Sabtu, 19 Januari 2013

PENDIDIKAN

FREEDOM WRITERS
Kreatifitas guru dalam pengelolaan kelas
Film Freedom Writers merupakan film pendidikan yang sangat inspiratif, menggambarkan bagaimana seorang guru yang terkendala dalam penyampaian materi ajarnya berusaha keluar dari permasalahan dalam pengelolaan kelas yang sangat tidak kondusif untuk suasana belajar mengajar yang ia lakukan. Film yang didasarkan atas kisah nyata kehidupan seorang guru di Long Beach, California, Erin Gruwell. Erin berprofesi sebagai guru bahasa Inggris. Kondisi psikologis dan sosial siwa yang hidup dalam suasana isu rasisme dan kekerasan di Amerika begitu hegemonik. Hal ini membuat suasana kelas menjadi semrawud, siswa-siswanya tidak konsentrasi dalam belajar dan tidak ada motivasi dalam belajar, mereka cenderung sibuk dengan dunianya sendiri dan terkungkung dengan permasalahan hidup dalam kekerasan lingkungannya bahkan sampai terbawa ke dalam lingkungan belajarnya.
Sebuah adagium tentang metodologi pendidikan yang menyatakan : “Metodologi lebih penting dibandingkan materi pengajaran, tetapi sosok guru yang kompeten lebih baik daripada metodologi yang sempurna” merupakan adagium yang tepat bila dikaitkan dengan isi dan spirit film FreedomWriters. Didasari oleh isu rasisme dan kekerasan yang menjadi latar psikologis para siswanya, kekerasan serta rasisme yang begitu hegemonik ini menciptakan kecurigaan dan sekat-sekat sosial (segregasi) dalam kehidupan disekolah tersebut. pemisahan atau pengkotakan yang dipicu oleh isu rasisme menjadi tantangan bagi sang guru bahasa Inggris ( Erin Grunwell). Ia berusaha mencari solusi bagi “penyembuhan” dari ketidak normalan psikologis dalam proses belajar mengajarnya.
Melalui surve awal sang guru menemui kenyataan bila sebagian besar siswanya bukan saja hanya menjadi obyek bahkan menjadi subyek kekerasan, hal ini menyebabkan para siswa telah mengalami disorientasi hidup, kehilangan arah dan cita-cita, visinya tidak jelas, bahkan yang paling parah adalah para siswa menjadi apatis terhadap hidupnya sendiri. Berpijak pada kompetensi yang ia miliki sebagai seorang guru untuk menjadi motivator, sang guru dengan tekad dan semangat mengembalikan dunia siswanya, mengurut jalan kembali menuju visi hidup siswanya, dan menapakjelaskan titik cita-cita para siswanya, ia memasuki dan menyelami latar belakang kehidupan para siswanya. Dengan kompetensi pedagogik yang ia miliki sang guru mendekati dan memasuki dunia siswanya melalui pemecahan permasalahan sesuai yang diungkapkan para siswanya dibuku hariannya.
Melalui analisisnya sang guru menentukan satu langkah eksperimentasi dalam pendekatan dan pengungkapan permasalahan yang melatarbelakangi kemunculan sekat sosial serta kecurigaan antar siswa sehingga tidak terjadi “in group” dalam kelompok belajar dikelas tersebut. ia memulai dengan merubah sekat pada dirinya dengan siswanya, selanjutnya mencari model pembelajaran dan metoda serta tehnik yang tepat dalam proses pembelajarannya dengan harapan segregasi sosial mulai dapat diurai. Dengan kompetensi yang ia miliki sebagai seorang guru ia membuat teknik “pembukaan sekat” dengan memberi kebebasan menuliskan segala ketertekanan, maupun semua yang siswa ingin tuliskan pada buku harian yang wajib ditulis oleh para siswanya.
Melalui buku harian yang wajib ditulisi itu ia dapat mengungkapkan masalah-masalah yang dihadapi oleh siswanya tentunya ia tidak gegabah dengan membaca buku harian siswanya semau sendiri, ia membuat aturan yang jelas dan tegas bila ada sesuatu yang boleh dibacanya maka buku harian siswa tersebut diletakan di lemari kelas, aturan ini juga menciptakan rasa saling percaya dan menghilangkan kecurigaan. Dengan informasi dari buku harian yang ditulis siwanya sang guru mencoba mendekati siswanya. Kebebasan menulis yang ia terapkan lambat laun menjadi proyek kebersamaan, sekat yang disebabkan oleh hegemoni isu rasisme dapat dilenyapkan.
Pada film tersebut juga digambarkan bagaimana merubah sesuatu memang tidak semudah membalikan telapak tangan. Tantangan membuat perubahan atau memperbaikai sesuatu dalam pembelajaran pada mulanya tidak hanya datang dari apatisme siswa tetapi juga datang dari “dunia” orang tua (teman sejawat) juga melakukan pelemahan penerapan ide dan gagasannya, akan tetapi kompetensi pedagogisnya serta profesionalismenya mampu menciptakan konsistensi dalam menerapkan metoda dan teknik “penyembuhan” dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi keterlaksanaan proses belajar mengajar. Ahirnya dukunganpun akan datang dengan sendirinya dan buku harian tersebut dibawah bimbingannya dapat menjadi proyek bersama dan diterbitkan menjadi buku dengan judul Freedom Writers Diary. Segregasi sosial yang diakibatkan oleh rasisme akhirnya dapat diminimalisir dan kecurigaan pemicu pemecah kekompakan kelas menjadi hilang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar