah diri sendiri.

Lampu temaram, Marsih masih bersimpuh

Marsih : Oh, maut mengapa kau pisahkan aku dengan suamiku?
Tirah : Mbak yu sudahlah, jangan beratkan langkah Kang Tarjo pulang menuju pelukan sang Maha Sunyi dengan air matamu.

Lampu panggung terang, Badrun masuk dari sisi dalam mendekati Marsih.

Badrun : Iya Nduk, jangan tangismu menjadi Lumpur yang menyusahkan langkah kaki suamimu.
Marsih : Oh, kenapa maut tega memisahkan aku dengan suamiku?
Badrun : Itu karena Gusti Allah mencintaimu dan suamimu, Ia mencintai dengan Kemaha Cintaan-Nya. Istirahatlah, jangan nanti anakmu yang di dalam perut ikut terguncang.
Marsih : Mengapa aku tidak dapat merasakan cinta-Nya
Sadikun : Itu karena kebodohan kita.
Marsih : Cinta, dimana cinta-Nya? Tiap hari kita hanya dipermaiankan keadaan dan selalu dirundung kesedihan.
Sadikun : Kamu salah memahami permainan, Tuhan tidak pernah bermain-main, kitalah yang selalu bermain-main.
Marsih : Bermain-main?
Sadikun : Kita bermain-main dengan cinta yang agung, anugerah dari sang Maha Cinta?
Marsih : Apakah aku salah dalam mencintai suamiku?
Sadikun : Kita kadang terlalu berlebih dalam mencintai hingga melupakan sang pemilik cinta sejati.
Tirah : Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kita harus ikhlas bila benar kita mencintai.

Badrun berdiri mendekati Marsih

Badrun : Benar nduk apa yang dikatakan adikmu.
Marsih : Mengapa, mengapa Tuhan tidak welas asih padaku?
Badrun : Anakku, kamu tidak boleh bilang begitu, ora ilok. Kita tidak boleh su`udzon pada Tuhan.
Marsih : Ini kenyataan bukan?

Sadikun menarik nafas panjang, menyalakan rokok.

Sadikun : Bukan. Itu adalah pengetahuan kita yang teramat dangkal dan kadang emosional

Marsih berdiri mengahadap penonton, lampu spot mengarah ke Marsih

Marsih : Dangkal dan emosional?, di mana Kemaha Cintaan Tuhan? Mengapa aku ditinggal dalam keadaan begini?

Sadikun berdiri lalu menatap Marsih

Sadikun : Oh, manusia…sungguh pengetahuan kita sangat memprihatinkan. Tuhan adalah Dzat kang tan kena kinaya ngapa. Jangan Tuhan kau bentuk dengan perumpamaan sesuai apa yang ada di sel otak kita. Tuhan itu dekat bahkan lebih dekat dari nadimu. Tuhan menyentuh tak tersentuh, hanya manusia berpengetahuanlah yang dapat merasakan sentuhan kasih-Nya. Gusti Allah itu adoh tanpa wangenan cedak tanpa senggolan

Marsih berjalan menuju Sadikun

Marsih : Tapi aku merasakan betapa sakitnya cinta terputus oleh kematian seperti ini.
Sadikun : Kita tidak boleh menjadi manusia pengeluh. Tuhan selalu punya rencana yang kita tidak tahu. Lebih baik cinta dipisah oleh maut, cuma dipisah, cinta tidak hilang tidak juga mati.
Badrun : Kematian hanya memisahkan tubuh. Selama kita menjaga baranya, cinta tetap akan menghangatkan dan mendetakan rasa syukur kita pada-Nya.
Tirah : Mbakyu masih lebih beruntung, cintanya tidak dirajam penghianatan.
Badrun : Aku tau betapa kau mencintai suamimu tapi sudahlah semua milik Gusti Allah, kasihan anakmu yang ada dalam perutmu, kalau kamu terus larut dalam kesedihan nanti anakmu menjadi pemurung.
Sadikun : Kita tidak boleh bersedih terus, ingat kata-kata Kyai Dulsopar bahwa manusia yang dicintai-Nya salah satunya adalah orang yang tidak sedih. Gembira tandanya bersyukur.

Tirah berdiri menghampiri Marsih lalu merangkulnya

Tirah : Mbakyu yang mengajari aku untuk menjadi pecinta sejati, mbakyu masih ingatkan?
Sadikun : Seorang pecinta harus tau hakekat cinta.
Tirah : Mbakyu bilang cinta adalah bahagia melihat orang yang kita cintai
Badrun : Tadi, sebelum dibungkus kafan, bukankah kamu melihat suamimu begitu tenang, segaris senyum masih tersisa di wajahnya yang sepi, suamimu begitu damai, pertanda ia bahagia ketika sang Malikat maut menjemputnya.
Sadikun : Makanya jangan kamu tangisi kebahagiannya. Masuklah kekamar sana, sandekala sudah lewat.
Marsih dan Tirah beriring masuk ke dalam, lampu redup, suasana hening sejenak. Suara ketukan keras pintu memacah suasana., lampu terang datar. Madimran masuk panggung

Madimran : Kula nuwun….
Badrun : Mangga, silahkan masuk.
Madimran : Dimana pak Gober, aku mencari pak Gober yang terhormat!! Tapi koruptor rakus

Badrun terperangah, spontan berdiri dari duduknya.

Badrun : Kamu manusia apa belis? manusia ketempelan apa kamu hah…!tidak tau tata krama, sopanlah sedikit.
Madimran : Persetan dengan sopan santun lamisan seperti Gober…aku sudah muak…kedatanganku mencari Gober!!!!
Badrun : Apa telingamu sudah tuli?, apa matamu suda buta? Kamu sudah tuli dan buta!!!!
Madimran : Aku mencari Gober………………

Sadikun berdiri mendekati Madimran

Sadikun : Anak muda, Parjo sudah pulang, kami baru mengantarkan dalam damai pelukan bumi, sopanlah sedikit, kami manusia, bukankah kamu juga manusia?

Badrun sangat emosional, mendekati Madimran sambil mencengkream krah baju Madimran

Badrun : Kalau tidak bisa diam tak cincang tubuhmu.

Sadikun menarik Badrun yang akan membanting Madimran

Sadikun : Sabar, sabar, kita memang harus bersabar. Biar aku yang menanyainya. Ada apa anak muda? Kendalikan amarahmu, janga biarkan emosi membungkus nuranimu, rendahkan roh rahwani yang sedang menggelorakan darah hatimu.
Madimran : Aku datang mencari Gober tidak berurusan atau bermusuhan dengan kalian.
Badrun : Mau apa sebenarnya dirimu (berang mau memukul)
Sadikun : Sabar Drun, biar aku yang mengurusi.
Madimran : Aku mau menuntut hakku
Sadikun : Apa yang kamu tuntutkan, ia sudah meninggal,sudah pulang pada titi wancinya. Ia sudah tidak dapat dituntut-tuntut lagi.
Madimran : Apa? Enak saja. Diktum di undang-undang mana yang berbicara demikian?

Badrun maju selangkah mau mendekati Madimran tetapi dicegah oleh Sadikun

Badrun : Dasar ngeyelan…goblok…ngodor…
Sadikun : Drun, kamu diam saja jangan terpancing emosi. Aku tau kalian sedang sedih karena kehilangan jadi gampang emosi.
Badrun : Beri aku kesempatan untuk menjelaskan pada manusia goblok ini.
Sadikun : Ya, tapi jangan pakai emosi.
Badrun : He anak muda, bukankah tiap hari kamu nonton televise,baca koran, dengerkan radio. Lihat para koruptor atau orang yang diduga korupsi, baru sakit, belum mati, ia sudah tidak dapat dituntut lagi.
Madimran : Enak benar, apakah itu berarti bahwa orang yang mati berarti telah lepas dari tuntutan?
Sadikun : Kematian melepas dari segala hukuman dan peraturan, semuanya, termasuk hukum yang Tuhan ikatkan.
Madimran : Persetan, aku tetap akan menuntut hakku pada Gober biarpun dia telah mati, tolong tunjukan sekarang juga dan ijinkan aku membongkar kuburnya.
Sadikun : Kalau boleh tau, apa yang kamu tuntutkan sampai kamu kehilangan derajat kemanusiaanmu?
Madimran : Aku mau mengambil lapis yang telah ia rampas. Lapis yang sebetulnya adalah hakku.
Badrun : Hah…Cuma lapis…..
Madimran : Kenapa? Kenapa sampean bilang “hah” seperti meremehkan? Jangan sepelekan hal yang kecil, kita memang suka meremehkan hal yang dianggap kecil dan sepele. Kita memang suka keliru dalam bersikap dan berprinsip
Sadikun : Prinsip?
Madimran : Ya…makanya jangan salahkan bila negeri ini tumbuh menjamur koruptor karena kita gampang maklum pada kesalahan dan pencurian kecil. Nyolong kecil-kecilan, bohong keci-kecilan lalu dimaklumkan dengan pembenaran. Kita terlalu permisif.
Badrun : Baiklah kalau begitu, menantuku telah mengambil kue lapismu, aku yang akan menggantinya, tapi diamlah mulutmu. Dasar orang aneh…Cuma lapis, berapa harga lapis?
Madimran : Aku menuntut hakku pada Gober bukan menuntutmu. Dan aku sedang memberi pengajaran pada kalian semua agar tidak meremehkan hal kecil.
Sadikun : Tapi tindakanmu menuntut yang demikaian tidak umum dan sangat tidak manusiawi, terlalu ekstrim dan mengada-ada.
Madimran : Aku menuntut hakku. Gober telah merampas rizkiku, kue lapis tak ada dalam dus snak kenduriku.
Badrun : Kalau begitu itu namanya bukan rejekimu
Madimran : Aku tidak mau berdebat tentang pengertian rizki-Nya. Mana kuburan Gober? Ijinkan aku membongkarnya.
Sadikun : Anak muda, dia sudah pulang dalam pelukan Sang Maha Hidup, janganlah kau usik damainya.
Madimran : Yang pulang adalah arwahnya. Jasadnya masih ada kan? Aku ingin membongkarnya sebelum ia jadi tulang belulang
Sadikun : Anak muda, dengar denting nuranimu, benarkah yang sedang menuntut adalah kebenaran hati nurani? Jangan-jangan Cuma kesombongan dan keserakahan egomu
Madimran : Gober yang serakah, ia curi kue lapisku !
Badrun : Bagaimana kamu bisa menuduh kalau menantuku yang mengambinya?
Madimran : Ini logika dan faktanya. Ketika kenduri duduk di sebelahku adalah Gober setelah selesai do`a dus-dus snak dibagikan dengan cara seperti biasanya. Estafet. Nah pada waktu itu duduk sebelum aku adalah Gober.
Badrun : Lho, itu berarti baru dugaanmu, mana buktinya? Ingat hukum membutuhkan bukti.
Madimran : Oleh karena itu aku akan bongkar kuburannya dan bedel isi perutnya.
Sadikun : Ah, kamu kasar sekali, bicaralah yang santun. Bukankah bedel adalah untuk hewan? Sedang untuk manusia adalah otopsi
Madimran : Aku tak suka kata-kata manis.
Sadikun : Baiklah, ku akan mengijinkanmu membongkar kubur saudaraku. Tapi seandainya setelah otopsi ternyata di perutnya tidak ada kue lapismu, terus kamu mau apa?
Madimran : Aku akan berhenti bila sudah membongkar isi perutnya, aku akan minta maaf dan mendoakannya masuk sorga
Badrun : Seandainya diperutnya ternyata ada kue lapismu?
Madimran : Aku akan maafkan gober dan mendoakannya masuk sorga
Badrun : Kalau begitu apa sebenarnya yang kamu cari?,kalau begitu kenapa tidak kau maafkan saja menantuku, dan kamu doakan semoga ia di tempatkan dalam sorga-Nya?
Madimran : Yang aku cari adalah ketenagan hati dan fikiran dimana aku telah lepas dari beban menuduh
Badrun emosi sambil berteriak mau meninju Madimran.
Badrun : Bangsat, lama-lama aku tidak bisa tahan dengan emosiku

Mendengar ribut-ribut marsih dan tirah keluar dari dalam kamar

Marsih : Sudah…hentikan….ingat pak…jangan dilayani…akulah pengganti suamiku, jangan usik suamiku yang sudah tenang dalam pelukan Sang Maha Sunyi.
Madimran : Kamu istri Gober ?
Marsih : Bukan Gober, ia punya nama yang indah yang bapak mertuaku berikan….akulah istri kang Tarjo.
Tirah : Ya…dia istri almarhum. Air mata belum kering tega-teganya kau membuat suasana perkabungan menjadi runyam.
Madimran : Aku minta ijin untuk membongkar kuburnya
Tirah : Apa? Dasar tidak waras, sinting, kenthir….
Madimran Katakan hai istri Gober, apa yang dapat menghentikanku? Menghentikan keinginanku memburai perut buncit suamimu. Jangan harap air mata dapat membendung keinginanku.
Marsih : Katamu fakta, dan aku akan membeberkan faktanya.
Madimran : Benar… fakta baru akan menimbulkan penilaian baru. Jika ternyata di perutnya tak aku jumpai kue lapis berarti ada penilaian baru pada suamimu.
Marsih : Tak usah kau repot-repot membongkar kubur suamiku, memang kue lapis milikmu telah diambilnya. Tak disangka kalau sepotong kue lapis akan menjadi sesuatu yang sangat memalukan.
Madimran : Ha…ha…ha…ha…jangan membohongi aku, aku sudah biasa dibohongi wanita….

Tirah berjalan mendekati Madimran dengan nada geram

Tirah : Kenapa kamu seperti itu, dia sudah bersaksi bila Kang Parjo memang telah mengambil kue lapis milikmu.
Madimran : Itu adalah pengakuan untuk melindungi mayat suaminya agar terlepas dari keinginanku memburai perutnya.

Marsih mendekati Madimran

Marsih : Dengan apa kamu bisa percaya?
Madimran : Bukti. Bukti yang kuat dan meyakinkan. Makanya aku ingin membedel perutnya agar aku mendapatkan bukti.

Badrun bangkit dari duduknya lalu berdiri memandang Madimran

Badrun : Kurang ajar...
Sadikun : Kamu manusia ketempelan demit mana? Makanya pesan orang tua dulu diperhatikan, jangan suka keluar ketika sandekala
Tirah : Kang Madimran, istiqfar, sejak tadi kamu benar-benar seperti orang ketempelan.
Madimran : Aku tidak ketempelan, aku normal, aku wajar. Kenapa sekarang sesuatu yang normal malah dianggap tidak normal?
Sadikun : Drun, cepat segera panggil Kyaine sebelum tetangga pada datang untuk tahlilan, nanti kita dapat malu kalau terus-terusan begini.
Badrun : Apa aku glandang saja bocah koplo ini?
Sadiun : Jangan, nanti malah jadi rame. Apa mulutnya bau alkohol?
Madimran : Mana kuburan Gober! Tunjukan segera!
Marsih : Kamu tetap tidak percaya pengakuan yang telah aku katakan?
Madimran : Bukti…aku perlu bukti...!
Marsih : Baiklah.(marsih masuk ke dalam mengambil dus snak)
Ini buktinya. Kue lapis dalam besek suamiku telah aku makan dan ini separoh kue lapis yang katanya ia ambil dari dalam besekmu. Tinggal separoh. Kamu tau dengan apa Tuhan menjemput suamiku?, dengan separo kue lapis yang ia ambil dari dalam besekmu. Sebelum memakannya ia bilang kalau ini adalah milikmu tapi entah kenapa ia ingin sekali mengambilnya. Sudah aku sarankan untuk mengembalikan padamu, tapi suamiku tidak mengindahkannya dan bilang “ ah cuma lapis, Dimran juga tidak suka kok, besok aku juga akan bilang biar halal jadinya” rupanya sudah takdir Sang Maha Hidup, baru ia makan separo kue itu, suamiku tersedak dan kue itu menjadi penyebab kematiannya….aku masih ingat bagaimana ia mengejang…sekarang bagaimana? Sudahkah kau percaya? Apakah masih tidak kau ikhlaskan kue lapismu?
Madimran : Ya Allah Gusti….ampunilah aku…..

Madimran terkulai lemas jatuh kelantai.lampu lambat laun meredup, panggung kosong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar