Rabu, 27 Oktober 2010

MURAWI

RIA
Oleh : Kang Drajat

Mobil station hijau tua dengan pengeras suara bertengger di atasnya melintas di depan bengkel Kang Bawon . Semua orang yang ada di bengkel itu tanpa disadari menghentikan aktifitasnya menyimak informasi yang disampaikan lewat halo-halo. Pengeras suara. Sesaat kemuadian informasi keliling itupun menjadi bahan polemik di bengkel desa itu.
“Pamer, mau ibadah kok pake wara-wara…..” Anwar bangun dari lincak bawah pohon jambu sambil menggosok-gosok matanya, hatinya dongkol karena terganggu tidurnya.
“Eelah…li ora kena gela….makanya tidur ya di rumah, apa di pinggir kedung jengking sana kalau tidak mau tergangu”.
“Brisik, bisa meneng apa tidak kang, kepingin tek slomod pake rokok apa?. Ngeneh kang Murawi njaluk rokoke buat nylomod kang Sumar”. Anwar mendekati Murawi
“Sudah tau kalau aku ndak ngrokok kok minta sama aku, alah…padune mau minta Kang Bawon ndak brani saja kakean reka.” Anwar cengar cengir, Kang Bawon menyodorkan rokok kreteknya.
Sesaat, suasana hening secara serentak, kata orang seperti ada setan yang lewat. Pathing tlenggong ndomblong tanpa sebab. Gerimis rintik menetes bersama angin yang berhembus dari utara, anak-anak komunitas capingli beriring dari utara setengah berlari dari jalan dlurung sepur sebelah warung Jabar menuju bengkel Kang Bawon.
“Halo-halo apa kang? Pertanyaan Puji dan Weli memecah kesunyian
“Pengajian Haji di Ndiwek , mangkat mbok nanti habis isa?” Kang Sumar menjawab sambil mendekat kearah tempat dimana Murawi duduk sambil mencorat caret rancangan gambar rumah. Murawi tampak sedang bad mood, rancangan itupun mentah. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Kang Sumar hapal betul tabiat Murawi bila sedang memikirkan sesuatu bisa berbalik seratus delapan puluh derajat dari biasanya. Murawi sedang menganalisa omongannya Anwar, mengapa Anwar bereaksi tidak enak ketika mendengar informasi halo-halo keliling tentang pengajian haji.
Pengajian haji adalah suatu tradisi baru orang-orang yang akan berangkat ke tanah suci menjadi tamu Allah. Sanak saudara, handai tolan, relasi, dan pejabat diundang datang untuk mendengarkan tausiah dari dai yang mengisinya sekalian tuan rumah yang akan berangkat haji minta restu dan do`anya para hadirin. Tradisi ini bisa menjadi siar Islam, menimbulkan rasa lapar untuk beribadah menunaikan rukun Islam yang terahir itu. Dalam acara itu, ada hangatnya penyambutan ada indahnya kebersamaan.
Suguhan makanan dihidangkan untuk segenap tamu yang datang, para tamupun dengan keperwiraannya membawa amplop berisi sebagaian rizkinya untuk membantu yang akan berangkat haji, ada juga yang menyumbang tenaga, beras, sayur mayur, dan lain sebagainya, pokoknya begitu indahnya kebersamaan. Umat Islam nampak begitu rukun dan kompak, tak ada Muhammadiyah, tak ada NU, tak ada SI, tak ada Ahmadiyah, tak ada apalah macam-macam kelompok. Yang ada adalah mereka saudara sesama umat Islam, tapi kenapa sepertinya Anwar tidak setuju dengan budaya baru yang sedang ngetrend di musim haji itu.
“Kok amleng bae, lagi mikir mbojo maning?” pertanyaaan Niman menghentak diamnya Murawi
“Ijo-ijo godong kates, nduwe bojo marai stress…ndak lah cuma lagi mikir clemodane Anwar tadi”
“Oalah kang rika anu lagi kewalik temen, lha wong clemodane Anwar kok digubris, .”
“mbleketaket temen rembugane kang, anu ngrembug apa?” Tikno anak UNSUD semester sanga nimbrung sambil menyalakan sebatang rokok gepengan yang ia ambil dari dalam jepitan dompetnya. Ia segera mempermainkan asap campur nikotin lewat lubang hidung dan mulutnya.
“Sedang membicarakan omongane Anwar yang agak nyalad, ada informasi pengajian haji malah dia bilang pamer dan ria “
“Sebetulnya ya ada benernya tapi juga ada salahnya”
“Nah, mulane tanyakan sama yang pernah haji, tanyakan hatinya, apakah aku salah bila ngomong kalau pengajian yang model seperti tadi, di halo-halo termasuk ria, pamer, atau tidak” Anwar keluar dari warung Mbok Dul sambil membawa wedang kopi.
Gerimis sudah reda, angin basah masih meniup semilir menggoyangkan pelepah pisang. Sesekali pohon akasia di dekat bengkel itu merontokan air membuat musik khas di atas atap asbes dan seng.
“Aku sedang mikir tentang pengajian Haji yang baru diclemodi Anwar. Mau ikut ngomong mbok dikatakan suudon, ndak dikatakan kok ada yang ndak pas menurutku, ada pergeseran pemahaman dan kelakuan kita ”.
“Bener kang aku juga tidak begitu sependapat pada budaya baru itu, apa ibadah Hajinya tidak menjadi rusak karena ria?”
“Ya tergantung Tik, tergantung pada niatnya” Kang Bawon urun rembug nimbrung sambil ngencengkan busi motornya Si Gus komandan pangkalan ojek SKB yang tadi mbrebet.
Diskusi menjadi semakin hangat dan mengalir. Banyak yang mempertanyakan siapa yang mengawali tradisi musim haji itu. Kenapa orang mau ibadah mesti pake acara yang melelahkan dan mungkinkah kelelahan semacam itu juga menjadi bagian dari ibadah atau malah menjadi perusak ibadah itu sendiri. Adakah tradisi itu bermanfaat mendudukan kesejatian dan membangunkan kesadaran Illahiah, ataukah hanya untuk konsumsi ego dan mendongakan gengsi serta kesombongan. Benar kat-kata Kang Bawon semua terantung pada niat. Adu argumentasi ala Tarsan dari komunitas Capingli alias bocah pinggir kali Nyangko membuat hangat suasana setelah gerimis.
Ada yang setuju ada yang tidak setuju, ada yang diam ada yang nylemod sekenanya. Musim Haji tahun ini di kampung itu ada lima yang berangkat belum kampung tetangga, apabila mau datang ke pengajian haji dapat dipastikan setiap hari telinga kita akan dilobangi oleh seruan-seruan serta hati kita akan dibuat kepengin menjadi tamu Allah. Masalah ria atau tidak yang tau hanya diri sendiri serta Tuhan Yang Maha Tahu. Peringatan yang telah diserukan berkaitan dengan ria mestinya menjadi bahan kehati- hatian dalam kita menjalankan syariat dan menyebarkan siar Islam, begitulah kata kyai Dul Gopar menengai dua kelompok yang berbeda sudut pandangnya dalam menerima budaya baru musim Haji di kampung Murawi. “Kita mesti hati-hati dan waspada pada penyakit riya, karena sangat tipis batasnya dan tersembunyi begitu rapat. Ingat riya itu lebih hitam dari semut hitam diatas batu hitam di gelapnya malam”
“Jadi besok kalau pean meh mangkat Haji pan pengajian apa ndak kang?” Kang Bawon bertanya pada Murawi. Yang ditanya cengar cengir bingung menjawabnya.
“Iya kang, pengajian dulu apa langsung les pergi begitu saja?” Anwar menimpali sambil mencari dukungan. Harapannya Murawi akan menguraikan panjang lebar tentang riya dan mendukung ketidak setujuannya.
“Pergi haji yang terpenting adalah ikhlasnya, ibadah Haji sebetulnya intinya adalah meniru Kanjeng Nabi Ibrahim..seneng memberi, bukan seneng diberi, nah pengajian itu konteknya adalah dalam rangka latian seneng memberi”
“lho kang tadi pean kelihatannya tidak setuju dengan budaya baru musim Haji, kok sekarang malih?”
“ Bukan malih. Tadi kan saya bilang kalau budaya musim Haji itu bila tidak dilandasi dengan pengetahuan dan ilmu yang benar akan menjadi budaya yang secara kulit bagus tapi intinya ndak kena karena kencampur riya, pamer untuk mendongakan kesombonga dan keakuan kita”
Obrolan berhenti. Seperti biasanya tanpa keputusan yang pasti, antara setuju dan tidak setujupun tidak jelas. Obrolan di bengkel Kang Bawon memang bukan untuk penghakiman, bukan yustifikasi, tapi hanya sekedar iseng dan mendewasakan diri mendengarkan pendapat orang, perkara setuju tidak setuju dengan pendapat orang lain adalah sebuah hak asasi yang tak bisa dikungkungkan dan dipaksakan. Bedug Ashar bertalu talu dari Masjid besar, angin luruh dengan getaran jiwa mendengar suara panggilan-Nya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar